Tampilkan postingan dengan label Keseharian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keseharian. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Oktober 2022

Bernostalgia Lewat YouTube

Kayaknya bukan rahasia lagi kalau  di YouTube orang bisa menemukan rupa-rupa video bahkan dari tahun jadul sekalipun. Sebagai generasi lama, saya memanfaatkan web ini untuk memuaskan kesukaan saya mendengarkan lagu-lagu lawas yang dulu bahkan tak saya tahu video klipnya. Ini beberapa lagu "temuan" saya..


Lagu lama yang cukup dikenal pada tahun 94-an kalau tidak salah ingat. Waktu itu, Cindy sedang naik daun dengan lagunya yang lain, Aku Sayang Kamu. Tiba-tiba saya mendengar request lagu di radio dari teman sekolah saya. Ya ini lagunya.. Saya langsung suka walaupun sebenarnya lagunya nggak terlalu istimewa sih.. hehe..





Ini lagu yang selalu saya ingat. Saya suka lagu-lagunya Air Supply lalu membaca lirik lagu ini di majalah. Saya coba terjemahkan, kebetulan saya sedang semangat belajar Bahasa Inggris. Liriknya ternyata amat puitis. Sampai-sampai saya tuliskan khusus di buku lagu saya.. So.. memorable..

Dulu hanya pernah mendengar lagu soundtrack film ini di radio. Lalu saat menonton filmnya, Catatan Si Emon, di televisi, saya mendengar lagu ini lagI. Nggak pernah tahu siapa penyanyinya. Eh ternyata yang nyanyi Kris Dayanti masa masih remaja :) dan masih meniti awal karir. Hanya saja, saya itu ia masih menggunakan nama panggung, Dayanthie.





Mohon maaf kalau saya banyak membahas lagu 90-an ya... karena saat itu saya lagi senang-senangnya denger lagu, apalagi kalau lagi galau haha.. Ini salah satu lagu yang saya suka dari Titi DJ dari albumnya yang juga memuat lagu terkenal kala itu, Bintang-Bintang





Ini terhitung lagu paling "baru" yang saya bahas di sini. Terkenal di tahun 2002-an kalau tidak salah ingat. Lagu ini yang melambungkan nama Numata, trio musisi kakak beradik yang ternyata putra-putri penyanyi terkenal zaman dulu, Tety Kadi. Eh.. nggak tahu kenapa kok saya sempat suka sama vokalisnya.. Kayaknya cool gitu haha.. 

Rabu, 11 November 2020

Nostalgia 3 Masakan Tradisional

Murah, sederhana, mudah dibuat dan tentu saja lezat. Masakan tradisional yang agak mustahil bakal jadi favorit anak generasi YouTube 

 1. Sayur Rebung (Iwung)

Foto: Dok Pribadi

Rebung adalah tunas muda yang tumbuh dari akar bambu. Teksturnya renyah dan aromanya khas. Orang Sunda menyebutnya iwung. Masa saya kecil, Mama terhitung sering memasak iwung di rumah. Iwung-nya lebar-lebar. Mama biasa memasak iwung dengan santan ditambah sedikit cabai. Yang saya ingat, aroma sayur iwung saat masih hangat. Haruum sekali. Menggugah nafsu makan. Seingat saya, hanya saya dan Mama yang suka makan sayur iwung. Sementara Papa dan adik saya tak begitu suka. 

Setelah merantau dan menikah, nyaris tak pernah saya memasak iwung. Saya pun melihat jenis iwung di perantauan lain dengan di kampung halaman. Iwung- nya kecil-kecil tidak selebar di tempat saya yang biasa dimasak Mama. Sebulan lalu, saya coba bernostalgia dengan memasak lagi sayur iwung itu. Karena doyan pedas, saya tambahkan lebih banyak cabai. Aromanya mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Mau coba resep sayur iwung ala saya? Bahan-bahannya hanya 2 siung bawang merah, 2 siung bawang putih, cabai rawit merah sesukanya, daun salam, daun serai digeprek, garam, santan. Jangan lupa rebungnya. Pilih yang muda agar teksturnya tidak keras. 
Foto: Dok Pribadi

