Selasa, 30 Juni 2020

Seteru Tak Berujung, Cebong Versus Kampret


Hayooo.. udah di-unfollow belum?” isi status seorang teman di akun sosial medianya. Saya bertanya-tanya, meng-unfollow siapakah? Belakangan saya baru ngeh kalau yang dimaksud adalah berhenti mengikuti akun sosial media seorang publik figur yang selama ini dikenal dengan aktivitas sosialnya. Beberapa hari lalu, si public figur mengunggah fotonya dengan Pak Presiden dengan caption puja-puji, “Aku kecewa.... ternyata dia cebong.” komentar orang-orang di status teman saya itu. Ternyata, itu maksudnya. Meng-unfollow karena sang idola ternyata pengagum tokoh yang bukan tokoh dukungannya.

Masih Berlanjut?
Tadinya, saya berpikir kalau perseteruan kecebong- sebutan untuk pendukung nomor 01 Jokowi dan kampret- sebutan untuk pendukung nomor 02 Prabowo di Pilpres lalu akan berakhir setelah pesta demokrasi itu usai. Ternyata tidak. Media sosial tetap ramai dengan para pendukung masing-masing (calon) presiden yang seperti tak lelah saling hujat, saling jelek menjelekkan.
Setiap kali pemerintah membuat sebuah kebijakan atau ada kejadian apapun yang berhubungan dengan pemerintahan saat ini, netizen nonpendukung 01 akan ramai mengomentari. Jika sudah begitu, pendukung Pak Pres akan balik membalas dengan tak kalah nyinyirnya.  Belum lagi jika buzzer, konon dibayar untuk menaikkan dan menjaga citra tokoh dukungannya, juga ikut menjelekkan tokoh yang dianggap bersebrangan dengan dukungannya itu.  Rasanya dunia maya makin hiruk pikuk saja.

Pilihan Pribadi
Tentu saya pun punya pilihan saat Pilpres lalu. Ketika jagoan saya tidak menang, rasa kecewa pasti ada. Satu hal, saya tidak lantas menjadi orang yang selalu menganggap apa yang dilakukan pemerintah itu buruk atau sebaliknya.  Saya mencoba untuk tetap subjektif: mengkritik di media sosial jika memang saya merasa perlu diperbaiki dan dikritisi, jika baik ya saya apresiasi. Setidaknya saya tidak berkomentar yang tak perlu. Apalagi jika saya tak terlalu paham duduk perkaranya.
Teman-teman saya di media sosial juga bermacam-macam dan sudah pasti tak selalu satu dukungan dengan saya. Buat saya, itu tak masalah. Selama mereka tidak menjelekkan siapapun, tidak menyerang fisik seseorang atau sesama pendukung dan tidak mengungkit isu SARA, buat saya syah-syah saja jika mereka memuja-muji orang yang didukungnya. Walaupun mungkin bagi saya terkesan berlebihan dan sangat subjektif, tapi memang begitu kan sikap kita pada idola pada umumnya? Saya pun pasti akan cenderung mengunggah sisi-sisi positif saja dari tokoh atau idola saya itu.

Soal Pribadi
Kembali ke soal artis sekaligus YouTuber yang mendadak di-unfollow banyak orang karena unggahannya itu, kenapa harus begitu? Jika memang ia pendukung salah satu, lalu menulis caption penuh pujian, apa salahnya? Pujiannya terkesan berlebihan dan nggak sesuai kenyataan? Ya sudah.. Wajar rasanya seseorang memuji orang yang ia idolakan.
Secara pribadi, saya melihat dia bukan artis bermasalah. Setidaknya, isi kontennya positif, bahkan menginspirasi banyak orang untuk banyak beramal seperti dirinya. “Kesalahan” nya hanya satu: menjadi pendukung dan memuji seseorang yang kebetulan bukan orang yang banyak netizen idolakan-setidaknya netizen yang selama ini sudah kadung mem-follow dan menyukainya.
Mau meng-unfollow dia? Ya silahkan saja. Kebetulan saya memang tak punya akun instagram jadi memang tak bisa meng-unfollow siapapun haha..  Hanya saja, saya lebih suka menempatkan semua pada tempatnya. Jika teman saya pendukung seseorang yang berbeda dengan saya, namun secara pribadi dia baik, saya memilih tetap berteman dengannya no matter what. Kecuali, seperti saya bilang tadi, dia sudah menyinggung dengan menjelekkan fisik dan SARA, tanpa diminta pun saya akan memilih untuk meng-unfriend atau mejaga jarak saja dengannya dalam kehidupan nyata.



Jumat, 26 Juni 2020

Yang Datang Dan Yang (Nyaris) Hilang


Kemajuan teknologi mau tak mau akan membawa pengaruh dalam berbagai sisi kehidupan kita baik dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Makin banyaknya orang menggunakan handphone (android) misalnya tanpa disadari membawa perubahan tidak sedikit dalam hidup kita sehari-hari. Hilangnya beberapa jenis pekerjaan merupakan salah satu konsekuensi logis dari kemajuan teknologi itu. Berikut beberapa hal  yang tak lagi ada atau sulit ditemukan lagi keberadaannya karena adanya handphone (android) menurut penulis:

1.  Kartu lebaran
Foto: kompasiana.com
Dulu      : Setiap jelang hari raya toko-toko maupun supermarket biasanya menjual kartu-kartu lebaran beraneka rupa. Pembelinya membludak. Kartu-kartu ini biasanya dikirimkan kepada teman, sahabat, kerabat bahkan idola. Saya ingat, saat magang di kantor pos jelang lebaran, saya banyak menemukan kartu lebaran yang dikirimkan untuk penyanyi ibukota.
Kini       :Keberadaan handphone memungkinkan orang untuk mengirim pesan atau ucapan selamat melalui pesan singkat (SMS). Setelah ada aplikasi Whatssup (WA), kita bahkan bisa mengirim ucapan selamat dengan gambar-gambar menarik. Kartu lebaran tak lagi laku. Kalaupun masih ada yang membeli, biasanya hanya instansi-instansi tertentu saja. Kadang mereka malah membuat kartu sendiri untuk dikirimkan kepada para kolega.

2.  Telepon Umum Tunggu (TUT)
Dulu      :Sebelum handphone ada atau hanya segelintir orang yang bisa memilikinya, telepon menjadi alat komunikasi yang banyak digunakan jika ingin bercakap-cakap dengan teman atau kerabat jauh. Keberadaan TUT sangat bermanfaat. TUT biasanya berupa bilik-bilik atau kotak kaca yang banyak jumlahnya dan diberi nomor. Jika ingin menelepon, kita tinggal masuk ke salah satu bilik dan menelepon selama kita memerlukan. Setelah selesai, penjaga TUT akan menyebutkan nominal yang harus dibayar sesuai lama kita menelepon. Dibandingkan dengan telepon umum satuan, TUT lebih nyaman dan praktis karena kita tak perlu menyiapkan koin untuk menelepon atau khawatir akan kehabisan koin hingga percakapan terputus. Tempat bertelepon dalam bilik di TUT menjadi tempat ngobrol atau nge-date via telepon paling nyaman hingga sering jadi tempat nongkrong para abg di masanya. Soal diomeli karena bikin orang mengantri sih tak masalah asalkan bisa ngobrol puas di telepon tanpa khawatir bakal terdengar orang lain.
Kini       : Setelah harga handphone makin terjangkau, keberadaan TUT lama-lama tak lagi dibutuhkan. Orang tak perlu menggunakan telepon umum untuk berkomunikasi. Handphone dirasa lebih praktis dan mudah.

