Beberapa bulan lalu, jahe merah dan teman-temannya sempat jadi
barang langka. Kalaupun ada, harganya melambung nggak kira-kira. Di Jakarta, harga jahe merah sebelumnya dipatok
pada harga 40 ribu per kilogram. Namun, saat banyak dicari, harganya mencapai Rp100 ribu per Kg. Di luar
Jawa seperti Lampung harga jahe melambung hingga 120 ribu rupiah. Harga
rempah-rempah lain tak kalah mahalnya. Padahal biasanya, rempah macam kunyit
dan temulawak berharga rendah, paling dibeli para ibu atau penjual jamu.
Sejak pandemi corona, permintaan bahan-bahan jamu memang merangkak
naik. Penjual jamu pun tak kalah ramai diserbu pembeli. Penyebabnya, jamu
dipercaya dapat meningkatkan imunitas tubuh. Imunitas tubuh yang baik, kata
dokter, ampuh menangkal corona. Selain jamu-jamuan, yang juga laris manis
karena dipercaya bisa meningkatkan imunitas adalah vitamin C. Vitamin C merk
apapun diborong pembeli, sampai-sampai keberadaannya jadi sulit ditemui.
Walaupun sudah disampaikan kalau imunitas tak hanya bisa diperoleh
dari jamu atau vitamin C, namun masyarakat sudah kadung panik atau malah latah membeli keduanya. Ketika segelintir
orang ditanya reporter televisi kenapa membeli rempah dan jamu, mereka mengaku;
“Katanya bisa menangkal corona. Ya sudah
saya ikutan beli.” Karena sekedar
ikut-ikutan, trend memborong rempah dan vitamin C dengan cepat berlalu.
Sebagian orang yang memang tak terbiasa mengonsumsinya tak lagi membelinya. Permintaan
konsumen pada aneka rempah, jamu dan semacamnya ikut menurun.
Yang Penting Ikut
Latah juga berlaku di dunia bisnis. Saat es kepal milo banyak
mengundang pembeli, mendadak sangat banyak orang berjualan produk serupa dan
banyak pula yang laris manis!. Soal rasa, tak usah sama dengan yang “asli”.
Yang penting jual es kepal, itu saja sudah jaminan laku. Jelas, pembelinya juga
sukanya ikut-ikutan coba-coba sih.
Tak ikutan mencoba yang sedang trend
rasanya ketinggalan. Tak masalah jika yang dibeli produk ala-ala, tak sebagus
kualitas aslinya.
Masih ada? Ketika Kopi Janji
Jiwa booming dan jadi hits di
kalangan anak muda, sesaat kemudian bermunculan kopi dengan merk serupa,
menggunakan merk yang unik dan simpel namun terdengar menarik di telinga anak
muda. Begitupun saat minuman boba- minuman dengan bola-bola tapioka- banyak
dicari, bermunculan lah kedai-kedai minuman jenis ini dengan beragam merk.
Walaupun ada yang melakukan modifikasi dengan membedakan rasa dan bahan, namun
ide awalnya tetap sama, menggunakan boba.
Ada lagi fenomena latah melakukan hal tertentu. Misalnya saat
orang ramai-ramai berteriak “om telolet
om” dari pinggir jalan ketika bis
melintas, meminta sopir membunyikan klakson. Awalnya, teriakan itu biasa
diucapkan oleh anak-anak di pinggir jalan ketika sebuah bus melintas, dengan
harapan sopir akan membunyikan klakson yang unik berbunyi "telolet
telolet". Namun ini mendadak jadi populer setelah beberapa DJ terkenal
mencuitkannya di Twitter. Akhirnya, tak hanya anak-anak yang kemudian
ramai melakukannya tapi juga orang dewasa, bahkan videonya banyak diunggah ke
sosial media. Para netizen merasa seru melihat ekspresi kegembiraan ketika orang
berhasil meminta supir membunyikan klakson dengan lambaian tangan dan teriakan,
"Om telolet ommmmmm!"
beramai-ramai.
Latah Positif Atau Negatif
Agaknya fenomena latah, saling meniru ini atau sekedar ikut ini
sudah menjadi hal biasa di masyarakat kita.
Latah untuk hal serius sampai
remeh temeh. Umumnya, orang yang sekedar
latah melakukan sesuatu bukan karena kepahaman atau ilmu. Tak merasa perlu tahu
apa manfaat melakukan itu. Yang penting orang-orang sedang banyak melakukannya,
lalu ikut saja.
Karena latah semata, saat orang tak lagi melakukan hal itu, ia pun
akan berhenti melakukannya walaupun mungkin apa yang ditinggalkan itu berefek
positif. Contohnya kebiasaan mengonsumsi jamu atau vitamin C tadi. Jika paham
itu bermanfaat bagi kesehatan, tentu tak perlu menunggu corona untuk rutin
mengonsumsinya apalagi sekedar memborong lalu membiarkannya saja.
Peran sosial media memang sangat besar, termasuk televisi, untuk
menjadikan sesuatu sebagai trend. Yang
banyak terimbas tentunya anak-anak dan remaja yang cenderung masih mudah
mengikuti saja apa yang dilakukan lingkungannya atau apa yang dilihatnya di
sosial media.
Bagi para pelaku bisnis, mengekor apa yang sedang trend mungkin
jadi salah satu pertimbangan agar mudah mendapat keuntungan. Ini memang syah
saja dilakukan. Namun ketika produk yang dijual tak lagi punya identitas
pribadi dan pemilik enggan melakukan inovasi, sekedar latah saat berbisnis
hanya akan membuat bisnis tak bertahan lama. Ya, karena kita tak tahu mengapa
membuka bisnis itu dan lantas tak punya strategi untuk mempertahankannya.
Jika tak ingin dicap latah, selalu cari tahu lebih jauh sebelum
memutuskan untuk mengikuti atau melakukan apa yang sedang trend. Benarkah ada
manfaatnya? Apakah ada manfaatnya untuk kita? Apakah kita tak punya pilihan selain mengikutinya? Jika tak ada, ya tak usah
ikut-ikutan apalagi merasa ketinggalan zaman ketika tak melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar