Tampilkan postingan dengan label Myself. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Myself. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 November 2020

Mengenang Awal Pandemi

 

source: katadata.com

Semua terjadi begitu cepat. Hari itu, Sabtu 14 Maret 2020, saya masih bepergian dengan kereta untuk mengawas ujian TOEFL. Anak saya masih ke sekolah untuk latihan persiapan lomba Pramuka esok harinya. Namun situasi memang sudah nampak tak biasa. Di stasiun, saya melihat sudah mulai banyak orang memakai masker. Saya pun begitu, memakai masker walaupun masih buka tutup.

Malamnya, televisi menyiarkan kabar tentang salah satu Menteri yang terkena covid 19. Grup WA para orang tua murid yang anak-anaknya hendak ikut lomba esok harinya mulai ramai dengan ungkapan kekhawatiran. Mempertanyakan bagaimana keamanan anak-anak selama lomba nantinya, siapa saja yang akan mendampingi dan seterusnya. Puncaknya, jelang malam ada beberapa orang tua yang menyatakan anaknya mengundurkan diri dari lomba karena mempertimbangkan resiko.

Akhirnya, jelang tengah malam sekolah memutuskan untuk mengundurkan diri. Keputusan ini disesali beberapa orang tua yang masih ingin lomba terus berlanjut. Orang tua lain, termasuk saya, kebingungan menyampaikan pada anak-anak  yang sudah tertidur pulas tentang pembatalan ini. Terbayang betapa kecewanya mereka saat di pagi hari bangun, lalu tak jadi pergi karena batal. Padahal, mereka semua sudah sangat bersemangat dan tak sabar sampai-sampai semua perlengkapan termasuk sepatu sudah disiapkan benar untuk besok hari. Saya ingat, anak saya belum tidur karena tak sabar ikut lomba esok harinya. Dia menangis saat tahu sekolah tak jadi ikut lomba yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

Dilanda Bosan

Setelah itu, mulailah hari-hari panjang di dalam rumah. Minggu-minggu pertama, anak-anak sangat antusias setiap kali mengikuti meeting online, merasa kangennya sedikit terobati. Sekolah juga masih gagap menghadapi situasi mendadak ini. Belum ada variasi pembelajaran. Orang tua juga masih beradaptasi. Banyak yang gagap teknologi, tak familiar dengan aplikasi-aplikasi yang dipakai anak untuk belajar online. Grup ramai dengan curhat dan pertanyaan orang tua yang kesulitan menggunakan aplikasi-aplikasi itu.

Setelah 3 minggu, rasa bosan mulai melanda. Rasanya cukup tersiksa harus tinggal di rumah padahal biasanya bisa beraktivitas bebas di luar rumah. Waktu itu, belum ada kajian-kajian atau pelatihan online jadi memang betul-betul hanya sibuk dengan aktivitas rumah saja. Saya keluar rumah hanya seminggu sekali untuk belanja stok makanan. Tukang jualan yang biasanya lewat ke kompleks rumah juga dilarang. Benar-benar dibatasi. Anak saya lebih banyak disibukkan dengan tugas-tugas sekolah. Sebagai pengobat kangen, guru kelasnya sering mengadakan challenge yang akan di-upload di status WA nya. Misalnya tantangan mengulek sambal atau memarut kelapa.

Paling terasa sepinya saat bulan puasa. Kalau biasanya kami bisa taraweh dan ngabuburit , kini tidak lagi. Sedih rasanya melihat mesjid gelap dan sepi. Kami pun hanya beribadah di rumah. Tidak ada lagi acara buka bersama. Bahkan saya sama sekali tidak ke rumah mertua atau rumah adik selama awal pandemi walaupun kami masih tinggal di kota yang sama. Kami lebih banyak berkomunikasi lewat video call atau WA. Tapi saat itu sudah mulai banyak kajian via aplikasi meeting online atau di channel YouTube. Lumayan jadi aktivitas baru untuk saya yang tak lagi bisa bepergian untuk menuntut ilmu. 

Oh ya, selama bulan puasa, acara TV yang selalu saya tonton dengan anak adalah Tukang Ojek Pengkolan yang syutingnya tak lagi di luar ruangan tapi di studio. Walaupun bukan penggemar berat, tapi itu lah tontonan yang bisa kami tonton jelang magrib dan setelah magrib. Nggak ada lagi tontonan yang lumayan soalnya.

