Selasa, 22 Agustus 2017

Hati-Hati Hoax!



“ Tahukah Anda sebenarnya film kartun Upin dan Ipin merupakan rancangan Yahudi untuk menghancurkan Islam. Setelah kartun Doraemon, pokemon, digimon dll gagal menghancurkan anak-anak muslim. Perlu kalian ketahui, jangan mengucapkan Upin atau Uffin karena Upin dalam bahasa Amerika  artinya “Aku Benci Rasul” . Dan ucapkan Ariffin jangan Ipin karena ipin sendiri artinya “Ya, aku suka Israel.” Huruf U di baju Upin artinya USA sedangkan huruf I di baju Ipin maknanya Israel..”
Source;cdn.pixabay.com

Begitu bunyi broadcast yang saya terima suatu hari. Tak lama, seseorang juga mengirimi saya broadcast yang sama, kali ini secara pribadi. Nampaknya ini bukan kali pertama saya mendapatkan sebaran berita semacam itu. Mulai dari berita tentang produk tertentu yang katanya mengandung zat berbahaya sampai tentang produk makanan kaleng asal Thailand yang mengandung darah HIV. Pernah pula saya memperoleh broadcast gambar suntikan yang menggantung di bawah roll tisu di sebuah toilet duduk- konon di sebuah mall. Lalu kita diminta berhati-hati pada suntikan itu karena konon suntikan itu telah berisi darah yang mengandung HIV.
Banyak di antara kita yang mungkin langsung memercayai berita-berita itu lalu tanpa ragu membagikan beritanya kepada yang lain. Apalagi jika berita tersebut menyertakan sumber yang nampaknya terpercaya, seperti menyertakan link berita ke sebuah situs berita terkenal atau menyebutkan narasumber orang terkenal maupun orang yang kompeten di bidangnya, mungkin untuk makin meyakinkan khalayak.
Saya sendiri pernah percaya suatu berita dan menyebarkannya. Namun di kemudian hari, saya mendapatka konfirmasi dari seorang teman yang lebih kompeten dan mengatakan bahwa berita itu hanya hoax! Duh...Berarti saya juga punya andil menyebarkan hal yang bisa jadi menimbulkan keresahan.
Mungkin kita lupa bahwa jagat dunia maya memungkinkan siapapun untuk membuat berita macam apapun, termasuk berita bohong dengan beragam motifnya, entah karena iseng, bermaksud menjatuhkan atau untuk menimbulkan keresahan. Kita pun akan kesulitan mencari tahu sumber awal berita itu hingga nyaris tak dapat diketahui siapa pembuat dan penyebar awalnya kecuali jika dibantu oleh tenaga ahli yang memahami teknologi. Artinya, pembuat berita akan merasa lebih “aman” dari resiko dipersalahkan karena toh  kemungkinan besar tidak akan ada yang tahu perbuatannya itu.
Selain itu, media sosial (internet) membuat pemakainya cenderung membaca sesuatu secara cepat dan sekilas serta ogah berpikir panjang. Banyak orang yang hanya membaca headline (judul) berita – yang kini seringkali dibuat sesensasional mungkin- lalu langsung mengambil kesimpulan sendiri, lantas berkomentar nyinyir padahal isi berita kadang berbeda jauh dari headline- nya.
Karena itu, penting bagi kita untuk tetap mengedepankan akal sehat dan sikap kritis kita sebelum memercayai sesuatu yang belum tentu benar adanya. Tentu kita tak ingin “membantu” tersebarnya  sebuah berita yang ternyata hoax belaka meskipun kita melakukannya karena ketidaktahuan. Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yang saya lakukan biasanya adalah mengamati isi berita. Jika diamati seksama, seringkali berita-berita seperti itu menggunakan pilihan kata dan bahasa yang provokatif , malah terkesan mengancam seperti “Tolong sebarkan, jika Anda peduli” atau “Tolong sebarkan jika Anda memang muslim”  . Begitupun pilihan hurufnya, ditulis dengan huruf-huruf besar dan kecil, mungkin bermaksud memberi penekanan-penekanan tertentu. Selain itu, jika diamati, berita-berita seperti itu juga seringkali tak masuk akal. Bisa jadi ini pun tak disadari oleh penulisnya. Mungkin karena menganggap, tak perlu mensinkronkan isi berita dan logika. Misalnya berita tentang pemuda yang meninggal gara-gara doyan makan kangkung dan tanpa sengaja memakan lintah yang bersembunyi di batang kangkung. Membacanya saja sudah membuat saya mengerutkan kening. Soal lintah yang kok masih bisa hidup di usus-kalau cacing sih iya bisa survive- atau rontgen yang supercanggih hingga bisa memperlihatkan dengan jelas lintah-lintah kecil yang bergerak lincah. Lucunya, saya menemukan kalau broadcast serupa telah beredar pula di intenet namun dengan nama dan lokasi yang berbeda. Waduh...!
Jika merasa ragu dengan sebuah berita, saya pun berselancar ke beragam web, kadang hingga ke web ilmu pengetahuan, untuk mencari tahu. Seringkali saya menemukan kalau broadcast-broadcast  yang saya terima banyak yang bohong. Beberapa broadcast malah dianggap amat meresahkan hingga pihak-pihak yang diklaim telah membenarkan berita itu merasa perlu untuk memberikan klarifikasi. Masalahnya, publik tak semuanya cerdas, kritis dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk menelaah sebuah berita. Celah ini lah yang lagi dan lagi dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab untuk menyebarkan berita bohong.
Kuncinya memang ada pada kita sendiri. Maka, jadilah publik yang cerdas. Jangan hanya karena mencantumkan web tertentu, nama tokoh atau instansi tertentu, lalu kita memercayainya begitu saja. Perlu cek-ricek sebelum jari kita memilih copy-paste untuk menyebarkan berita itu kepada kenalan dan saudara.

