Memiliki banyak anak
nampaknya menjadi simbol prestise bagi sebagian orang. Ada kebanggaan
tersendiri ketika mampu memiliki anak berderet apalagi jika semua sukses.
Selain itu, memiliki banyak anak juga dipercaya menjadi sumber rezeki. Makin banyak anak, makin banyak pintu rezeki
yang Allah bukakan untuk orang tuanya.
Terdapat pula hadist yang
berbunyi: “Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Rasuallah SAW bersabda: “Nikahilah
wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak(subur) karena aku
akan berbangga dengan kalian dihadapan umat-umat yang lain”(HR.Abu Dawud). Hadist
ini kemudian menjadi “pedoman” bagi sebagian kita untuk memiliki anak
sebanyak-banyaknya.
Tak ada yang salah dengan
keinginan untuk memiliki anak banyak. Apalagi jika diniatkan kalau anak-anak
itu menjadi penerus estafet dakwah untuk menegakkan dinul islam di masa depan.
Namun hendaknya, keinginan itu tak hanya untuk memiliki anak banyak secara
kuantitas namun melupakan kualitasnya.
Anak lahir diikuti
kewajiban atas kita orang tuanya. Ia wajib kita didik, asuh dan berikan
kehidupan yang layak. Ia bukan makhluk yang bisa kita lepas begitu saja, membiarkan
mereka tumbuh sendiri mengikuti nasib. Jika mereka jadi anak-anak baik kita
bersyukur, tapi jika tidak kita hanya bersedih. Kita tak punya andil sama
sekali pada baik buruknya akhlak mereka.
Betapa banyak orang tua
yang punya banyak anak namun anak-anak itu tak mampu menjadi quratta a’yun
atau penyejuk hati. Saat ingin menikmati masa senja, bukan kedamaian yang
diperoleh orang tua tapi justru beban pikiran karena ulah buruk anak-anak
mereka. Ada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan memiliki anak banyak namun
tak satu pun anak yang mau telaten mengurusi. Ironisnya, ada orang tua yang
Allah takdirkan tak punya anak namun memiliki “anak-anak” –entah keponakan atau
anak angkat- yang begitu sayang dan peduli melebihi cinta seorang anak kandung.
Janganlah berkecil hati
jika Allah takdirkan kita “hanya” memiliki sedikit anak. Satu, dua, sepuluh
anak tidaklah menjadi penentu baik buruknya kita di mata Allah. Selama kita
telah menunaikan tanggungjawab sebagai orang tua, tentu Alllah tak mengabaikan
itu semua. Bersedihlah ketika kita memiliki anak (-anak) yang tak mampu kita
didik menjadi anak-anak sholeh dan sholehah, yang saat kita meninggal tidak
bisa mendoakan karena kebodohan mereka akan agama, yang malah sibuk
memerebutkan harta warisan ketimbang memikirkan bagaimana berbakti kepada orang
tuanya. Punya anak tapi bagai tak punya anak. Itulah mandul yang sebenarnya.