Selasa, 25 September 2012

Ustadz Pun Jadi "Korban"...



Tulisan Asma Nadia di sebuah koran nasional minggu lalu menarik perhatian saya. Asma mengangkat topik tentang “teroris” dan anak rohis yang dituduh “teroris”. Intinya, dalam tulisan itu Asma menyayangkan tindakan sebagian orang yang bersikap gegabah dengan mengeneralisir masalah. Hanya karena salah satu “teroris” yang tertangkap pernah jadi anggota ROHIS, lalu dibuatlah kesimpulan kalau semua anak ROHIS pastilah teroris. Sebuah kesimpulan yang pastinya bukan dihasilkan oleh penelitian dengan metode ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bayangkan, ada berapa ribu anak ROHIS yang terkena imbas negatif dari kesimpulan ngawur itu, begitu tulis Asma.

Hampir sama dengan kasus di atas, saya teringat seorang teman yang entah kenapa selalu bersikap nyinyir pada mereka yang disebut ustadz. Suatu hari misalnya saat kami sedang break dan suasana sedang sepi, tiba-tiba saja ia membuka tema tentang ustadz A yang kebetulan saat ini sedang naik daun,
“Teman-teman tau nggak sih kenapa ustadz A itu sekarang bisa jadi selebritis?” tanyanya tiba-tiba.
“Bukannya dia dulu emang bintang sinetron, man?” sahut seorang teman saya, cowok.
“Oh gitu ya... Tapi gua heran aja ya. Dia itu kan dulunya tukang mabok, suka ngobat. Kok bisa-bisanya jadi ustadz gitu..”
Tanpa menunggu komentar yang lain, mulai lah teman saya itu bercerita tentang ustadz B yang katanya dulu mantan preman bahkan pernah sampai masuk penjara atau ustadz C yang menurutnya bilang Assalamualaikum saja nggak bener.

“Makanya..gua tuh nggak percaya deh sama yang namanya ustadz. Labelnya doang ustadz tapi kelakukan belum tentu. Apalagi kalau masa lalunya kayak gitu..bla..bla..”

Itu bukan pertama kali dia membicarakan ustadz dari sisi negatif. Anehnya, kok dia bisa tahu (atau mungkin sengaja mencari tahu?) berbagai cerita tentang para ustadz itu yang seringnya cerita negatif. Sampai suatu saat, keluarlah alasan kenapa dia rada antipati dengan orang yang disebut ustadz. Rupanya, ia dan ayahnya pernah mengidolakan seorang tokoh agama. Namun ternyata, tokoh yang mereka jadikan panutan itu malah melakukan sesuatu yang mengecewakan. Sejak itulah sang ayah membenci sosok ustadz dan menanamkan pandangan itu berulang-ulang kepada teman saya itu.

Saya pikir kok jadi nggak fair ya? Hanya karena ada seorang “ustadz” yang menurutnya kurang baik lantas semua ustadz dianggap sama. Apalagi jika karena masa lalu yang bersangkutan, lantas hilanglah respek kita pada mereka. Tulus atau tidaknya perubahan yang dilakukan seseorang, saya pikir bukan kapasitas kita untuk menilainya. Bukankah Umar bin Khatab dulu juga mantan “preman” yang dkenal kasar dan kejam? Sampai-sampai anak perempuannya sendiri ia kubur hidu-hidup. Tapi, apakah Rasulallah dan para sahabat menjadi hilang respek karena hal itu? Bahkan Allah telah menetapkan Umar sebagai 10 calon penghuni surga. Toh saya yakin, ada banyak ustadz yang benar-benar mampu menjadi teladan umat karena sikap, kata-kata dan perbuatannya dan bukan malah sebaliknya. Sungguh tidak adil jika mereka ikut dibenci karena mereka dianggap “sama jeleknya”.

Tak bisa dipungkiri, mungkin ada diantara para ustadz itu yang bertindak tak seharusnya. Terlalu banyak bercanda atau bergaya terlalu lebai..Tapi saya pikir, jadikan itu sebagai pembelajaran saja agar kita tak mengikutinya. Mungkin ada baiknya kalau teman saya itu mengenal sosok almarhum ustadz Rahmat Abdullah yang santun dan tawadhu namun sangat berkharisma atau sosok almarhumah ustadzah Yoyoh Yusroh yang selalu bersemangat, ramah dan tulus menjalani hari-hari sibuknya berdakwah..Sebut pula ustadz yang pernah mengajar saya belajar Tahsin Qur’an saat sekolah dulu yang nasehat-nasehatnya membekas di hati saya hingga sekarang.

Lama saya nggak bertemu lagi dengan teman saya itu. Tapi saya berharap, pandangannya negatifnya akan berubah seiring berjalannya waktu..





Tidak ada komentar:

Posting Komentar