3.  Warung Internet (Warnet)
Foto: kaskus.co.id
Dulu      : Sebelum handphone android banyak dipakai, orang biasa mengakses internet melalui komputer di warung internet. Warnet menjadi bisnis yang sangat menguntungkan terutama jika berlokasi di sekitar kampus atau perkantoran. Biaya akses internet per jamnya pun cukup terjangkau, hanya 3000-5000 rupiah per jam. Sampai sekitar 5 tahun lalu, saya masih bisa menemukan warnet di seputaran rumah.
Kini       :Internet mudah diakses melalui hape android. Tidak perlu capek-capek pergi ke warnet. Lama kelamaan, warnet tak lagi banyak ditemukan. Kalaupun ada, biasanya menyatu dengan usaha pengetikan dan print.

4.  Koran dan Majalah
Dulu      : Koran dan majalah menjadi media yang banyak dibeli orang untuk memperoleh informasi. Jumlahnya juga banyak. Agen selalu ramai dan mereka bisa hidup makmur dari berjualan koran dan majalah saja.
Sekarang : Informasi bisa diakses sekali klik melalui handphone android. Tidak perlu capek-capek mencari penjual koran. Cukup sambil rebahan di rumah kita bisa mengakses informasi apapun di handphone kita. Koran dan majalah tak lagi jadi primadona. Banyak media cetak yang gulung tikar atau beralih ke format online walaupun tak seeksis saat dalam bentuk media cetak. Media yang masih terbit umumnya dimiliki perusahaan besar yang sudah mapan.

5.  Tukang Foto Keliling
Foto: tribunnews.com
Dulu      : Ingatkah dulu, setiap kali berkunjung ke tempat wisata hampir selalu ada para tukang foto keliling sekali jadi yang menawarkan jasanya. Kita pun dengan senang hati minta difotokan lalu membayarnya. Ada pula tukang foto yang menjepret setiap pengunjung lalu fotonya dipajang dan dijual. Jika mau, kita bisa membelinya sebagai kenang-kenangan.
Sekarang : Keberadaan tukang foto terpinggirkan setelah handphone makin terjangkau. Memfoto dengan hape lebih mudah, tidak perlu membayar lagi, bahkan kualitasnya bisa jadi lebih baik. Jika pergi ke tempat wisata, tukang foto keliling masih ada satu dua, namun tak lagi banyak dicari orang.


Rabu, 24 Juni 2020

Putri Untuk Pangeran, (Bukan) Sinetron Jiplakan


Sejak pandemi corona, saya jadi lebih sering mengakses tv. Setelah magrib, tv biasanya menyala sekedar buat menemani saya cuci-cuci piring dan beberes dapur sebelum tidur. Beberapa waktu lalu, saya melihat trailer sebuah sinetron di tv berjudul Putri Untuk Pangeran. Tak terlalu tertarik menontonnya karena saya memang bukan penggemar sinetron. Apalagi itu sinetron remaja. Tapi ketika episode pertama ditayangkan, kebetulan saya pun sedang menyetel channel tv itu. Saya tertarik karena ceritanya mengingatkan saya pada sebuah drama Taiwan yang dulu sekali sempat saya tonton, Meteor Garden (MG) dan drama adaptasi manga Jepang, Hana Yori Dango (HYD) lainnya.

Serupa Tak Sama
Di episode pertama diceritakan, Putri (Ranty Maria) sampai di sebuah kampus mewah nan megah bernama Universitas Bangsa. Gadis sederhana ini bisa berkuliah di universitas mahal itu setelah mendapat beasiswa. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa berkuliah di sana karena Putri hanya seorang anak tukang jahit. Ke kampus pun, Putri selalu membawa barang dagangan, usus goreng. Ia mendapat cibiran dari teman-temannya yang rata-rata anak orang kaya, termasuk dari  3 cewek yang tak henti mem-bully dan mengejeknya sejak pertama ia masuk kampus.
Sial baginya, di hari pertama itu ia sudah harus berurusan dengan seorang cowok ganteng tapi nyebelin bernama Pangeran (Varrel Bramasta), yang kaca mobilnya tak sengaja dia rusak.  Putri tak tahu, Pangeran dan gengnya terkenal suka berbuat onar karena cowok itu putra salah satu penyandang dana universitas tersebut.
Selanjutnya, banyak isi cerita yang mengingatkan saya pada drama lain yang pernah saya tonton di masa muda. Selain MG, ada pula adegan yang mirip dengan drama Korea Boys Before Flowers (BFF)- masih adaptasi dari cerita manga HYD yang juga diadaptasi MG. Nampaknya, penulis skenario sinetron ini mencoba untuk membuat cerita yang tak terlalu persis agar tak nampak menjiplak. Tapi tetap saja ruh ceritanya hampir sama jika ditonton seksama.  Berikut beberapa yang saya ingat:
1.     Tokoh-tokoh dalam sinetron ini di antaranya: Putri- gadis sederhana yang pemberani, Pangeran- cowok tampan yang super kaya dan 2 temannya Gio dan Atta, Rizky- cowok cool yang menjadi seteru Pangeran dan penolong Putri, Citra-satu-satunya teman Putri yang baik di kampus- dan 3 cewek seteru putri salah satunya bernama Tasya.
Yang mirip      : Karakter Putri sama persis dengan tokoh utama wanita di MG dan drama adaptasi HYD lainnya. Yang agak berbeda adalah karakter cowoknya. Jika di drama-drama itu tokoh wanita berseteru dengan geng cowok tajir dan tampan, F4, namun selalu ditolong oleh salah satu di antara mereka, di sinetron ini Putri  hanya berseteru dengan geng yang terdiri dari 3 cowok. Rizky, diceritakan, dulu adalah anggota geng sahabat itu tapi karena sesuatu hal mereka berselisih. Namun tetap Rizky ini lah yang akhirnya menjadi penolong Putri dari kejahilan geng Pangeran.

2.    Putri dengan gagah berani menghadapi Pangeran yang dengan sewenang-wenang menyuruhnya mencuci mobil, sebagai “bayaran” untuk mengganti kaca mobil yang dirusak gadis itu. Padahal selama ini, tak ada yang berani melawan geng Pangeran.
Yang mirip           : Benang merah cerita tentang cewek miskin yang berani melawan cowok ganteng dan kaya. Yang beda hanyalah penyebab cewek itu melawan.

3.    Keberanian Putri membuat Pangeran sebal dan makin marah. Berkali-kali ia mengerjai Putri dengan tujuan membuatnya tak lagi betah di kampus. Puncaknya saat Pangeran menyuruh Putri memakai “gelang” dari tali sebagai penanda bagi siapapun orang yang berani melawan dirinya. Dengan gelang itu, tak ada seorang pun yang akan berani menolong Putri, kecuali Rizky, saat ia sedang dalam kesulitan sekalipun.
Yang mirip      : Siapapun yang berani berurusan dengan geng F4 akan mendapat kartu merah. Setiap orang yang mendapat kartu itu akan jadi musuh semua orang di kampus itu. Tak akan ada yang berani menolong bahkan sekedar menyapa.

4.    Pangeran, Putri dan Tasya terjebak dalam lift yang mendadak mati. Pangeran yang ternyata memiliki fobia ruangan tertutup sangat ketakutan namun berhasil ditenangkan Putri. Karena kejadian ini, sikap Pangeran agak berubah karena merasa berutang budi pada Putri.
Yang mirip      : Adegan terjebak dalam lift- atau kereta gantung dalam BFF- adalah salah satu adegan penting dan terkenal dalam drama-drama adaptasi HYD. Bedanya, dalam drama-drama itu, hanya 2 tokoh utama yang terjebak di dalamnya. Setelah itu lah mereka jadi dekat.

5.    Putri tersenggol orang saat ia dan Pangeran sedang berselisih di depan rumah sakit. Ia jatuh ke arah Pangeran dan ditangkap cowok itu. Adegan saling pandang saat jatuh itu tertangkap kamera handphone seseorang, disebarkan di media sosial dan menjadi bahan gosip orang sekampus. Saat Putri datang ke kampusnya itu, ia keheranan karena semua orang mendadak memerhatikannya.
Yang mirip      : Adegan saat mereka beradegan “mesra tak sengaja” yang tertangkap kamera lalu disebarkan di media. Tokoh wanita jadi mendadak terkenal. Bedanya, di drama-drama adaptasi HYD kedua tokoh jadi digosipkan punya hubungan asmara.

6.    Putri dicegat dan dikerjai banyak cowok sampai ia jatuh dan barang dagangannya berantakan. Pangeran datang tiba-tiba menghajar mereka dan menggendong Putri. Saat itu lah polisi datang dan menggelandang keduanya ke kantor polisi, menganggap mereka adalah biang keonaran.
Yang mirip      : Di MG dan BFF, tokoh cowok datang menolong dan dibawa pulang ke rumahnya.

7.    Putri mengompres luka Pangeran yang baru bertengkar dengan Rizky. Namun saat melakukannya, Putri mendadak sebal hingga menyuruh Pangeran mengompres lukanya sendiri.
Yang mirip      : Di BFF, tokoh perempuan yang dikompres lalu mereka berselisih hingga tokoh cowok menyuruhnya mengompres luka sendiri.

Yang Beda
Walaupun begitu, ada pula beberapa hal yang sama sekali berbeda dari sinetron ini. Misalnya, ayah Pangeran dan ibunya Putri yang pernah punya hubungan istimewa di masa lalu, Putri yang memiliki kemampuan mendengar suara hati, karakter Tasya yang suka mengunggah apapun yang ia alami ke sosial media dan seterusnya.
Sebagai hiburan, sinetron ini bisa saja menjadi pilihan tontonan bagi remaja, yang jelas bukan saya J . Namun cerita yang mirip dengan drama-drama tadi di sana sini membuat siapapun yang tahu kemiripannya jadi merasa terganggu. Kreativitas kita sepertinya harus lebih banyak digali. Terinspirasi boleh saja tapi jika banyak miripnya, terkesan seperti menjiplak jadinya. Kita tunggu saja apakah episode-episode selanjutnya akan berbeda atau malah banyak lagi persamaannya.






Eh.. Eh.. Jangan Latah!


Beberapa bulan lalu, jahe merah dan teman-temannya sempat jadi barang langka. Kalaupun ada, harganya melambung nggak kira-kira. Di Jakarta, harga jahe merah sebelumnya dipatok pada harga 40 ribu per kilogram. Namun, saat banyak dicari,  harganya mencapai Rp100 ribu per Kg. Di luar Jawa seperti Lampung harga jahe melambung hingga 120 ribu rupiah. Harga rempah-rempah lain tak kalah mahalnya. Padahal biasanya, rempah macam kunyit dan temulawak berharga rendah, paling dibeli para ibu atau penjual jamu.
Sejak pandemi corona, permintaan bahan-bahan jamu memang merangkak naik. Penjual jamu pun tak kalah ramai diserbu pembeli. Penyebabnya, jamu dipercaya dapat meningkatkan imunitas tubuh. Imunitas tubuh yang baik, kata dokter, ampuh menangkal corona. Selain jamu-jamuan, yang juga laris manis karena dipercaya bisa meningkatkan imunitas adalah vitamin C. Vitamin C merk apapun diborong pembeli, sampai-sampai keberadaannya jadi sulit ditemui.
Walaupun sudah disampaikan kalau imunitas tak hanya bisa diperoleh dari jamu atau vitamin C, namun masyarakat sudah kadung panik atau malah latah membeli keduanya. Ketika segelintir orang ditanya reporter televisi kenapa membeli rempah dan jamu, mereka mengaku; “Katanya bisa menangkal corona. Ya sudah saya ikutan beli.”  Karena sekedar ikut-ikutan, trend memborong rempah dan vitamin C dengan cepat berlalu. Sebagian orang yang memang tak terbiasa mengonsumsinya tak lagi membelinya. Permintaan konsumen pada aneka rempah, jamu dan semacamnya ikut menurun.

Yang Penting Ikut
Latah juga berlaku di dunia bisnis. Saat es kepal milo banyak mengundang pembeli, mendadak sangat banyak orang berjualan produk serupa dan banyak pula yang laris manis!. Soal rasa, tak usah sama dengan yang “asli”. Yang penting jual es kepal, itu saja sudah jaminan laku. Jelas, pembelinya juga sukanya ikut-ikutan coba-coba sih. Tak ikutan mencoba yang sedang trend rasanya ketinggalan. Tak masalah jika yang dibeli produk ala-ala, tak sebagus kualitas aslinya.
Masih ada? Ketika Kopi Janji Jiwa booming dan jadi hits di kalangan anak muda, sesaat kemudian bermunculan kopi dengan merk serupa, menggunakan merk yang unik dan simpel namun terdengar menarik di telinga anak muda. Begitupun saat minuman boba- minuman dengan bola-bola tapioka- banyak dicari, bermunculan lah kedai-kedai minuman jenis ini dengan beragam merk. Walaupun ada yang melakukan modifikasi dengan membedakan rasa dan bahan, namun ide awalnya tetap sama, menggunakan boba.
Ada lagi fenomena latah melakukan hal tertentu. Misalnya saat orang ramai-ramai berteriak “om telolet om” dari pinggir jalan  ketika bis melintas, meminta sopir membunyikan klakson. Awalnya, teriakan itu biasa diucapkan oleh anak-anak di pinggir jalan ketika sebuah bus melintas, dengan harapan sopir akan membunyikan klakson yang unik berbunyi  "telolet telolet". Namun ini mendadak jadi populer setelah beberapa DJ terkenal mencuitkannya di Twitter.  Akhirnya, tak hanya anak-anak yang kemudian ramai melakukannya tapi juga orang dewasa, bahkan videonya banyak diunggah ke sosial media. Para netizen merasa seru melihat ekspresi kegembiraan ketika orang berhasil meminta supir membunyikan klakson dengan lambaian tangan dan teriakan, "Om telolet ommmmmm!" beramai-ramai.

