Minggu, 21 Juni 2020

Majalah Annida, Kenangan Pada Sebuah Majalah Islami

Sumber: bukalapak.com
Masih ingatkah pada Majalah Annida? Majalah remaja ini terbit pertama kali pada 1991. Awalnya, rubrik-rubrik Annida memfokuskan pada permasalahan seputar wanita sebagai wujud kepedulian pada muslimah Indonesia yang makin minim wawasan keislamannya. Pada tahun ketiga, barulah Annida tampil dengan gaya baru, memfokuskan diri ke  segmen pasar remaja yang dirasa makin jauh dari nilai-nilai Islam.

Agar dapat tampil menarik bagi kaum muda, Annida mengganti beberapa rubriknya agar tampil lebih “remaja”dengan menampilkan cerita atau kisah sebagai andalan. Motto Annida berubah menjadi “Seri Kisah-Kisah Islami”. Melalui cerita, Annida meniyisipkan nilai-nilai dan pesan keislaman tanpa harus terkesan menggurui. Berdakwah lewat tulisan, begitu Annida mengistilahkan.

 Pada tahun 2000, rubrikasi Annida semakin beragam dan tak hanya berfokus pada cerita atau kisah. Rubrik-rubrik baru bermunculan seperti : konsultasi remaja, profil remaja berprestasi, komik, opini lelaki dalam 1269 male, dan sebagainya.  Motto Annida pun berubah menjadi ‘’Sahabat Remaja Berbagai Cerita’’. Annida berusaha menjadi teman remaja islam yang aktif, kreatif, gaul namun tetap menomorsatukan syari’at islam. Kompetisi rutin yang sempat diadakan majalah ini adalah Lomba Menulis Cerpen Pendek Islami (LMCPI)  yang melahirkan para penulis handal di kemudian hari seperti Asma Nadia serta Lomba Remaja Berpestasi.  Belakangan, Annida menjadi majalah remaja yang lebih nyastra.

Majalah ini sempat mengalami masa jaya pada akhir 90 sampai 2000-an dengan oplah hingga 100.000 eksemplar per bulan.  Saat itu, Helvy Tiana Rosa menjadi pemimpin redaksinya, dan Annida terbit sebulan 2 kali. Jika awalnya hanya beredar dan dikenal di kalangan anak-anak rohis, majalah ini mulai beredar luas dan nangkring di lapak penjual koran dan majalah. Ikon majalah Annida, seorang remaja aktif dengan jilbab lebar dan melengkung di ujung, si Nida, amat dikenal dan cerita khusus tentangnya sempat dibukukan.

Namun sekitar tahun 2004, Annida memutuskan untuk berhenti mengedarkan edisi cetak dan beralih ke online. Salah satu pertimbangan redaksi, ingin menghemat penggunaan kertas sebagai salah satu bentuk kepedulian pada lingkungan. Namun di media online, mereka mengakui kalau hal itu merupakan salah satu cara bagi mereka untuk bertahan menghadapi persaingan dengan media cetak lainnya. Beralamat di www.annida-online.com , rubrik-rubrik di edisi online ini hampir mirip dengan edisi cetak.

Annida sempat kembali muncul edisi cetaknya namun terbit 3 bulan sekali. Annida cetak versi baru ini muncul dengan tampilan mewah dengan kertas lux dan berwarna, bercover seleb terkenal. Mungkin agar bisa bersaing dengan majalah remaja lain. Konsekuensinya, harga Annida menjadi lebih mahal. Sayangnya, Annida versi ini hanya bertahan hingga 4 edisi. Annida edisi online pun tak selalu se-up to date saat awal muncul.  Rubrik cerpen dan cerbung yang jadi andalan seringkali tidak berganti padahal sudah berbulan-bulan. Kini,Annida edisi online ini pun sudah tak tayang lagi.

Kebanjiran Naskah

Sebagai satu-satunya majalah remaja islam yang banyak memuat cerita-cerita fiksi islami, Annida memiliki peran penting dalam perkembangan kepenulisan cerita islami di Indonesia. Jika sebelumnya, remaja muslim hanya mendapat pengalaman membaca cerita dari majalah-majalah umum, melalui Annida mereka mulai memperoleh wawasan baru. Banyak nilai yang mungkin secara tak sadar mereka serap dari membaca cerita-cerita di majalah Annida.

Animo yang besar itu tak hanya nampak dari tiras majalah yang tinggi namun juga dari banyaknya naskah cerita yang masuk setiap bulannya. Saya ingat, membaca tulisan redaksi yang kebanjiran naskah termasuk untuk LMCPI yang diadakan setiap tahun. Annida sampai merasa perlu untuk membuka rubrik baru seperti Bengkel Nida yang membahas tentang tips menulis cerita atau kolom khusus yang diasuh penulis senior untuk membedah salah satu cerita yang dimuat di Annida edisi yang sama.