Hikmah Awal Pandemi

Pasti selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Walaupun merasa bosan, tapi saya merasa  jadi lebih dekat dengan keluarga terutama dengan anak. Kalau biasanya kami sibuk dengan aktivitas sendiri-sendiri, selama awal pandemi kami jadi banyak beraktivitas bersama. Saya jadi sering ngobrol banyak dengan anak termasuk soal nostalgia masa saya kecil dan sekolah. Malah kayaknya stok cerita saya sudah mulai habis saking seringnya saya bercerita haha..

Selama Ramadhan, saya pun merasa lebih khusyu. Biasanya ada hari- hari saat kami sibuk dengan acara buka bersama dan sebagainya. Rasanya waktu buka bersama malah tak banyak. Saat pandemi itu, setiap hari kami bisa buka bersama di rumah walaupun lebih sering saya berdua anak saja.Begitu pun amaliyah harian, bisa lebih ter-upgrade karena tak banyak keluar rumah.

Walaupun sedih tak bisa pulang kampung saat Lebaran, tapi kejadian ini membuat saya makin menyadari betapa  berharganya waktu bersama keluarga itu. Saat Allah mengambil keleluasaan bepergian untuk bertemu dan beraktivitas, baru lah terasa nampaknya saya kurang menghargai kebersamaan itu karena menganggap hal itu biasa saja.

Tak terasa, 8 bulan sudah kita mengalami pandemi. Aktivitas sudah mulai berangsur normal dan kita mulai terbiasa dengan aktivitas dalam rumah. Tentu saja, kami kangen sekali dengan aktivitas kami yang dulu. Anak saya malah sudah sering bilang ingin kembali ke sekolah. Entahlah.. Melihat kondisi saat ini, saya sampai berpikir jangan- jangan sekolah pun baru buka awal tahun ajaran baru tahun depan. Itu artinya, anak saya tak lagi bisa kembali ke sekolah karena sudah keburu lulus! Duh.. sedih juga membayangkannya. Semoga tidak terjadi..

 

Minggu, 21 Juni 2020

Majalah Annida, Kenangan Pada Sebuah Majalah Islami

Sumber: bukalapak.com
Masih ingatkah pada Majalah Annida? Majalah remaja ini terbit pertama kali pada 1991. Awalnya, rubrik-rubrik Annida memfokuskan pada permasalahan seputar wanita sebagai wujud kepedulian pada muslimah Indonesia yang makin minim wawasan keislamannya. Pada tahun ketiga, barulah Annida tampil dengan gaya baru, memfokuskan diri ke  segmen pasar remaja yang dirasa makin jauh dari nilai-nilai Islam.

Agar dapat tampil menarik bagi kaum muda, Annida mengganti beberapa rubriknya agar tampil lebih “remaja”dengan menampilkan cerita atau kisah sebagai andalan. Motto Annida berubah menjadi “Seri Kisah-Kisah Islami”. Melalui cerita, Annida meniyisipkan nilai-nilai dan pesan keislaman tanpa harus terkesan menggurui. Berdakwah lewat tulisan, begitu Annida mengistilahkan.

 Pada tahun 2000, rubrikasi Annida semakin beragam dan tak hanya berfokus pada cerita atau kisah. Rubrik-rubrik baru bermunculan seperti : konsultasi remaja, profil remaja berprestasi, komik, opini lelaki dalam 1269 male, dan sebagainya.  Motto Annida pun berubah menjadi ‘’Sahabat Remaja Berbagai Cerita’’. Annida berusaha menjadi teman remaja islam yang aktif, kreatif, gaul namun tetap menomorsatukan syari’at islam. Kompetisi rutin yang sempat diadakan majalah ini adalah Lomba Menulis Cerpen Pendek Islami (LMCPI)  yang melahirkan para penulis handal di kemudian hari seperti Asma Nadia serta Lomba Remaja Berpestasi.  Belakangan, Annida menjadi majalah remaja yang lebih nyastra.