Latah Positif Atau Negatif
Agaknya fenomena latah, saling meniru ini atau sekedar ikut ini sudah menjadi hal biasa di masyarakat kita.  Latah untuk  hal serius sampai remeh temeh.  Umumnya, orang yang sekedar latah melakukan sesuatu bukan karena kepahaman atau ilmu. Tak merasa perlu tahu apa manfaat melakukan itu. Yang penting orang-orang sedang banyak melakukannya, lalu ikut saja.
Karena latah semata, saat orang tak lagi melakukan hal itu, ia pun akan berhenti melakukannya walaupun mungkin apa yang ditinggalkan itu berefek positif. Contohnya kebiasaan mengonsumsi jamu atau vitamin C tadi. Jika paham itu bermanfaat bagi kesehatan, tentu tak perlu menunggu corona untuk rutin mengonsumsinya apalagi sekedar memborong lalu membiarkannya saja.
Peran sosial media memang sangat besar, termasuk televisi, untuk menjadikan sesuatu sebagai trend.  Yang banyak terimbas tentunya anak-anak dan remaja yang cenderung masih mudah mengikuti saja apa yang dilakukan lingkungannya atau apa yang dilihatnya di sosial media.
Bagi para pelaku bisnis, mengekor apa yang sedang trend mungkin jadi salah satu pertimbangan agar mudah mendapat keuntungan. Ini memang syah saja dilakukan. Namun ketika produk yang dijual tak lagi punya identitas pribadi dan pemilik enggan melakukan inovasi, sekedar latah saat berbisnis hanya akan membuat bisnis tak bertahan lama. Ya, karena kita tak tahu mengapa membuka bisnis itu dan lantas tak punya strategi untuk mempertahankannya.
Jika tak ingin dicap latah, selalu cari tahu lebih jauh sebelum memutuskan untuk mengikuti atau melakukan apa yang sedang trend. Benarkah ada manfaatnya? Apakah ada manfaatnya untuk kita? Apakah kita tak punya pilihan selain mengikutinya? Jika tak ada, ya tak usah ikut-ikutan apalagi merasa ketinggalan zaman ketika tak melakukannya.

Senin, 22 Juni 2020

Kamu Kena Prank!

Sumber:sukabumiupdate.com

Wanita itu marah besar dan menangis, melihat anak laki-lakinya mendadak bertato!. Sang ayah yang seorang selebriti itu pun ikut marah dan tak kalah terkejutnya. Dengan mimik tak berdosa, sang anak berkilah “Ini hanya ekpresi seni, Ma.” katanya. Puncaknya, sang Mama mengusir si anak karena perbuatannya itu. Melihat itu, sang anak akhirnya mengaku kalau tato itu hanya tempelan dan bisa hilang. Sang Mama kena prank!
Adegan di atas menjadi salah satu konten channel YouTube anak seorang selebriti terkenal, telah ditonton jutaan kali dan banyak yang memberi jempol tanda suka. Jika diperhatikan, tak hanya dia yang pernah mengunggah konten serupa. Prank nampaknya menjadi salah satu ide konten andalan. Mudah menarik penonton, kemungkinan besar akan disukai banyak orang dan akhirnya menggiring mereka untuk meng-subscribe. Inilah yang dicari, popularitas dan follower yang banyak. Tak peduli isinya hanya mengekor atau berakibat fatal, siapa peduli?
Masih ingat kasus sembako sampah yang dilakukan Ferdian Paleka? Youtuber muda ini membagikan “bingkisan” kepada para waria di sebuah jalan di Bandung. Setelah dibuka, isinya ternyata sampah, yang salah satu pelapor sebutkan berisi tauge busuk dan batu-batu. Ironisnya, Ferdian mengaku itu hanya prank yang diunggah untuk konten YouTube-nya. Walaupun sempat ditangkap dan ditahan, Ferdian dan teman-temannya itu akhirnya dibebaskan.

Awal Mula Prank
Jika ditelusuri, prank mulai ada di barat sana sejak tahun 70-an dalam bentuk prank call atau crank call, dilakukan dengan menelepon seseorang dengan maksud mengerjai. Yang ditelepon bisa publik figur baik selebriti dan tokoh-tokoh penting  atau nonselebriti. Di Indonesia, konsep ini diadopsi oleh sebuah radio swasta kemudian dibuat program TV-nya dengan konsep serupa bernama Ups Salah. Bertahan cukup lama, program ini berhasil mengerjai banyak orang juga selebriti hingga tak jarang mereka menangis dan marah. Saat itulah para kru akan keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghampiri korban sambil berseru “Ups, salah!”
Sementara di televisi, program TV berkonsep prank yang cukup digemari dibuat oleh MTV dan Aston Kutcher sebagai host. Program bernama Punk’d itu awalnya hanya menyasar orang umum. Namun candaan mereka membuat salah satu korban tak terima hingga mereka dituntut ke pengadilan. Konsep program kemudian berubah, mengerjai selebriti sementara host akan mengawasi melalui layar di satu tempat tersembunyi. Saat target mulai marah, kesal dan bingung, host akan muncul menghampiri sambil berseru, “You got punked!
Entah siapa yang memulai, prank kemudian mulai mengisi konten-konten YouTube para selebriti atau YouTuber dengan banyak pengikut. Bentuk prank bisa bermacam-macam dengan “korban” beragam.  Umumnya mengerjai orang-orang terdekat seperti anak, asisten, manager, bahkan orang tua. Ada pula yang mengerjai namun dengan maksud memberi kejutan misalnya memesan makanan melalui aplikasi, pura-pura tak memesan dan menolak membayar hingga pengantar bingung dan kesal. Saat itulah pelaku prank memberitahu ia hanya berpura-pura, membayar dan memberi uang lebih, bahkan memberikan makanan yang dipesan kepada pengantar.
Aksi kejahilan ini juga merambah televisi kita. Setelah prank call ala program Ups Salah tak lagi tayang, Tim Kreatif program-program Tv mulai melakukan aksi prank yang “dikemas” lebih serius. Ada yang bahkan  bekerja sama dengan pihak kepolisian, berpura-pura menginspeksi tas para pemain dan menuduh salah satu dari mereka sebagai pemakai narkoba!. Padahal sebelumnya, bubuk yang sebenarnya garam itu memang telah dimasukkan ke tas yang bersangkutan. Aksi ini bahkan dilakukan saat program tayang secara live.

Cuma Bercanda?
Walaupun dimaksudkan sebagai bentuk candaan, mengerjai  dan sekedar lucu-lucuan, menurut saya prank jadi condong pada sebuah kebohongan bahkan banyak yang lepas kontrol tanpa memikirkan akibatnya. Yang penting menghibur, tak peduli walaupun korban yang dikerjai sedih, kaget, marah atau sampai pucat pasi.
Tapi, pernahkah terpikir akibat aksi itu pada korban? Maksudnya hanya bergurau kalau “kamu bukan anak mama papa”. Namun saat si anak sudah merasa terpukul dan sedih, sejurus kemudian orang tuanya bilang, “cuma prank”. Pernahkah terpikir bagaimana perasaan si anak dikerjai seperti itu? Belum lagi anak akan berpikir kalau membohongi dengan maksud bercanda adalah syah-syah saja.
Saya pernah menonton konten YouTube seorang selebriti yang bermaksud menge-prank anaknya, mengabarkan kalau anaknya itu hanya anak pungut. Lucunya si anak tak percaya bahkan berkata, “Papa mama kan selama ini dikenal suka nge-prank. Aku nggak percaya, Jangan-jangan ini juga cuma prank.”  Saya membayangkan, betapa tak berwibawanya orang tua jika sudah dicap anak seperti itu. Bahkan ketika kita nampak serius dan berbicara hal yang juga serius, anak sendiri tak percaya karena menganggap itu hanya prank atau candaan!
Ketika aksi kejahilan ini diunggah ke sosial media atau televisi dan ditonton banyak orang, siapa menjamin kalau tak ada anak-anak dan remaja yang menontonnya? Ini malah menjadi inspirasi keburukan bagi mereka, menganggap kalau mengerjai atau membohongi siapapun tidak masalah. Tercatat aksi-aksi prank yang dilakukan masyarakat umum, tentunya karena terinspirasi oleh apa yang mereka lihat di media.  Seorang wanita di Bone Makasar misalnya berpura-pura sesak nafas dan kejang-kejang, mengaku terkena covid 19. Karuan saja para tenaga medis di rumah sakit panik. Belakangan, wanita itu mengaku kalau itu hanya prank!. Malang, akibat perbuatannya mengerjai orang itu, ia harus berurusan dengan polisi. Kalau sudah begini, apakah masih bisa disebut bercanda dan menghibur?

