Sabtu, 31 Oktober 2020

Mandul Yang Sebenarnya

Memiliki banyak anak nampaknya menjadi simbol prestise bagi sebagian orang. Ada kebanggaan tersendiri ketika mampu memiliki anak berderet apalagi jika semua sukses. Selain itu, memiliki banyak anak juga dipercaya menjadi sumber rezeki.  Makin banyak anak, makin banyak pintu rezeki yang Allah bukakan untuk orang tuanya. 

Terdapat pula hadist yang berbunyi: “Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasuallah SAW bersabda:  “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak(subur) karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan umat-umat yang lain”(HR.Abu Dawud). Hadist ini kemudian menjadi “pedoman” bagi sebagian kita untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya.

Tak ada yang salah dengan keinginan untuk memiliki anak banyak. Apalagi jika diniatkan kalau anak-anak itu menjadi penerus estafet dakwah untuk menegakkan dinul islam di masa depan. Namun hendaknya, keinginan itu tak hanya untuk memiliki anak banyak secara kuantitas namun melupakan kualitasnya.

Anak lahir diikuti kewajiban atas kita orang tuanya. Ia wajib kita didik, asuh dan berikan kehidupan yang layak. Ia bukan makhluk yang bisa kita lepas begitu saja, membiarkan mereka tumbuh sendiri mengikuti nasib. Jika mereka jadi anak-anak baik kita bersyukur, tapi jika tidak kita hanya bersedih. Kita tak punya andil sama sekali pada baik buruknya akhlak mereka.

Betapa banyak orang tua yang punya banyak anak namun anak-anak itu tak mampu menjadi quratta a’yun atau penyejuk hati. Saat ingin menikmati masa senja, bukan kedamaian yang diperoleh orang tua tapi justru beban pikiran karena ulah buruk anak-anak mereka. Ada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan memiliki anak banyak namun tak satu pun anak yang mau telaten mengurusi. Ironisnya, ada orang tua yang Allah takdirkan tak punya anak namun memiliki “anak-anak” –entah keponakan atau anak angkat- yang begitu sayang dan peduli melebihi cinta seorang anak kandung.

Janganlah berkecil hati jika Allah takdirkan kita “hanya” memiliki sedikit anak. Satu, dua, sepuluh anak tidaklah menjadi penentu baik buruknya kita di mata Allah. Selama kita telah menunaikan tanggungjawab sebagai orang tua, tentu Alllah tak mengabaikan itu semua. Bersedihlah ketika kita memiliki anak (-anak) yang tak mampu kita didik menjadi anak-anak sholeh dan sholehah, yang saat kita meninggal tidak bisa mendoakan karena kebodohan mereka akan agama, yang malah sibuk memerebutkan harta warisan ketimbang memikirkan bagaimana berbakti kepada orang tuanya. Punya anak tapi bagai tak punya anak. Itulah mandul yang sebenarnya.

 

Jumat, 23 Oktober 2020

Atlet Menoreh Sejarah (1) Pelari Kulit Hitam Yang Permalukan Hitler

 

 Jesse Owens 
(source:blackhistorymonth.org.uk)

Pada 1931, International Olympic Committee (IOC) menyerahkan penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas 1936 ke Berlin- Jerman sebagai simbol kembalinya negara itu untuk masyarakat dunia paska kekalahan di Perang Dunia I . Namun, tak lama setelah mengambil alih kekuasaan sebagai Kanselir Jerman, Adolf Hitler menjadikan Olimpiade Musim Panas dan Musim Dingin tahun 1936 sebagai propaganda superioritas ras Arya dan legitimasi partai Nazi. Olimpiade ini juga pertama kali diliput televisi hingga dapat disaksikan di seluruh dunia. Untuk itu, Hitler tak segan menyediakan dana yang besar agar Olimpiade Berlin menjadi Olimpiade modern terbesar.

Alih-alih menjadi kompetisi yang menyatukan banyak ras dan budaya, pada April 1934 Hitler malah melarang orang Yahudi dan kulit hitam mengikuti ajang olahraga internasional itu, termasuk melarang atlet Olimpiade lompat tinggi Jerman, Gretel Bergmann, yang berkulit gelap turut serta.  Saat Olimpiade resmi dibuka pada 1 Agustus 1936, ada 18 atlet Afrika-Amerika yang berkompetisi saat itu termasuk Jesse Owens, yang berdarah Afrika-Amerika.

Tak disangka, Owens sukses besar dengan menyabet 4 medali emas. Pada nomor bergengsi lari 100 meter yang juga disaksikan langsung oleh Hitler, Owens menyabet gelar juara dengan catatan waktu 10,3 detik. Pada nomor 200 meter, ia memecahkan rekor dunia dengan 20,7 detik.  Di nomor estafet 400 meter, Owens dan kawan-kawannya pun sukses meraih emas. Pada nomor lompat jauh, Owens bahkan mengalahkan atlet Jerman, Luz Long. Rekor tersebut tak terpecahkan selama 25 tahun.

Prestasi Owens tentu saja merupakan tamparan keras bagi Hitler sekaligus mematahkan supremasi atlet-atlet kulit putih Jerman. Setelah Owens memenangkan medali pertamanya, Hitler tidak memberikan selamat kepadanya dan hanya berjabat tangan dengan atlet peraih emas dari Jerman.  Owens dan para atlet Olimpiade Afrika-Amerika lainnya diremehkan oleh sebuah surat kabar Nazi yang melabeli mereka sebagai "pembantu hitam" dari tim Amerika.

Meski tak mendapat ucapan selamat langsung dari Hitler, selama di Jerman Owens mendapat perlakuan yang sama dengan tim atau atlet berkulit putih. Ironisnya, saat kembali ke Amerika, Owens sama sekali tidak mendapat penghormatan layaknya pemenang Olimpiade, tidak diundang ke Gedung Putih dan tidak diberikan penghargaan sebagaimana atlet kulit putih lainnya oleh Presiden Franklin D. Roosevelt. Padahal, dari total 11 emas yang diperoleh Amerika saat itu, 6 di antaranya disumbangkan oleh para atlet kulit hitam.

Setelah keikutsertaannya dalam Olimpiade Berlin, Owens penisun dari profesi atletnya dan memilih untuk memanfaatkan kemampuan fisiknya untuk mencari uang. Ia “berlomba” dengan mobil dan kuda untuk memperlihatkan kecepatan larinya. Owens lalu menemukan passion-nya dalam bidang public relations dan marketing. Ia menekuni bisnisnya di Chicago Illinois dan acapkali menjadi pembicara dalam beragam pertemuan bisnis di berbagai belahan dunia.

Owens meninggal pada 31 Maret 1980 karena kanker paru-paru. Film tentangnya dibuat pada 2016 berdasarkan hasil konsultasi dengan ke-tiga putri Owens. Film berjudul Race itu dibintangi Stephan James yang berperan sebagai Jesse Owens.

Sumber: kumparan.com, biography.com