Majalah ini sempat mengalami masa jaya pada akhir 90 sampai 2000-an dengan oplah hingga 100.000 eksemplar per bulan.  Saat itu, Helvy Tiana Rosa menjadi pemimpin redaksinya, dan Annida terbit sebulan 2 kali. Jika awalnya hanya beredar dan dikenal di kalangan anak-anak rohis, majalah ini mulai beredar luas dan nangkring di lapak penjual koran dan majalah. Ikon majalah Annida, seorang remaja aktif dengan jilbab lebar dan melengkung di ujung, si Nida, amat dikenal dan cerita khusus tentangnya sempat dibukukan.

Namun sekitar tahun 2004, Annida memutuskan untuk berhenti mengedarkan edisi cetak dan beralih ke online. Salah satu pertimbangan redaksi, ingin menghemat penggunaan kertas sebagai salah satu bentuk kepedulian pada lingkungan. Namun di media online, mereka mengakui kalau hal itu merupakan salah satu cara bagi mereka untuk bertahan menghadapi persaingan dengan media cetak lainnya. Beralamat di www.annida-online.com , rubrik-rubrik di edisi online ini hampir mirip dengan edisi cetak.

Annida sempat kembali muncul edisi cetaknya namun terbit 3 bulan sekali. Annida cetak versi baru ini muncul dengan tampilan mewah dengan kertas lux dan berwarna, bercover seleb terkenal. Mungkin agar bisa bersaing dengan majalah remaja lain. Konsekuensinya, harga Annida menjadi lebih mahal. Sayangnya, Annida versi ini hanya bertahan hingga 4 edisi. Annida edisi online pun tak selalu se-up to date saat awal muncul.  Rubrik cerpen dan cerbung yang jadi andalan seringkali tidak berganti padahal sudah berbulan-bulan. Kini,Annida edisi online ini pun sudah tak tayang lagi.

Kebanjiran Naskah

Sebagai satu-satunya majalah remaja islam yang banyak memuat cerita-cerita fiksi islami, Annida memiliki peran penting dalam perkembangan kepenulisan cerita islami di Indonesia. Jika sebelumnya, remaja muslim hanya mendapat pengalaman membaca cerita dari majalah-majalah umum, melalui Annida mereka mulai memperoleh wawasan baru. Banyak nilai yang mungkin secara tak sadar mereka serap dari membaca cerita-cerita di majalah Annida.

Animo yang besar itu tak hanya nampak dari tiras majalah yang tinggi namun juga dari banyaknya naskah cerita yang masuk setiap bulannya. Saya ingat, membaca tulisan redaksi yang kebanjiran naskah termasuk untuk LMCPI yang diadakan setiap tahun. Annida sampai merasa perlu untuk membuka rubrik baru seperti Bengkel Nida yang membahas tentang tips menulis cerita atau kolom khusus yang diasuh penulis senior untuk membedah salah satu cerita yang dimuat di Annida edisi yang sama.

Melalui Annida, banyak para penulis yang memulai karier menulisnya di majalah ini sebelum dikenal dan naskahnya beredar di banyak media atau buku. Ada pula yang sebelumnya sudah menjadi penulis namun merasa menemukan wadah yang tepat ketika menulis di majalah tersebut.  Cerpen fenomenal Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa misalnya dimuat pertama kali di majalah Annida pada 1993. Sebelum akhirnya diangkat ke layar lebar, cerpen ini dan cerpen Helvy lainnya dibukukan oleh Annida, berhasil naik cetak puluhan kali dan dicetak dalam jumlah sangat banyak. Cerpen Asma Nadia di awal karir menulisnya Jodoh Untuk Ajeng, Koran Gondrong dan Imut juga “ditemukan” majalah Annida dan menjadi juara dalam Lomba Menulis Cerita Pendek yang diselenggarakan majalah itu.  Nama-nama lain yang juga awalnya dikenal melalui majalah ini adalah Afifah Afra, Sinta Yudisia, Maya Lestari GF dan sebagainya.

Jangan lupa, Annida juga menjadi salah satu wadah bagi para penulis yang tergabung dalam organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia, Forum Lingkar Pena (FLP), untuk memuat karya-karyanya. Organisasi yang diinisiasi oleh Helvy Tiana Rosa, Muthmainnah dan Asma Nadia pada 1997 ini menjadi tempat berkumpulnya penulis muda dan lama, yang kemudian seolah tak terpisahkan namanya dari Annida. Majalah ini memang berperan besar dalam perkembangan FLP di kemudian hari: memuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana untuk merekrut anggota baru. Helvy, dalam bukunya Segenggam Gumam bercerita, ada 2000 orang yang mendaftar melalui Annida saja.

Setelah ini, terbit banyak novel islami dan juga sempat menjadi booming di awal 2000-an. Saat itu, banyak penerbit yang juga ikut-ikutan menerbitkan novel genre ini. Tentunya, ini menjadi wadah baru bagi para penulis untuk menerbitkan karya mereka agar dikenal lebih luas.

 

Berubah Lalu Menghilang

Sayangnya, menurut saya, saat sedang digandrungi Annida malah beralih haluan menjadi majalah yang lebih dewasa, bernuansa sastra. Saya sempat mengikuti beberapa edisinya. Ada rubrik bahasan utama dengan tema yang lebih ‘serius’ dibandingkan bahasan di majalah Annida edisi awal dan tak lagi banyak membahas tentang dunia remaja. Saya merasa, Annida versi nyastra ini terasa lebih mature. Mungkin memang terasa greget untuk sebagian pembaca tapi karena segmen pasarnya tak berubah, rasanya isi Annida yang seperti itu jadi terasa seperti kehilangan ruhnya yang dulu.

Cover majalah yang semula gambar ilustrasi, berubah menjadi foto model. Bagi saya yang sejak awal mengikuti Annida malah merasa kurang sreg. Bisa jadi, redaksi ingin mengubah tampilan agar berbeda atau untuk menyamakan dengan majalah remaja lain. Namun menurut saya, menampilkan cover foto model perlu effort lebih besar misalnya perlu memikirkan pemilihan model, make up, lighting, kostum maupun kualitas foto yang tepat dan baik.  Dibandingkan dengan majalah serupa, Annida jelas kalah saing karena majalah remaja umum memiliki kemampuan yang lebih profesional selain kualitas kertas majalah yang lebih baik juga kualitas fotonya.

Ketika beralih ke media online, sebenarnya Annida punya peluang untuk tetap memiliki banyak pembaca. Sayangnya, Annida nampak tak seserius saat menggarap versi cetak, entah karena kendala apa. Isi rubrik yang sering tak up-to-date atau tampilan yang kurang eye catching dapat menjadi sebab pembaca “lari”. Bisa pula karena tak semua pembaca memiliki akses internet-saat itu belum marak hape android- atau bukan tipe yang suka membaca via layar seperti saya. Akhirnya, Annida makin kehilangan pembaca yang mungkin awalnya hendak setia namun gigit jari karena banyak kecewa atau kendala lainnya.

Kini, majalah Annida hanya tinggal kenangan. Saya masih memegang beberapa edisi yang memuat karya saya: tulisan dan surat pembaca J Selebihnya, koleksi saya dihibahkan ke perpustakaan sekolah. Saya yakin, masih banyak mantan pembaca Annida lama yang merindukan munculnya Annida kembali. Walaupun mungkin agak sulit terealisasi karena trend pembaca (remaja) saat ini sudah berubah, namun kekangenan pada cerpen berkualitas dengan sisipan nilai dan pesan keislaman tetap ada. Ini tak tergantikan dengan membaca buku bernuansa religi. Walaupun telah “tiada”, namun peran Annida dalam perkembangan penulisan cerita islami perlu dikenang sebagai hal yang berharga.