Tidak Kebablasan
Walaupun hanya bermaksud untuk bercanda, hendaknya konten prank tidak kebablasan. Hindari ide prank yang terkesan menghina, melecehkan, merendahkan atau menakuti. Bahkan jika bisa, lebih baik cari saja ide konten yang lebih kreatif dan bermanfaat. Jangan sekedar mencari jempol dan pengikut karena apapun yang kita lakukan tentu harus bisa kita pertanggungjawabkan kepada yang Maha Kuasa.
Lebih jauh lagi, pelaku dan media yang melakukan aksi ini sebenarnya tengah membangun budaya gemar dibohongi dalam masyarakat lalu menganggapnya sebagai hiburan semata. Tahu bahwa itu bohong, tapi kita malah menikmati bahkan memberi like dan subscribe.
Saya yakin, prank bukan satu-satunya ide konten yang bisa menarik penonton dan disukai. Banyak YouTuber yang digemari karena konten positif mereka bukan semata karena sensasi apalagi aksi jahil semata. Jika pun hendak memberi kejutan positif, apakah harus selalu didahului aksi prank?








Minggu, 21 Juni 2020

Majalah Annida, Kenangan Pada Sebuah Majalah Islami

Sumber: bukalapak.com
Masih ingatkah pada Majalah Annida? Majalah remaja ini terbit pertama kali pada 1991. Awalnya, rubrik-rubrik Annida memfokuskan pada permasalahan seputar wanita sebagai wujud kepedulian pada muslimah Indonesia yang makin minim wawasan keislamannya. Pada tahun ketiga, barulah Annida tampil dengan gaya baru, memfokuskan diri ke  segmen pasar remaja yang dirasa makin jauh dari nilai-nilai Islam.

Agar dapat tampil menarik bagi kaum muda, Annida mengganti beberapa rubriknya agar tampil lebih “remaja”dengan menampilkan cerita atau kisah sebagai andalan. Motto Annida berubah menjadi “Seri Kisah-Kisah Islami”. Melalui cerita, Annida meniyisipkan nilai-nilai dan pesan keislaman tanpa harus terkesan menggurui. Berdakwah lewat tulisan, begitu Annida mengistilahkan.

 Pada tahun 2000, rubrikasi Annida semakin beragam dan tak hanya berfokus pada cerita atau kisah. Rubrik-rubrik baru bermunculan seperti : konsultasi remaja, profil remaja berprestasi, komik, opini lelaki dalam 1269 male, dan sebagainya.  Motto Annida pun berubah menjadi ‘’Sahabat Remaja Berbagai Cerita’’. Annida berusaha menjadi teman remaja islam yang aktif, kreatif, gaul namun tetap menomorsatukan syari’at islam. Kompetisi rutin yang sempat diadakan majalah ini adalah Lomba Menulis Cerpen Pendek Islami (LMCPI)  yang melahirkan para penulis handal di kemudian hari seperti Asma Nadia serta Lomba Remaja Berpestasi.  Belakangan, Annida menjadi majalah remaja yang lebih nyastra.

Majalah ini sempat mengalami masa jaya pada akhir 90 sampai 2000-an dengan oplah hingga 100.000 eksemplar per bulan.  Saat itu, Helvy Tiana Rosa menjadi pemimpin redaksinya, dan Annida terbit sebulan 2 kali. Jika awalnya hanya beredar dan dikenal di kalangan anak-anak rohis, majalah ini mulai beredar luas dan nangkring di lapak penjual koran dan majalah. Ikon majalah Annida, seorang remaja aktif dengan jilbab lebar dan melengkung di ujung, si Nida, amat dikenal dan cerita khusus tentangnya sempat dibukukan.

Namun sekitar tahun 2004, Annida memutuskan untuk berhenti mengedarkan edisi cetak dan beralih ke online. Salah satu pertimbangan redaksi, ingin menghemat penggunaan kertas sebagai salah satu bentuk kepedulian pada lingkungan. Namun di media online, mereka mengakui kalau hal itu merupakan salah satu cara bagi mereka untuk bertahan menghadapi persaingan dengan media cetak lainnya. Beralamat di www.annida-online.com , rubrik-rubrik di edisi online ini hampir mirip dengan edisi cetak.

Annida sempat kembali muncul edisi cetaknya namun terbit 3 bulan sekali. Annida cetak versi baru ini muncul dengan tampilan mewah dengan kertas lux dan berwarna, bercover seleb terkenal. Mungkin agar bisa bersaing dengan majalah remaja lain. Konsekuensinya, harga Annida menjadi lebih mahal. Sayangnya, Annida versi ini hanya bertahan hingga 4 edisi. Annida edisi online pun tak selalu se-up to date saat awal muncul.  Rubrik cerpen dan cerbung yang jadi andalan seringkali tidak berganti padahal sudah berbulan-bulan. Kini,Annida edisi online ini pun sudah tak tayang lagi.

Kebanjiran Naskah

Sebagai satu-satunya majalah remaja islam yang banyak memuat cerita-cerita fiksi islami, Annida memiliki peran penting dalam perkembangan kepenulisan cerita islami di Indonesia. Jika sebelumnya, remaja muslim hanya mendapat pengalaman membaca cerita dari majalah-majalah umum, melalui Annida mereka mulai memperoleh wawasan baru. Banyak nilai yang mungkin secara tak sadar mereka serap dari membaca cerita-cerita di majalah Annida.

Animo yang besar itu tak hanya nampak dari tiras majalah yang tinggi namun juga dari banyaknya naskah cerita yang masuk setiap bulannya. Saya ingat, membaca tulisan redaksi yang kebanjiran naskah termasuk untuk LMCPI yang diadakan setiap tahun. Annida sampai merasa perlu untuk membuka rubrik baru seperti Bengkel Nida yang membahas tentang tips menulis cerita atau kolom khusus yang diasuh penulis senior untuk membedah salah satu cerita yang dimuat di Annida edisi yang sama.

Melalui Annida, banyak para penulis yang memulai karier menulisnya di majalah ini sebelum dikenal dan naskahnya beredar di banyak media atau buku. Ada pula yang sebelumnya sudah menjadi penulis namun merasa menemukan wadah yang tepat ketika menulis di majalah tersebut.  Cerpen fenomenal Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa misalnya dimuat pertama kali di majalah Annida pada 1993. Sebelum akhirnya diangkat ke layar lebar, cerpen ini dan cerpen Helvy lainnya dibukukan oleh Annida, berhasil naik cetak puluhan kali dan dicetak dalam jumlah sangat banyak. Cerpen Asma Nadia di awal karir menulisnya Jodoh Untuk Ajeng, Koran Gondrong dan Imut juga “ditemukan” majalah Annida dan menjadi juara dalam Lomba Menulis Cerita Pendek yang diselenggarakan majalah itu.  Nama-nama lain yang juga awalnya dikenal melalui majalah ini adalah Afifah Afra, Sinta Yudisia, Maya Lestari GF dan sebagainya.