2. Tumis Kulit Melinjo
Pertama kali mencoba masakan ini saat berkunjung ke kosan teman masa kuliah dulu. Teman saya bilang “jaket” karena bahannya diambil dari “jaket” atau kulit melinjo. Padahal waktu itu kulit melinjonya hanya ditumis saja tapi saya suka. Mungkin karena bumbunya pas, pedas pula. Kata teman saya, ini masakan murah meriah. Cocok dimasak kalau nggak punya duit  Benar ternyata, ketika saya merantau, masakan ini biasa saya buat kalau pas uang cekak. Murah hanya 5 ribu sebungkus. Dapatnya lumayan banyak haha.. Bahan-bahannya, cukup bawang merah, bawang putih, garam, daun salam, dan cabai rawit kalau ingin rasa pedas. Bumbunya bisa diulek dulu atau langsung ditumis saja. 

 3. Tumis terubuk
Terubuk atau trubus sesungguhnya adalah bunga tebu. Di Jawa Barat biasa disebut turubuk. Teksturnya mirip dengan telur ikan. Terubuk yang biasa dimakan adalah yang berusia sekitar 5 bulan. Bagian yang dipanen adalah bagian 'malai' yang masih muda sedangkan yang dikonsumsi adalah bagian bunga yang terbungkus dengan pelepah daun atau dikenal dengan istilah kelobot

Terubuk biasa dimakan dalam bentuk mentah sebagai lalaban, dikukus atau ditumis atau menjadi sayur lodeh. Kadang sebagai campuran kare atau sayur asem. Masa saya kecil, terubuk biasa dimasak dengan ditumis saja. Entah kenapa, tumis terubuk buatan Mama rasanya super enak. Bumbunya pas. Yang paling saya ingat, saat menyantap tumis terubuk hangat saat sahur. Hmmm … Bikin semangat makan sahur. Bahan-bahan tumis terubuk: bawang merah, bawang putih, cabai rawit, tomat, garam.

Selasa, 30 Juni 2020

Seteru Tak Berujung, Cebong Versus Kampret


Hayooo.. udah di-unfollow belum?” isi status seorang teman di akun sosial medianya. Saya bertanya-tanya, meng-unfollow siapakah? Belakangan saya baru ngeh kalau yang dimaksud adalah berhenti mengikuti akun sosial media seorang publik figur yang selama ini dikenal dengan aktivitas sosialnya. Beberapa hari lalu, si public figur mengunggah fotonya dengan Pak Presiden dengan caption puja-puji, “Aku kecewa.... ternyata dia cebong.” komentar orang-orang di status teman saya itu. Ternyata, itu maksudnya. Meng-unfollow karena sang idola ternyata pengagum tokoh yang bukan tokoh dukungannya.

Masih Berlanjut?
Tadinya, saya berpikir kalau perseteruan kecebong- sebutan untuk pendukung nomor 01 Jokowi dan kampret- sebutan untuk pendukung nomor 02 Prabowo di Pilpres lalu akan berakhir setelah pesta demokrasi itu usai. Ternyata tidak. Media sosial tetap ramai dengan para pendukung masing-masing (calon) presiden yang seperti tak lelah saling hujat, saling jelek menjelekkan.
Setiap kali pemerintah membuat sebuah kebijakan atau ada kejadian apapun yang berhubungan dengan pemerintahan saat ini, netizen nonpendukung 01 akan ramai mengomentari. Jika sudah begitu, pendukung Pak Pres akan balik membalas dengan tak kalah nyinyirnya.  Belum lagi jika buzzer, konon dibayar untuk menaikkan dan menjaga citra tokoh dukungannya, juga ikut menjelekkan tokoh yang dianggap bersebrangan dengan dukungannya itu.  Rasanya dunia maya makin hiruk pikuk saja.