Jumat, 30 Mei 2014

Resolusi Basi



Seorang model muda mengaku memiliki wish list sejak masih sekolah. Di antara wish list-nya adalah bisa hidup mandiri di Jakarta dan mengikuti sebuah kompetisi model terkenal. Tak dinyana, beberapa tahun kemudian ia benar-benar bisa mewujudkan mimpinya itu bahkan berhasil memenangi kompetisi model itu. Ia tak menyangka kalau mimpinya menjadi nyata dan bisa mencoret keinginannya dalam daftar satu persatu. Ia merasa “hanya” lah anak daerah yang sepertinya bakal sulit bersaing dengan anak ibukota. Kuncinya, bersungguh-sungguh, kata sang model pada sebuah majalah wanita tentang rahasia suksesnya meraih sukses.
Jujur saja, saya sering terkagum-kagum pada mereka yang punya keinginan dan berhasil mencapai keinginan seperti model itu, meskipun mungkin mimpi-nya itu nampak hampir tidak mungkin bagi orang lain. Ingat Jules Verne, yang bercita-cita mengelilingi dunia dengan balon udara selama 80 hari? Hal yang tidak mungkin dilakukan di masanya. Namun dengan keyakinan dan kesungguhan, segala hal yang nggak mungkin itu bisa menjadi nyata.
Saya teringat dengan beberapa wish list saya bahkan sejak tahun kemarin. Kayaknya, nggak ada satu pun yang tercapai. Bukan karena nggak mampu sebenarnya. Tapi bisa jadi karena saya kurang bersungguh-sungguh, maka tak satupun keinginan saya itu yang kesampaian. Niat untuk ikut program hapalan qur’an, belajar bahasa asing, sampai punya taman bacaan di rumah...Tak ada satupun yang jadi saya jalani karena saya memang belum memulai untuk mewujudkannya. Sekedar dicatat saja.
Saya nggak mau menjadikan alasan ini dan itu sebagai excuse. Tapi saya menyadari kalau ada yang “salah” karena dari tahun ke tahun, resolusi saya jarang tercapai. Saya merasa stagnan dan tak ada kemajuan.
Maka-nya, saya bertekad untuk mulai bergerak. Tercapai atau tidaknya itu urusan nanti. Berusaha saja dulu. Jangan sampai, resolusi saya keburu jadi basi karena tahun keburu berganti lagi..

Rabu, 26 Maret 2014

Bukan Asal Sekolah..



Tahun ini, anak saya sudah mulai masuk TK. Proses hunting sekolah ini bahkan sudah saya mulai sejak 2 tahun lalu. Saya mulai mencari informasi, menimbang-nimbang, membandingkan lalu memutuskan untuk menyekolahkan anak dimana. Saya tak mau salah pilih karena sekolah. Menurut saya, sekolah, apalagi tingkat dasar, menyumbang peran cukup penting dalam pembentukan karakter anak. Jangan sampai pola pendidikan yang kita bangun di rumah sejak anak kecil, lalu berantakan karena tak sejalan dengan pola di sekolah.
Saya dan suami sepakat untuk memilih sekolah yang mengedepankan penanaman budi pekerti dan pendidikan agama. Bagi saya sebenarnya, tak masalah jika di TK anak tak diajari calistung. Tapi memang semua TK nampaknya mengajarkan calistung karena tuntutan orang tua dan sekolah dasar yang mayoritas mensyaratkan kemampuan calistung sebagai salah satu tes masuk.
Setelah mencari sana-sini, akhirnya pilihan saya jatuh ke TK X, sebuah TK islam yang lokasinya tak begitu jauh dari rumah. Jujur saja, informasi soal TK ini saya dapat dari seorang teman. Saya tertarik karena kata teman saya itu, TK ini mengajarkan pengetahuan agama kepada murid-muridnya. Tak hanya diajarkan membaca Alqur’an tetapi juga belajar shalat Dhuha.
Biayanya memang sedikit lebih mahal dibandingkan TK-TK lain di sekitar rumah, begitupun SPP-nya. Hampir 2 kali lipat. Tapi setelah saya membaca-baca informasinya, selain kelebihan soal pendidikan agama tadi, sekolah ini pun memiliki itikad baik untuk menyelaraskan pendidikan di sekolah dan rumah. Misalnya sebelum masuk sekolah, orang tua diberi formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bagaimana pola pengasuhan anak di rumah dan bagaimana orang tua menanamkan pola pendidikan itu. Sekolah jadi memiliki gambaran tentang pola pendidikan apa yang sudah diterapkan dan menyusun strategi mengenai pengajaran anak di sekolah nantinya. Selain itu, setiap 2 bulan akan ada seminar parenting untuk membekali orang tua mengenai ilmu pengasuhan.
Beberapa orang di sekitar rumah memang sempat mempertanyakan alasan kenapa saya memilih sekolah itu,
“Kan ada yang lebih murah?.” Begitu kata mereka.
Saya maklum kalau bagi sebagian orang biaya mungkin menjadi salah satu pertimbangan utama. Saya pun begitu. Tapi saya juga tak mau mengorbankan kualitas pendidikan anak dengan asal memilih sekolah.
Sekolah berkualitas memang tak selalu identik dengan biaya mahal. Tapi harus diakui, pendidikan berkualitas seringkali memang harus ditunjang oleh sarana memadai yang notabene memerlukan biaya lebih. Alhamdulillah, saya masih bisa menabung untuk menyiapkan dana pendidikan anak saya.
Satu hal yang juga penting. Jangan sampai kita, orang tua, memilih sekolah semata karena gengsi apalagi prestise pribadi. Sebelum memilih, hendaknya kita tahu anak kita ingin dibentuk seperti apa. Ini sama dengan visi dan misi pendidikan orang tua untuk anak. Setelah itu, cari informasi sebanyak-banyaknya mengenai sekolah yang sejalan dengan visi dan misi kita itu. Pastinya, akan lebih baik jika sekolah itu biayanya terjangkau.
Lupakan komentar tak perlu dari orang lain. Komentar bisa jadi merupakan masukan. Tapi jika kita sudah yakin dengan pilihan sekolah untuk anak, kenapa harus mendengarkan apa kata orang?. Jadi, selamat memilih sekolah!