Jangan lupa, Annida juga menjadi salah satu wadah bagi para penulis yang tergabung dalam organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia, Forum Lingkar Pena (FLP), untuk memuat karya-karyanya. Organisasi yang diinisiasi oleh Helvy Tiana Rosa, Muthmainnah dan Asma Nadia pada 1997 ini menjadi tempat berkumpulnya penulis muda dan lama, yang kemudian seolah tak terpisahkan namanya dari Annida. Majalah ini memang berperan besar dalam perkembangan FLP di kemudian hari: memuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana untuk merekrut anggota baru. Helvy, dalam bukunya Segenggam Gumam bercerita, ada 2000 orang yang mendaftar melalui Annida saja.

Setelah ini, terbit banyak novel islami dan juga sempat menjadi booming di awal 2000-an. Saat itu, banyak penerbit yang juga ikut-ikutan menerbitkan novel genre ini. Tentunya, ini menjadi wadah baru bagi para penulis untuk menerbitkan karya mereka agar dikenal lebih luas.

 

Berubah Lalu Menghilang

Sayangnya, menurut saya, saat sedang digandrungi Annida malah beralih haluan menjadi majalah yang lebih dewasa, bernuansa sastra. Saya sempat mengikuti beberapa edisinya. Ada rubrik bahasan utama dengan tema yang lebih ‘serius’ dibandingkan bahasan di majalah Annida edisi awal dan tak lagi banyak membahas tentang dunia remaja. Saya merasa, Annida versi nyastra ini terasa lebih mature. Mungkin memang terasa greget untuk sebagian pembaca tapi karena segmen pasarnya tak berubah, rasanya isi Annida yang seperti itu jadi terasa seperti kehilangan ruhnya yang dulu.

Cover majalah yang semula gambar ilustrasi, berubah menjadi foto model. Bagi saya yang sejak awal mengikuti Annida malah merasa kurang sreg. Bisa jadi, redaksi ingin mengubah tampilan agar berbeda atau untuk menyamakan dengan majalah remaja lain. Namun menurut saya, menampilkan cover foto model perlu effort lebih besar misalnya perlu memikirkan pemilihan model, make up, lighting, kostum maupun kualitas foto yang tepat dan baik.  Dibandingkan dengan majalah serupa, Annida jelas kalah saing karena majalah remaja umum memiliki kemampuan yang lebih profesional selain kualitas kertas majalah yang lebih baik juga kualitas fotonya.

Ketika beralih ke media online, sebenarnya Annida punya peluang untuk tetap memiliki banyak pembaca. Sayangnya, Annida nampak tak seserius saat menggarap versi cetak, entah karena kendala apa. Isi rubrik yang sering tak up-to-date atau tampilan yang kurang eye catching dapat menjadi sebab pembaca “lari”. Bisa pula karena tak semua pembaca memiliki akses internet-saat itu belum marak hape android- atau bukan tipe yang suka membaca via layar seperti saya. Akhirnya, Annida makin kehilangan pembaca yang mungkin awalnya hendak setia namun gigit jari karena banyak kecewa atau kendala lainnya.

Kini, majalah Annida hanya tinggal kenangan. Saya masih memegang beberapa edisi yang memuat karya saya: tulisan dan surat pembaca J Selebihnya, koleksi saya dihibahkan ke perpustakaan sekolah. Saya yakin, masih banyak mantan pembaca Annida lama yang merindukan munculnya Annida kembali. Walaupun mungkin agak sulit terealisasi karena trend pembaca (remaja) saat ini sudah berubah, namun kekangenan pada cerpen berkualitas dengan sisipan nilai dan pesan keislaman tetap ada. Ini tak tergantikan dengan membaca buku bernuansa religi. Walaupun telah “tiada”, namun peran Annida dalam perkembangan penulisan cerita islami perlu dikenang sebagai hal yang berharga.


Kamis, 18 Juni 2020

Media Cetak, Riwayatmu Kini

sumber: jatim times


Mei lalu, jagat maya sempat ramai soal koran harian The Jakarta Post  yang akan berhenti terbit. Rumor berjudul Sayonara The Jakarta Post itu muncul setelah surat internal koran tersebut bocor ke publik. Tanpa menjelaskan detail isi surat tersebut, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Nizar Patria menyebutkan judul surat itu telah diubah dan  kemudian beredar di media sosial. Walaupun memastikan koran berbahasa Inggris ini tetap terbit, Nizar mengakui kondisi perusahaan memang sedang tak baik. Selain preferensi pembaca yang lebih condong pada media online saat ini, situasi tak menentu karena pandemi juga membuat perusahaan harus melakukan efesiensi untuk menekan biaya operasional. Mereka pun hendak melakukan transformasi ke format digital yang saat ini dianggap lebih menjanjikan (Tempo.co.id)
The Jakarta Post bukan lah satu-satunya media cetak yang mulai kembang kempis menghadapi situasi ekonomi yang tak menentu akibat pandemi. Apalagi sejak sebelumnya, media cetak memang telah lama terpuruk akibat gerusan zaman. Penyebabnya, kecenderungan orang saat ini yang lebih suka mengakses informasi melalui media online atau media lain selain media cetak.
Tahun 2014, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pernah melakukan survei dengan pertanyaan: “Dari mana Anda mendapatkan berita dan informasi?” Survei itu menunjukkan 79% responden menjawab televisi, 8% internet, 2 % radio dan 11% membaca koran. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden yang hanya terdiri dari Generasi Z- generasi yang lahir di rentang waktu tahun 1998-2010. Hasil yang ditunjukkan ternyata sedikit berbeda. Hanya 14,4% yang menjawab televisi sebagai sumber akses utama informasi. 83,6% memperoleh informasi dari internet dan hanya 1,7 % yang membaca koran (tirto.id).
Preferensi khalayak yang berubah itu memaksa banyak media cetak untuk beralih ke format online, tetap terbit 2 versi- online dan cetak - namun edisi cetaknya dibuat terbatas atau malah tutup sama sekali.  Majalah wanita Femina  misalnya yang semula terbit seminggu sekali, sejak 2017 terbit 2 mingguan bahkan kini terbit hanya sebulan sekali dengan oplah terbatas. Koran Tempo berhenti terbit di daerah dan hanya terbit di Jabodetabek.  Mereka pun menghentikan penerbitan Koran Tempo Edisi Minggu dan kini lebih fokus pada media online. Koran Sindo yang bernaung di bawah MNC Grup menutup kantornya di Yogyakarta. Media lain yang juga memutuskan untuk berhenti terbit atau beralih ke media online selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini di antaranya adalah Sinar Harapan, Tabloid Bola, Reader’s Digest, Tabloid Cek & Ricek, The Rolling Stone Indonesia, Jakarta Globe, majalah Kawanku dan majalah HAI.  