Cerita Sejumput Pasir



Pernahkah memerhatikan pasir-pasir saat pergi ke pantai? Saya yakin banyak di antara kita yang tidak melakukannya. Kita pasti lebih memilih menikmati hembusan angin, deburan ombak atau suasana sekitar pantai nya, ketimbang menaruh perhatian pada pasirnya. Pasir seolah hanya “pemanis” pantai yang mungkin keberadaannya tak terlalu kita hiraukan. Namun tahukah kamu, setiap pantai memiliki jenis pasir yang berbeda baik warna maupun teksturnya? Tak hanya berwarna abu atau putih namun ada pula yang berwarna pink bahkan ungu.


Source; www.scienceabc.com

Martin Widjaya dan Fransisca Maria Faats adalah pasangan suami istri yang memiliki koleksi unik. Hobi travelling pasangan ini memungkinkan mereka untuk membeli suvenir dari berbagai belahan dunia. Selain pin dan kaos serta beberapa benda lain, keduanya juga mengoleksi pasir.

 Seperti diberitakan Kompas, awalnya Martin dan Fransisca mengambil pasir sebagai pengingat tempat yang pernah mereka kunjungi. Pasir-pasir itu kemudian disimpan dalam botol atau toples. Saat itulah Fransisca menyadari kalau pasir yang sepintas nampak sama itu ternyata berbeda satu sama lain,

“Itu yang kasatmata,apalagi kalau dilihat memakai miskroskop.” kata Fransisca.

Mereka lalu menunjukkan beberapa koleksi pasir berwarna merah yang tak sama. Pasir merah itu berasal dari Wilpattu National Park Srilanka, Red Beach Pulau Komodo hingga pasir merah dari kota tua Petra di Jordania. Ada pula pasir dengan tekstur berbeda seperti pasir dengan bulatan cantik mirip merica berwarna merah,hijau, putih, hitam dan kuning dari Tanjung Laisumbu Pulau Maritaing Alor Nusa Tenggara Timur, pasir dengan bongkahan besar beragam warna dari Pulau Maui Hawaii dan sebagainya.

Mereka bercerita, sebagian besar koleksi pasir itu mereka dapat dengan perjuangan tak mudah. Saat mereka bepergian dengan kapal pesiar dari Miami misalnya, pasangan ini harus menjalani pemeriksaan berjam-jam di imigrasi karena ke-15 kantong plastik berisi pasir yang mereka bawa harus diperiksa satu persatu, “Dikira obat.” kata Fransisca.

Seringkali mereka pun harus membeli pasir yang mereka inginkan karena dilarang mengambil. Sadar akan keunikan dan keindahan pasirnya, beberapa objek wisata di luar negeri mengemas pasir menjadi suvenir cantik. Ketika mereka mengunjungi Gunung St.Helens Amerika Serikat,  mereka membeli pasir debu dari letusan gunung yang dibagi dalam kategori letusan 5 miles, 22 miles dan 250 miles. Dari suvenir itu, nampak bahwa semakin jauh letusan, semakin halus pasirnya.

Sayangnya, karena pasir di Indonesia cenderung bebas diambil, terjadi kerusakan alam akibat pegambilan pasir cantik dari pantai untuk dipakai sebagai hiasan aquarium. Misalnya pasir mirip merica di Pantai Kuta Lombok yang sudah habis dijual di Jakarta. Padahal, pasir dengan perpaduan warna abu-abu, hijau dan kuning itu yang pertama kali membuat Martin jatuh cinta sebelum akhirya memutuskan untuk menjadi kolektor pasir.

Untuk koleksi pasirnya yang luar biasa banyak, Martin dan Fransisca mendapat piagam penghargaan  dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) sebagai kolektor terbanyak dari 1000 lokasi di seluruh dunia pada 2011. Koleksinya terus bertambah dan diharapkan bisa mencapai lebih dari 1864 lokasi untuk bisa memecahkan rekor dunia.

Masya Allah.... Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasir dengan beragam warna dan teksturnya. (Diolah dari Kompas, Minggu 20 September 2015)

NB: Check this site : sandcollectors.org untuk tahu info tentang bagaimana menjadi koletor pasir !