Selasa, 04 Juni 2013

Arab, Prancis, Korea...



 
foto : www.asien-zuhause.ch
Tak jelas bagaimana awalnya, belakangan saya sedang suka belajar Bahasa Korea. Awalnya, saya iseng menonton sebuah drama korea berseri di Youtube. Saya cari yang ber-subtittle bahasa Inggris. Saya tertarik mendengar kalimat-kalimat dalam bahasa Korea yang saya dengar di drama itu. Intonasinya juga terdengar berbeda dengan bahasa Jerman, Inggris atau pun bahasa Arab yang pernah saya pelajari.
Lama-lama, saya bisa sedikit mengidentifikasi, kata apa artinya apa dalam bahasa Inggris. Saya pelajari bagaimana intonasi suara saat mereka berbicara pada teman, pada orang yang baru dikenal atau pada orang yang lebih tua. Menarik juga mengamati kebiasaan orang Korea membungkukkan badan sebagai tanda hormat. 
Jadilah saya mulai mencari tahu tentang bahasa ini. Ikut kursus? Ha..ha..kalau ada mungkin bisa saja saya ikutan. Tapi saya jadi agak “kapok” ikut kursus formal karena takut tak bisa bertahan lama seperti kursus bahasa Arab saya itu. Ya..gara-gara saya sering gagal meluangkan waktu untuk datang ke tempat kursus Arab, saya jadi banyak ketinggalan. Saya juga kesulitan menghapal kosakata. Mungkin karena saya kurang keras berusaha. Akhirnya, saya sudah say goodbye pada kursus bahasa Arab saya itu.
Makanya, sekarang saya tak mau muluk-muluk. Sekedar tahu kalimat sehari-hari saja atau tahu beberapa kata dalam bahasa Korea, cukup!. Yah..siapa tahu suatu hari saya punya kesempatan buat jalan-jalan ke Korea atau tiba-tiba ketemu Lee Min Ho di bandara ha..ha..
Saya baru tahu kalau bahasa Korea punya huruf-huruf yang sama sekali berbeda dengan bahasa Inggris dan Jerman. Namanya huruf Hangul. Huruf vokalnya banyak, huruf konsonannya juga “aneh”. Rumitnya, selain harus tahu bagaimana cara bacanya, kita juga harus tahu bagaimana cara menulisnya. Itu kalau hurufnya masih single. Lebih rumit lagi jika huruf-huruf itu disatukan membentuk kata. 
Belum lagi kalau sudah masuk gramatika dan mempelajari aturan-aturan khusus lain yang cuma ada dalam bahasa Korea...Lumayan bikin kening berkerut. Tapi..menarik! Entah kenapa, saya malah bersemangat meskipun saya hanya mempelajarinya sendiri melalui tutorial di internet. 
Sementara, untuk belajar bagaimana mengucapkan kata-kata dalam bahasa Korea, saya memilih belajar langsung lewat lagu. Cara pengucapannya ternyata tak berbeda jauh antara yang ditulis dan dibaca. Ada sih beberapa yang beda. Cuma kalau dibandingkan dengan bahasa Inggris atau Prancis, bahasa Korea cenderung lebih “mudah” untuk dibaca.
 Nampaknya, sekarang saya punya semangat baru. Mungkin benar kata orang, jika ingin membuat hidup lebih hidup dan berwarna, do something new!..Dan saya merasa seperti itu dengan belajar bahasa Korea. Sesuatu yang benar-benar baru dalam hidup saya. Untuk yang ini, saya berharap sifat pembosan saya nggak kumat biar pelajaran bahasa Korea saya tak berhenti di tengah jalan..!

