Asmara
(Revalina.S.Temat) pergi ke Beijing untuk bekerja sebagai koresponden sebuah
kantor berita sekaligus menyembuhkan luka hatinya. Rencana pernikahannya dengan
Dewa (Ibnu Jamil), kekasihnya, gagal karena Dewa terpaksa harus menikahi Anita.
Untunglah ada sahabatnya, Sekar (Laudya Chintya Bella) dan suaminya Ridwan
(Desta Mahendra) yang menemani dan menghiburnya selama di Beijing.
Tak
sengaja, di sana Asma bertemu dengan Zhong Wen (Morgan Oey), pria lokal yang
kemudian menjadi guide-nya saat
mengunjungi berbagai tempat bersejarah di negeri Tirai Bambu itu. Zhong Wen
menyamakan Asma dengan Ashima, seorang tokoh wanita dalam legenda Yunan, bahkan
memanggilnya dengan nama itu.
Dialog
dan pertemuan intens antara keduanya menumbuhkan simpati sekaligus rasa suka.
Sayang, Asma menderita penyakit serius yang memaksanya untuk kembali ke
Indonesia. Zhong Wen yang memang telah tertarik dengan Islam lalu menjadi
mualaf dan menyusul Asma ke Indonesia. Dengan mantap ia melamar wanita yang
sempat koma itu dan menjalani mimpi mereka bersama.
Film
yang diangkat dari novel berjudul sama karya Asma Nadia ini terasa datar dan
nyaris tanpa konflik. Kisah Zhong Wen dan Asmara nampak “manis” dan berjalan
tanpa kendala berarti. Jika Anda pernah membaca bukunya, bisa jadi Anda akan
kehilangan beberapa momen penting yang menurut saya bisa menjadi sumber konflik
dan penghidup cerita.
Saat-saat
Asma berjuang melawan penyakitnya atau kesedihan ibunda Asma saat melihat
putrinya koma, sebenarnya bisa saja dieksplorasi lebih jauh hingga
berkesempatan mengaduk emosi penonton. Tapi, kedua hal ini hanya ditampilkan
sekedarnya hingga penonton tak merasa perlu “mengkhawatirkan” keadaan Asma
apalagi ikut bersedih melihat kondisinya.
Di
film, tak tergambar pula bagaimana proses Zhong Wen hingga tertarik pada Islam
dan pengalamannya setelah menjadi mualaf yang mengundang reaksi keras
keluarganya. Sepertinya terlalu mudah bagi seseorang memutuskan bersyahadat
hingga terkesan keputusan Zhong Wen masuk Islam sebagian besar karena
ketertarikannya pada sosok Asma.
Tadinya,
saya bahkan sempat “berharap” kalau kehadiran Dewa, mantan pacar Asmara, dapat
menyulut konflik dan menciptakan klimaks. Tapi tidak juga. Dewa dengan mudahnya
‘menyerah”kan Asma pada Zhong Wen dan kembali pada keluarga kecilnya.
Adegan
yang cukup menyentuh adalah saat Zhong Wen melamar Asma di rumah sakit. Harus
diakui, akting Morgan cukup meyakinkan di film ini dan mampu mengimbangi
Revalina yang notabene telah lebih
berpengalaman bermain film. Untung pula, film ini menyertakan Laudya yang
berperan sebagai Sekar. Karakter Sekar yang riang dapat tergambarkan dengan
baik oleh Laudya dan lumayan menghidupkan cerita.
Mungkin
memang tak mudah memvisualisasikan sebuah cerita dalam buku ke layar lebar.
Penulis perlu jeli memilih bagian mana yang harus dimasukkan ke dalam versi
visualnya tanpa menghilangkan sisi menarik cerita itu. Apalagi, film terbatasi
durasi. Saya kira, itu sebabnya film ini terkesan kurang dalam dan seperti
“ingin cepat selesai” dengan membereskan semua masalah dan kesulitan para tokoh
di film secara mudah saja.
Tapi
jika Anda belum membaca bukunya, nampaknya semua itu tak jadi masalah. Film ini
cukup berisi dengan menyelipkan pengetahuan tentang Islam di China selain
suguhan visual yang indah dari negeri Tirai Bambu. Lalu, bersiaplah menikmati rangkaian kalimat
manis yang diucapkan Zhong Wen pada Asmara: “Let’s slowly grow old together..”