Pilihan Pribadi
Tentu saya pun punya pilihan saat Pilpres lalu. Ketika jagoan saya tidak menang, rasa kecewa pasti ada. Satu hal, saya tidak lantas menjadi orang yang selalu menganggap apa yang dilakukan pemerintah itu buruk atau sebaliknya.  Saya mencoba untuk tetap subjektif: mengkritik di media sosial jika memang saya merasa perlu diperbaiki dan dikritisi, jika baik ya saya apresiasi. Setidaknya saya tidak berkomentar yang tak perlu. Apalagi jika saya tak terlalu paham duduk perkaranya.
Teman-teman saya di media sosial juga bermacam-macam dan sudah pasti tak selalu satu dukungan dengan saya. Buat saya, itu tak masalah. Selama mereka tidak menjelekkan siapapun, tidak menyerang fisik seseorang atau sesama pendukung dan tidak mengungkit isu SARA, buat saya syah-syah saja jika mereka memuja-muji orang yang didukungnya. Walaupun mungkin bagi saya terkesan berlebihan dan sangat subjektif, tapi memang begitu kan sikap kita pada idola pada umumnya? Saya pun pasti akan cenderung mengunggah sisi-sisi positif saja dari tokoh atau idola saya itu.

Soal Pribadi
Kembali ke soal artis sekaligus YouTuber yang mendadak di-unfollow banyak orang karena unggahannya itu, kenapa harus begitu? Jika memang ia pendukung salah satu, lalu menulis caption penuh pujian, apa salahnya? Pujiannya terkesan berlebihan dan nggak sesuai kenyataan? Ya sudah.. Wajar rasanya seseorang memuji orang yang ia idolakan.
Secara pribadi, saya melihat dia bukan artis bermasalah. Setidaknya, isi kontennya positif, bahkan menginspirasi banyak orang untuk banyak beramal seperti dirinya. “Kesalahan” nya hanya satu: menjadi pendukung dan memuji seseorang yang kebetulan bukan orang yang banyak netizen idolakan-setidaknya netizen yang selama ini sudah kadung mem-follow dan menyukainya.
Mau meng-unfollow dia? Ya silahkan saja. Kebetulan saya memang tak punya akun instagram jadi memang tak bisa meng-unfollow siapapun haha..  Hanya saja, saya lebih suka menempatkan semua pada tempatnya. Jika teman saya pendukung seseorang yang berbeda dengan saya, namun secara pribadi dia baik, saya memilih tetap berteman dengannya no matter what. Kecuali, seperti saya bilang tadi, dia sudah menyinggung dengan menjelekkan fisik dan SARA, tanpa diminta pun saya akan memilih untuk meng-unfriend atau mejaga jarak saja dengannya dalam kehidupan nyata.



Jumat, 28 Februari 2014

Menanti Surga Bagi Pejalan Kaki



 
Source:thebestyoumagazine.com
Sebenarnya, saya ini suka berjalan kaki. Berawal saat SMP dulu, saya terbiasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah atau menuju ke tempat les begitupun sebaliknya. Alasannya untuk berhemat. Maklumlah, uang saku saya nggak seberapa padahal sebagai remaja keinginan saya banyak. Sementara, orang tua saya tak selalu mampu mewujudkan keinginan saya membeli ini-itu. Jadilah saya mengandalkan uang saku untuk membelinya. Pernah juga saya berjalan kaki karena memang uang saya telanjur habis. Kebiasaan ini terus berlanjut saat saya SMU.
Di Sukabumi, kota kelahiran saya, berjalan kaki bisa menjadi aktivitas yang lumayan nyaman. Setidaknya, sebagai pejalan kaki saya masih menemukan trotoar yang lumayan lebar meskipun di beberapa tempat sudah “dikuasai” pedagang kaki lima. Alhasil, saya tak perlu berjalan di pinggir jalan hingga tak terlalu merasa takut tertabrak mobil atau diganggu lalu lalang kendaraan bermotor.
Saat kuliah, kebiasaan berjalan kaki ini tidak tersalurkan karena memang tak memungkinkan. Jarak rumah tante, tempat saya menumpang, dan kampus lumayan jauh. Tidak mungkin saya tempuh dengan berjalan kaki. Tapi, saat saya pindah ke daerah Dago- Bandung – saya kembali menekuni “hobi” saya . Saat luang, pagi-pagi saya biasa berjalan kaki ke Dago atas atau sekedar “bertualang” mencari jalan alternatif yang jarang dilalui orang.
Pindah ke Tangerang untuk bekerja, saya kembali kehilangan kesempatan untuk berjalan kaki. Sebabnya, situasi memang tak memungkinkan. Saya sih mau-mau saja berjalan kaki. Tapi berjalan kaki di pinggir jalan Tangerang sangat tidak mengenakkan. Selain kadang tak tersedia trotoar, Tangerang yang panas dan penuh polusi bikin saya malas jalan kaki.
Yang paling memungkinkan hanyalah berjalan kaki di jalan-jalan kecil-bukan gang- yang boleh disebut sebagai semi jalan raya. Yang disebut semi jalan raya adalah jalan non-protokol, namun berukuran cukup lebar. Biasanya tak ada angkutan umum dan yang lewat umumnya hanya ojek saja.
Meskipun begitu, jalan ini tetap boleh dilewati mobil roda empat bahkan truk-truk besar karena memang cukup lebar. Jadi, meskipun bukan jalan raya, tetap saja tidak ideal untuk pejalan kaki seperti saya. Gimana tidak, sebentar-sebentar saya harus minggir, nggak ada trotoar pula. Kalau tak hati-hati, bisa-bisa saya tersenggol kendaraan bermotor atau kejeblos jalan rusak. Saya nggak tahu kenapa Tangerang punya banyak jalan macam ini karena seingat saya di Sukabumi atau Bandung tidak ada jalan semi protokol.
Tapi jujur, ada situasi yang mau tak mau membuat saya memilih berjalan kaki karena saya tak punya kendaraan kecuali jika saya dijemput atau diantar suami. Karena merasa sayang mengeluarkan uang untuk ojek, saya pun berjalan kaki. Tentunya sambil melihat-lihat situasi.
Sambil berjalan, saya membayangkan suatu hari nanti somewhere di Indonesia akan ada kota yang ramah untuk pejalan kaki dimana di dalamnya tersedia fasilitas memadai dan nyaman untuk mereka. Jalan kaki kan bisa jadi alternatif olahraga yang murah dan mudah dilakukan. Jika fasilitas itu tidak ada, jangan heran kalau orang lebih memilih naik motor atau mobil ketimbang berjalan kaki bahkan untuk jarak tempuh dekat sekalipun. Padahal, konon salah satu penyebab timbulnya banyak penyakit di usia muda adalah kurang bergerak. Kapan ya jadi kenyataan?








Rabu, 14 Agustus 2013

Lebaran Sama, Lebaran Beda



 Meskipun sama-sama merayakan lebaran, ternyata tradisi merayakan hari raya dapat berbeda-beda di setiap daerah. Sebenarnya ini hanya masalah kebiasaan. Tapi karena sudah rutin dilaksanakn, kebiasaan itu dianggap “wajib” dan dianggap tidak afdhol jika tak dilakukan. 

Di keluarga saya, saat hari raya biasanya kami akan berkeliling dulu untuk menyalami tetangga sekitar rumah. Setelah itu kami akan berkumpul di satu rumah. Biasanya di rumah orang yang paling dituakan. Kebetulan, rumah kakek saya selalu dijadikan tempat berkumpul. Meskipun kakek bukan yang paling tua,  rumah kakek terhitung yang paling besar dan mudah dijangkau oleh saudara-sudara yang lain hingga tempat tinggal kakeklah yang dipilih sebagai tempat ngumpul
Karenanya, di hari lebaran semua anggota keluarga, sanak famili dan handai taulan akan datang ke rumah kakek untuk bersilaturahmi. Saya pun tak perlu capek-capek mengunjungi saudara satu persatu karena bisa dipastikan kami akan bertemu di rumah kakek pada hari pertama atau kedua lebaran. Paling-paling kami tinggal mengunjungi saudara yang tak sempat kami temui saat itu. Biasanya kami hanya punya waktu 2 sampai 3 hari di rumah karena setelah itu saya akan diajak orang tua mudik ke Sumedang tempat tinggal nenek saya dari pihak ibu. 
Setelah menikah, gambaran saya tentang lebaran sebenarnya tak jauh berbeda. Dalam bayangan saya, lebaran bersama keluarga suami yang asli Betawi pastilah tak jauh dari berkeliling untuk salaman dan berkumpul di satu rumah seperti halnya kebiasaan di keluarga saya. 
Namun semuanya tak seperti yang saya bayangkan. Lebaran pertama bersama suami malah membuat saya shock. Bagaimana tidak. Sejak pagi hingga malam saya diajak berkunjung ke rumah saudara. Bahkan kalaupun siang harinya kami sudah bertemu di satu rumah, malam hari atau esok harinya kami harus gantian mengunjungi kerabat itu.
Terbayang kan, jika ada 5 encing (sebutan untuk adik ibu atau bapak) dan 5 encang (sebutan untuk kakak ibu atau bapak) maka saya harus kembali mengunjungi ke –sepuluh encang dan encing itu meskipun kami sudah bertemu sebelumnya. Padahal yang disebut kerabat itu tak sedikit jumlahnya.
Sebenarnya, bisa saja kami tak balik mengunjungi. Tapi idealnya, kunjungan itu harus berbalas. Biasanya, saudara yang tidak sempat dikunjungi pun akan merasa kurang senang. Mungkin itu sebabnya, lebaran ala keluarga Betawi di tempat tinggal suami saya bisa berlangsung sebulan penuh karena tradisi saling balas kunjungan itu. 
Awalnya, saya pun sempat mutung karena kecapekan dan kaget. Apalagi, karena besoknya saya akan mudik ke rumah orang tua, ibu mertua "memaksa" kami untuk mengunjungi hampir semua kerabat yang dianggap penting dari jam 9 pagi sampai jam setengah sepuluh malam!. Beda sekali dengan tradisi Lebaran di keluarga saya yang sore saja sudah selesai.
Saya pikir kebiasaan saling balas kunjungan itu agak tak efektif dan terlalu memakan waktu. Untuk mayoritas masyarakat Betawi di tempat suami, mungkin tak masalah melakukan kebiasaan itu. Rata-rata mereka-terutama generasi tua-bekerja tak terikat. Misalnya, punya toko atau menggarap kebun. Tapi untuk mereka yang bekerja di perusahaan, kebiasaan ini nampaknya akan sulit dilakukan karena keterbatasan waktu. Apalagi jika harus mudik juga. 
Tapi saya tak bisa banyak protes. Itulah kebiasaan yang harus saya hormati. Setidaknya, sekarang saya sudah lebih siap mental saat Lebaran tiba dan tak mutung lagi.

Selasa, 13 Agustus 2013

Kapan Nikah?





Mayoritas orang Indonesia memang pintar berbasa-basi dan mengakrabkan diri bahkan pada orang yang baru dikenal sekalipun. Sebagian kita bisa dengan mudahnya membuka pembicaraan dan mengobrol ngalor-ngidul dengan orang baru. Apalagi dengan saudara atau sanak famili. Lihat saja  arisan atau halal bihalal pasca Lebaran. Semua orang nampak akrab dan hangat. 
Bisa jadi, sikap ramah dan welcome yang ditunjukkan itu dapat membuat orang merasa diakui, dihargai dan diterima . Tapi menurut saya, kadang sikap ramah dan suka berbasa-basi itu kadang malah jadi menyebalkan kalau tak boleh dibilang menganggu. Terutama jika pertanyaan yang diajukan tak hanya sekedar soal kabar. Saat masih lajang dulu misalnya, saya seringkali ditanya soal “kapan nikah?”. Ok lah mungkin itu bentuk perhatian. Masalahnya, saya mau jawab apa?. Bukankah jodoh itu Allah yang menentukan? Kalaupun saya sudah punya calon, apakah ada jaminan kalau kami akan sampai ke pelaminan?. Mendapat pertanyaan seperti itu, biasanya saya hanya jawab dengan , “Insya Allah doain aja..” atau cukup dengan senyum saja, beres. 
Meskipun agak sebal, saya bisa menghadapi situasi itu dengan cuek. Tepatnya berusaha untuk tak ambil pusing.  Toh banyak orang termasuk teman-teman saya yang merasa terganggu tapi tak bisa secuek saya menghadapi situasi itu. Akhirnya mereka pun memilih tak ikut acara keluarga untuk menghindari pertanyaan soal pernikahan. Kalaupun terpaksa ikut, mereka akan berusaha untuk tak membuka obrolan. Takut ditanya-tanya..! 
Setelah menikah, saya merasa sedikit “lega”. Tadinya, saya pikir saya tak bakal ditanya-tanya lagi tentang soal “kapan nikah?”. Kan sudah?. Eh..ternyata tidak juga. Setelah masa lajang terlewati, pertanyaan selanjutnya adalah “kapan punya anak?”. Kebetulan setelah menikah saya tak langsung hamil. Sebenarnya, orang tua dan mertua tak terlalu banyak tanya. Tapi tak begitu dengan yang lain. Lagi-lagi saya tak tahu harus menjawab apa. Ya..soal anak kan memang ditentukan oleh Allah juga. Saya dan suami sudah berusaha, saya pun tak menggunakan alat kontrasepsi apa pun. Kalau belum jadi juga, apa saya bisa memaksa?. 
 Yang saya sebal, kadang tanpa menunggu penjelasan, orang yang bertanya sudah bikin kesimpulan sendiri, “emang ditunda dulu ya?”. Alhamdulillah saya bisa menghadapi “ujian” pertanyaan itu dengan muka lempeng. Tapi tak urung saya pun jadi berpikir. Tak semua orang bisa bersikap sama seperti saya. Bisa jadi malah kesal atau malah jadi khawatir. Jangan-jangan memang ada apa-apanya sampai saya belum “isi” juga?. 
Saya teringat saudara saya yang sampai ngotot ingin memeriksakan diri ke dokter karena sudah 7 bulan menikah belum kunjung hamil. Padahal baru 7 bulan lho..Belum setahun. Menurut teori, kita baru boleh curiga kalau ada masalah jika sudah setahun menikah tapi belum memiliki keturunan juga. Padahal tak memakai kontrasepsi. Penyebab kengototan itu, apa lagi kalau bukan karena pertanyaan orang-orang yang “peduli”.
Sekarang, saya sudah punya satu anak. Apakah saya tak ditanya-tanya lagi?. Tidak juga. Pertanyaan yang sering saya terima sekarang adalah,“kapan nambah?”. “Masa anak udah besar masih satu aja?”. “Mumpung masih muda, nambah lagi dong..”.  Saya jadi membayangkan. Bagaimana jika misalnya, kita melontarkan pertanyaan serupa pada orang lain. Padahal, orang yang ditanya itu bukannya tak mau punya anak lagi. Misalnya, dia atau pasangannya mengidap sakit tertentu yang menyebabkannya tak lagi bisa punya keturunan atau sulit punya momongan lagi. Apakah dia harus menjelaskan ke setiap orang sebab dia belum punya anak padahal mengingatnya saja mungkin sudah membuatnya enggan?
Saya pun belajar satu hal. Kadang, kita merasa apa yang kita tanyakan dalam sebuah obrolan adalah bentuk kepedulian dan keakraban. Tapi, alangkah baiknya jika kita memilah dulu pertanyaan apa yang akan kita lontarkan. Apalagi jika orang yang kita ajak bicara belum terlalu akrab dengan kita.
Saya ingat budaya barat yang bahasanya saya pelajari. Saat saya belajar bahasa Jerman dan Bahasa Inggris, dosen dan pengajar saya mewanti-wanti untuk tidak menanyakan soal “berapa jumlah anak Anda?” pada orang yang kita ajak bicara. Itu dianggap tidak sopan. Pertanyaan itu baru bisa diajukan saat kita sudah sangat akrab. Itupun bukan wajib ditanyakan, lho. Boleh ditanyakan. Artinya jika tak perlu, tak usah dilontarkan.
Lalu, apa jawaban saya saat ditanya “kapan nambah anak?”. Cukup jawab dengan “Insya Allah.” Atau dengan tersenyum saja. Meskipun sebenarnya, tak dijawab pun tak apa-apa. Saya yakin deh, setelah saya punya dua anak bukan berarti tak bakal ada lagi pertanyaan buat saya. Bisa jadi pertanyaannya menjadi: “Anaknya dua doang?Ngirit banget?. Nambah dong..”..Bahkan setelah anak dewasa, pertanyaan nya pun masih ada saja:” Kapan anaknya nikah?”..Kapan selesainya?