Jumat, 29 Maret 2013

Tak Bakat Jualan?



Berkali-kali saya diajak teman untuk mengikuti MLM atau semacamnya. Pekerjaan yang kalau saya ingin terus memperoleh pemasukan maka saya harus mencari downline atau anak buah. Berkali-kali pula saya menolak secara halus atau pun menolak langsung.

Terakhir saya ditawari teman sebuah pekerjaan part time yang konon sangat mudah dan bisa dikerjakan sambil momong anak di rumah. Saya tinggal bayar beberapa puluh ribu rupiah plus fotocopy KTP untuk menjadi anggota. Setelah ia menerangkan lebih jauh ternyata pekerjaan yang ditawarkan itu menurut saya semacam MLM juga. Meskipun aktivitasnya disebut bisnis online dan kita mengontrolnya lebih banyak secara online juga.

Caranya, setelah membayar sejumlah uang tadi kita akan memperoleh produk. Kemudian kita akan belajar bisnis online dan produk yang dipasarkan adalah produk itu. Kalau saya tak bisa jualan, kata teman saya lagi, saya bisa membeli produk itu sendiri, 

 “Temanku ada yang keluar dari pekerjaan untuk fokus di sini, lho. Lumayan kok penghasilannya bisa diandalkan.” Katanya meyakinkan.
 Jujur, bukan besar kecilnya penghasilan yang semata jadi pertimbangan saya. Tak tahu kenapa, saya kok merasa kurang pas kalau harus jadi “marketer”, yang harus “berjualan” atau mempromosikan suatu produk agar orang tertarik membelinya. Saya tipe orang yang tak pintar membujuk. Saya juga tak ngotot agar orang mau melakukan apa yang saya mau. Kalau mau silahkan, kalau tidak, ya sudah ha..ha..

Dalam beberapa hal, sikap saya yang terlalu lempeng itu memang terkesan tanpa ambisi. Apalagi mungkin jika saya terjun ke dunia marketing. Dalam bayangan saya, sifat dasar seorang “marketer” adalah pantang menyerah mempromosikan produknya agar menarik minat konsumen, pintra bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan orang lain. Dan itu bukan saya banget..! 
 Bahkan saya membayangkan kalau misalnya saya bergabung dalam sebuah produk MLM, mungkin saya bakal terus berada di level bawah karena jumlah downline saya nggak nambah-nambah..!. 

Karena itu, saya salut jika menemukan orang yang pintar membangun “hierarki” dengan downline amat banyak sampai ke level Gold. Saya pernah membaca kisah para agen asuransi sukses termasuk seorang ibu muda yang mampu memperoleh penghasilan amat besar dari kepiawaiannya “menjual” berbagai produk asuransi. Ibu ini telah mulai menjadi agen sejak tahun 90-an saat orang belum terlalu familiar dengan asuransi apalagi dengan agen asuransi. Karena keuletannya, ia berhasil mencapai super top level dan dinobatkan sebagai agen terbai

Saya salut karena saya tak yakin bisa sepiawai itu. Jangankan dapat downline. Untuk jualan produk sederhana saja yang tak mewajibkan saya mendapat “bawahan”, saya masih merasa sungkan. Pernah saya ingin mencoba bisnis dengan berjualan kue pia. Maksudnya ingin menjajal hal baru yang berbeda dengan  pekerjaan dan hobi saya selama ini. Belum-belum, suami saya malah bilang,

“Udahlah..Ummi nulis aja..” katanya saat saya minta dimodali.

Sudahlah..Akhirnya saya jadi berpikir kalau jualan memang bukan jalan saya. Tapi jika dipikir lagi, seperti apapun keberhasilan orang, jika saya merasa tak sreg di bidang itu, kenapa saya harus memaksakan diri?. Saya percaya, suatu pekerjaan yang dijalani dengan hati dan passion akan lebih membahagiakan pekerjaan yang dijalani dengan setengah hati saja. Naifkah?