Agen Koran Hidup Makmur
Menarik cerita ke belakang, media cetak sempat mengalami masa jaya terutama di tahun 80-90an. Saat itu, agen koran sangat makmur. Satu koran harian bisa beroplah sampai ratusan ribu eksemplar begitu pun majalah berita atau hiburan. Agen koran dan majalah bisa hidup berkecukupan begitu pun para pedagang dan loper bisa mencari nafkah dari berjualan koran dan majalah saja.
Kini, jika kita mampir ke agen koran, situasinya tak seramai dulu. Para agen mengakui oplah koran- media cetak yang paling banyak diakses selama ini- menurun drastis dan tentunya berpengaruh pada penghasilan mereka. Begitupun para loper atau pedagang koran dan majalah. Coba saja iseng menghitung, ada berapa penjual koran yang masih bertahan di sekitar rumah kita. Bisa jadi, keberadaannya kini semakin sulit ditemukan.
Para ahli teori komunikasi sesungguhnya sudah memprediksi ini akan terjadi meskipun tak menyangka akan terjadi secepat ini. Namun menurut para pengamat, kecenderungan masyarakat yang berubah untuk mengakses informasi adalah konsekuensi logis dari kemajuan teknologi. Kini, orang tak lagi mau bersusah payah mencari penjual koran  atau menunggu koran datang, lalu membacanya di atas kursi sambil membolak baliknya. Generasi kini lebih suka sesuatu yang cepat dan mudah. Cukup membuka gadget, lalu mengakses informasi sambil rebahan di atas kasur atau bermalasan di sofa.
Bagi sebagian orang, media cetak mungkin masih menjadi andalan untuk memperoleh informasi. Namun jika ingin tetap bertahan, media memang mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Mereka yang bertahan adalah yang mampu dengan tanggap melakukan adaptasi itu selain media-media yang berafiliasi pada perusahaan besar dan memiliki modal mapan.
Sayonara media cetak? Mungkin saja. Namun sejatinya, informasi akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Apapun bentuknya, hendaknya para pelaku media dapat belajar dan bergerak cepat untuk menyediakannya.


Kisah Preman Yang Digandrungi


Setelah sinetron serial Si Doel Anak Sekolah (SDAS) booming pada tahun 90-an, sinetron berlatar budaya lokal mulai disukai dan dianggap memiliki daya jual. Sejak itu, banyak sinetron sejenis yang diproduksi dan tayang di layar kaca. Ada yang sukses, ada pula yang tak terlalu mampu menggaet banyak penonton.

Salah satu sinetron serial berlatar budaya lokal yang tergolong berhasil adalah Preman Pensiun (PP). Berlatar budaya Sunda, sinetron ini cukup digemari hingga dibuat sekuelnya, kini masuk sekuel 4. PP tak terlalu mengandalkan daya tarik pemain terkenal untuk menggaet penonton. Selain almarhum Didi Petet sebagai Kang Bahar dan Epy Kusnandar sebagai Muslihat atau Kang Mus, tidak ada pemain terkenal lain yang berperan dalam sinetron ini. Malah boleh dibilang, beberapa pemain yang awalnya belum terkenal itu menjadi dikenal khalayak setelah bermain dalam PP.

Bagai Organisasi

PP bercerita tentang Kang Bahar, seorang preman yang amat berkuasa dan terkenal di kota Bandung. Tak tanggung-tanggung, pasar, terminal sampai jalanan dikuasai oleh anak-anak buah Kang Bahar. Bahar yang awalnya merantau ke Bandung untuk mencari nafkah sebagai penjual makanan, menjelma menjadi preman yang ditakuti dan disegani setelah melalui perjalanan panjang.

Tak ubahnya sebuah organisasi, Kang Bahar sebagai ketua memiliki tangan kanan bernama Kang Mus dan para anak buah seperti Pipit dan Murad yang menjadi pemegang kuasa di jalanan, Jamal penguasa terminal dan Komar penguasa pasar. Para “ketua” pemegang kuasa wilayah ini masing-masing memiliki sejumlah anak buah lain.  

Setelah istrinya meninggal, Kang Bahar memutuskan untuk pensiun sebagai preman. Kisah Kang Bahar dan para preman serta dinamika kehidupan mereka ini lah yang menjadi jalinan cerita PP. PP memperlihatkan tak hanya kehidupan preman yang keras dan kadang penuh bahaya, namun juga menceritakan sisi kehidupan pribadi mereka. Komar yang garang di tempat “kerja” nya ternyata takluk pada istrinya. Kang Mus yang nampak sangat berwibawa dan disegani para anak buahnya amat segan pada Emak, ibu mertuanya yang ketus dan galak. Pergulatan batin para preman ini saat ingin “taubat” dan berhenti menjadi preman juga tak luput jadi bahan cerita. Selain kisah para preman, disisipkan pula kehidupan jalanan lain sebagai pencopet yang juga tak kalah menarik untuk ditonton.

 Cerita Sederhana

Sejak pertama kali tayang di televisi pada 2015,  PP  telah menarik banyak penonton yang pastinya tak semua berasal dari suku Sunda. Cerita PP yang sederhana dan dekat dengan keseharian nampaknya menjadi salah satu daya tarik sinetron ini. Bisa juga karena penonton tertarik dengan cerita soal preman yang amat jarang diangkat sebagai tema cerita sebuah sinetron.

PP tak menawarkan kemewahan atau keelokan rupa para pemainnya namun bertumpu pada kekuatan cerita, dialog dan karakter peran yang ada di dalamnya. Kesuksesan PP versi sinetron kemudian diangkat ke layar lebar. Film yang tayang di awal tahun 2019 ini pun mampu menggaet jutaan penonton.

Bagi kamu yang pernah tinggal di kota kembang, Bandung, lokasi syuting PP di kota tersebut juga bisa jadi nostalgia tersendiri. Di episode-episode awal, PP pernah pula bekerjasama dengan Pemkot Bandung untuk mempromosikan spot-spot menarik di kota tersebut bahkan sempat menampilan Ridwan Kamil- yang saat itu masih menjadi walikota- sebagai bintang tamu.

Sekuel terbaru PP – Preman Pensiun 4- telah tayang selama sahur bulan Ramadhan lalu. Menampilkan banyak wajah baru, PP 4 lebih banyak menceritakan bagaimana para mantan preman ini berjibaku dengan hidup mereka setelah pensiun sebagai preman. Kang Mus dan Ujang berjuang membesarkan usaha kicimpring, Boim mantan preman di terminal berdagang kaos, Murad yang memilih menjadi security atau Cecep yang justru kembali ke dunia preman karena tak menemukan pekerjaan lain. Sayangnya karena keburu pandemi, syuting PP 4 harus dihentikan dan cerita hanya sampai episode 33.

 

 

 


Selasa, 16 Juni 2020

Dilema Belajar Online


Cuma begitu, aja?” begitu komentar netizen setelah menyimak siaran pers resmi Kemendikbud tentang pembelajaran tahun ajaran baru di masa pandemi. Diputuskan, sekolah-sekolah di 94% daerah dalam zona kuning, orange dan merah melanjutkan pembelajaran online. Apabila daerah tempat sekolah  bersangkutan telah menjadi zona hijau (bebas covid), barulah boleh dilakukan pembelajaran tatap muka. Sisanya sebanyak 6% sekolah di daerah berzona hijau diperbolehkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka. Namun ada syaratnya. Meskipun sekolah bersangkutan telah berada di zona hijau, tetap diperlukan persetujuan dari pemerintah daerah setempat, sekolah dan orang tua siswa untuk mulai membuka sekolah dan melakukan pembelajaran tatap muka.

sumber; sumeks.co

Banyak yang kecewa karena menurut mereka tak ada yang baru dari keterangan Pak Menteri soal bagaimana kebijakan pemerintah tentang belajar di masa pandemi.  Banyak hal detail yang luput dari pembahasan, misalnya soal bagaimana penerapan pembelajaran online  di daerah yang belum terjangkau internet, apakah tarif internet mendapat potongan dari pemerintah, bagaimana kebijakan pemotongan biaya SPP bagi siswa sekolah dan universitas dan seterusnya.
Sayangnya, saat siaran langsung itu, saya tak banyak mendapat jawaban yang jelas dari kementrian terkait mengenai apa dan bagaimana pembelajaran anak di tahun ajaran baru ini. Rasanya jawaban yang diberikan terlalu teoritis.
Perlu Bimbingan Orang Tua
Sejak diharuskan belajar di rumah, dalam waktu amat singkat orang tua dan anak harus melakukan banyak penyesuaian. Bagi anak, lingkungan sekolah dan rumah sebagai tempat belajar tentu berbeda. Kondisi dan situasi rumah tak selalu sekondusif di sekolah. Belum lagi di rumah, anak tak dapat bertemu dan berinteraksi langsung dengan guru dan teman-temannya. Bagi sebagian anak, hal ini dapat memengaruhi kondisi psikologis dan semangat mereka.
Bagi orang tua, pembelajaran online berarti belajar hal baru! Banyak orang tua yang gaptek. Belum atau tidak familiar dengan kirim mengirim email, google classroom, virtual meeting, mengirim tugas dengan aplikasi tertentu dan seterusnya. Tentu tak selalu mudah bagi para orang tua untuk mempelajari hal baru ini dalam waktu singkat. Saya ingat, di awal pembelajaran, ada saja orang tua yang bolak balik bertanya pada para guru soal bagaimana membuka file tugas yang dikirim ke google classroom, bagaimana cara mengisi dan mengirimkan file itu kembali, bagaimana men-download file dokumen ke laptop dan sebagainya. Kalau anaknya sudah cukup besar misalnya kelas 5 ke atas, orang tua bisa saja meminta mereka mengerjakannya sendiri tanpa banyak didampingi. Namun bagi mereka yang anaknya masih usia SD apalagi tingkat awal, tentu orang tua harus full membimbing dan mengawasi.
Kerepotan makin bertambah ketika orang tua masih harus bekerja ke luar hingga tidak bisa mengawasi langsung pembelajaran anak di rumah. Terutama para ibu ya. Banyak yang harus bolak balik menelepon ke rumah untuk menyampaikan apa yang harus dilakukan anak hari itu karena informasi dari sekolah dikirimkan ke nomor ibunya, sementara ia harus  ke kantor. Belum lagi jika anak ada lebih dari 1 dan harus melakukan pembelajaran streaming secara bersamaan. Orang tua harus menyiapkan fasilitas berupa gadget pendukung seperti laptop, ipad atau handphone, menyiapkan kuota juga menyiapkan tempat yang berbeda agar setiap anak fokus dengan pembelajarannya. Jangan tanya pusingnya emak yang masih punya anak bayi dan batita. Rasanya hari para emak semakin padat saja. Di hari biasa saja sudah sulit mencari waktu me-time, setelah belajar online bisa sekedar duduk sebentar saja sudah luar biasa J
Kendala lain, tentu saja berhubungan dengan kuota dan sinyal. Orang tua harus merogoh kocek lumayan untuk menyediakan paket data yang cukup. Sekali virtual learning secara online dengan durasi minimal 1 jam saja membutuhkan kuota lumayan. Kalikan dengan kuantitas pertemuan dalam seminggu plus jumlah anak. Sinyal juga dapat jadi penghambat. Pernah terjadi, beberapa kali teman anak saya tak bisa join meeting online karena terkendala sinyal yang byar pet padahal gurunya hendak memberikan materi cukup penting. Untuk soal ini, kadang memang tak bisa selalu kita kendalikan.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana anak-anak di daerah pedalaman yang tak terjangkau internet. Saya menonton di TV, mereka harus mencari tempat yang lumayan jauh agar dapat sinyal. Bagaimana pula anak-anak di sekolah dengan orang tua berpenghasilan kurang memadai yang boro-boro punya handphone android? Banyak sekolah yang lalu hanya menugaskan siswa mereka mengerjakan Lembar Kerja Siswa sekedar agar anak ada kegiatan belajarnya. Malah, ada pula guru yang sukarela berkeliling rumah murid-muridnya untuk mengajar karena tak mungkin melakukan pmebelajaran online.

Butuh Aturan Teknis
Jika pemerintah menetapkan pembelajaran online terus berlanjut, menurut saya, perlu dibuat aturan teknis agar semua sekolah dan universitas serta instansi pendidikan lainnya punya gambaran pasti apa yang harus dilakukan. Misalnya:
1.       Apakah sekolah harus menyediakan dana tambahan untuk para guru agar mereka dapat membeli kuota internet? Saya banyak mendengar dan membaca, para guru ini ada yang harus menyisihkan dana dari gaji mereka untuk membeli kuota demi keperluan mengajar. Sekolah tak menyediakan dana untuk men-support mereka. Padahal, tak selalu gaji guru cukup untuk memenuhi pos tambahan pengeluaran.

2.      Bagaimana dengan para murid - mayoritas bersekolah di sekolah negeri- yang tak punya fasilitas gadget atau ekonomi yang memadai namun belum memungkinkan untuk belajar tatap muka? Apakah ada alternatif pembelajaran lain atau kah pemerintah mengharuskan sekolah membantu penyediaan fasilitasnya dst?

3.      Apakah beban kurikulum yang diberikan untuk pembelajaran online masih sama dengan pembelajaran tatap muka? Mengingat waktu pembelajaran online di rumah tidak bisa disamakan dengan watu di sekolah. Selain itu,tidak semua orang tua punya waktu dan kemampuan yang sama untuk mendampingi dan membimbing anak mereka selama belajar di rumah.

4.      Bagaimana juklak untuk anak-anak PAUD, TK dan Sekolah Dasar yang baru masuk kelas 1 di tahun ajaran ini? Jika biasanya para guru yang dapat membimbing mereka di sekolah untuk pengenalan materi pembelajaran, bagaimana dengan di rumah? Sejauh mana peran yang perlu orang tua lakukan untuk mendukung anak-anak baru ini?

5.      Apakah ada pengurangan biaya internet- bekerjasama dengan Kominfo- selama pembelajaran ini, atau bahkan digratiskan sementara?

6.      Bagaimana kebijakan pengurangan SPP dan sebagainya bagi para siswa yang kurang mampu, mengingat banyak pula orang tua yang tak lagi berpenghasilan saat pandemi ini?

Saya yakin, masih banyak daftar pertanyaan yang belum terjawab oleh pemerintah mengenai pembelajaran online ini. Saya hanya berharap, jangan sampai semua hal dibebankan ke sekolah hingga sekolah kesulitan dan kebijakan bisa jadi berbeda di tiap sekolah. Ini malah menimbulkan masalah baru antara sekolah dan orang tua. Kita tentu ingin anak-anak Indonesia tetap meperoleh haknya untuk mendapat pendidikan dan mereka tetap tak kehilangan momen berharga selama masa pandemi ini. (opini ibu satu anak)