Melalui Annida, banyak para penulis yang memulai karier menulisnya di majalah ini sebelum dikenal dan naskahnya beredar di banyak media atau buku. Ada pula yang sebelumnya sudah menjadi penulis namun merasa menemukan wadah yang tepat ketika menulis di majalah tersebut.  Cerpen fenomenal Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa misalnya dimuat pertama kali di majalah Annida pada 1993. Sebelum akhirnya diangkat ke layar lebar, cerpen ini dan cerpen Helvy lainnya dibukukan oleh Annida, berhasil naik cetak puluhan kali dan dicetak dalam jumlah sangat banyak. Cerpen Asma Nadia di awal karir menulisnya Jodoh Untuk Ajeng, Koran Gondrong dan Imut juga “ditemukan” majalah Annida dan menjadi juara dalam Lomba Menulis Cerita Pendek yang diselenggarakan majalah itu.  Nama-nama lain yang juga awalnya dikenal melalui majalah ini adalah Afifah Afra, Sinta Yudisia, Maya Lestari GF dan sebagainya.

Jangan lupa, Annida juga menjadi salah satu wadah bagi para penulis yang tergabung dalam organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia, Forum Lingkar Pena (FLP), untuk memuat karya-karyanya. Organisasi yang diinisiasi oleh Helvy Tiana Rosa, Muthmainnah dan Asma Nadia pada 1997 ini menjadi tempat berkumpulnya penulis muda dan lama, yang kemudian seolah tak terpisahkan namanya dari Annida. Majalah ini memang berperan besar dalam perkembangan FLP di kemudian hari: memuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana untuk merekrut anggota baru. Helvy, dalam bukunya Segenggam Gumam bercerita, ada 2000 orang yang mendaftar melalui Annida saja.

Setelah ini, terbit banyak novel islami dan juga sempat menjadi booming di awal 2000-an. Saat itu, banyak penerbit yang juga ikut-ikutan menerbitkan novel genre ini. Tentunya, ini menjadi wadah baru bagi para penulis untuk menerbitkan karya mereka agar dikenal lebih luas.

 

Berubah Lalu Menghilang

Sayangnya, menurut saya, saat sedang digandrungi Annida malah beralih haluan menjadi majalah yang lebih dewasa, bernuansa sastra. Saya sempat mengikuti beberapa edisinya. Ada rubrik bahasan utama dengan tema yang lebih ‘serius’ dibandingkan bahasan di majalah Annida edisi awal dan tak lagi banyak membahas tentang dunia remaja. Saya merasa, Annida versi nyastra ini terasa lebih mature. Mungkin memang terasa greget untuk sebagian pembaca tapi karena segmen pasarnya tak berubah, rasanya isi Annida yang seperti itu jadi terasa seperti kehilangan ruhnya yang dulu.

Cover majalah yang semula gambar ilustrasi, berubah menjadi foto model. Bagi saya yang sejak awal mengikuti Annida malah merasa kurang sreg. Bisa jadi, redaksi ingin mengubah tampilan agar berbeda atau untuk menyamakan dengan majalah remaja lain. Namun menurut saya, menampilkan cover foto model perlu effort lebih besar misalnya perlu memikirkan pemilihan model, make up, lighting, kostum maupun kualitas foto yang tepat dan baik.  Dibandingkan dengan majalah serupa, Annida jelas kalah saing karena majalah remaja umum memiliki kemampuan yang lebih profesional selain kualitas kertas majalah yang lebih baik juga kualitas fotonya.

Ketika beralih ke media online, sebenarnya Annida punya peluang untuk tetap memiliki banyak pembaca. Sayangnya, Annida nampak tak seserius saat menggarap versi cetak, entah karena kendala apa. Isi rubrik yang sering tak up-to-date atau tampilan yang kurang eye catching dapat menjadi sebab pembaca “lari”. Bisa pula karena tak semua pembaca memiliki akses internet-saat itu belum marak hape android- atau bukan tipe yang suka membaca via layar seperti saya. Akhirnya, Annida makin kehilangan pembaca yang mungkin awalnya hendak setia namun gigit jari karena banyak kecewa atau kendala lainnya.

Kini, majalah Annida hanya tinggal kenangan. Saya masih memegang beberapa edisi yang memuat karya saya: tulisan dan surat pembaca J Selebihnya, koleksi saya dihibahkan ke perpustakaan sekolah. Saya yakin, masih banyak mantan pembaca Annida lama yang merindukan munculnya Annida kembali. Walaupun mungkin agak sulit terealisasi karena trend pembaca (remaja) saat ini sudah berubah, namun kekangenan pada cerpen berkualitas dengan sisipan nilai dan pesan keislaman tetap ada. Ini tak tergantikan dengan membaca buku bernuansa religi. Walaupun telah “tiada”, namun peran Annida dalam perkembangan penulisan cerita islami perlu dikenang sebagai hal yang berharga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar