Rabu, 24 Juni 2020

Eh.. Eh.. Jangan Latah!


Beberapa bulan lalu, jahe merah dan teman-temannya sempat jadi barang langka. Kalaupun ada, harganya melambung nggak kira-kira. Di Jakarta, harga jahe merah sebelumnya dipatok pada harga 40 ribu per kilogram. Namun, saat banyak dicari,  harganya mencapai Rp100 ribu per Kg. Di luar Jawa seperti Lampung harga jahe melambung hingga 120 ribu rupiah. Harga rempah-rempah lain tak kalah mahalnya. Padahal biasanya, rempah macam kunyit dan temulawak berharga rendah, paling dibeli para ibu atau penjual jamu.
Sejak pandemi corona, permintaan bahan-bahan jamu memang merangkak naik. Penjual jamu pun tak kalah ramai diserbu pembeli. Penyebabnya, jamu dipercaya dapat meningkatkan imunitas tubuh. Imunitas tubuh yang baik, kata dokter, ampuh menangkal corona. Selain jamu-jamuan, yang juga laris manis karena dipercaya bisa meningkatkan imunitas adalah vitamin C. Vitamin C merk apapun diborong pembeli, sampai-sampai keberadaannya jadi sulit ditemui.
Walaupun sudah disampaikan kalau imunitas tak hanya bisa diperoleh dari jamu atau vitamin C, namun masyarakat sudah kadung panik atau malah latah membeli keduanya. Ketika segelintir orang ditanya reporter televisi kenapa membeli rempah dan jamu, mereka mengaku; “Katanya bisa menangkal corona. Ya sudah saya ikutan beli.”  Karena sekedar ikut-ikutan, trend memborong rempah dan vitamin C dengan cepat berlalu. Sebagian orang yang memang tak terbiasa mengonsumsinya tak lagi membelinya. Permintaan konsumen pada aneka rempah, jamu dan semacamnya ikut menurun.

Yang Penting Ikut
Latah juga berlaku di dunia bisnis. Saat es kepal milo banyak mengundang pembeli, mendadak sangat banyak orang berjualan produk serupa dan banyak pula yang laris manis!. Soal rasa, tak usah sama dengan yang “asli”. Yang penting jual es kepal, itu saja sudah jaminan laku. Jelas, pembelinya juga sukanya ikut-ikutan coba-coba sih. Tak ikutan mencoba yang sedang trend rasanya ketinggalan. Tak masalah jika yang dibeli produk ala-ala, tak sebagus kualitas aslinya.
Masih ada? Ketika Kopi Janji Jiwa booming dan jadi hits di kalangan anak muda, sesaat kemudian bermunculan kopi dengan merk serupa, menggunakan merk yang unik dan simpel namun terdengar menarik di telinga anak muda. Begitupun saat minuman boba- minuman dengan bola-bola tapioka- banyak dicari, bermunculan lah kedai-kedai minuman jenis ini dengan beragam merk. Walaupun ada yang melakukan modifikasi dengan membedakan rasa dan bahan, namun ide awalnya tetap sama, menggunakan boba.
Ada lagi fenomena latah melakukan hal tertentu. Misalnya saat orang ramai-ramai berteriak “om telolet om” dari pinggir jalan  ketika bis melintas, meminta sopir membunyikan klakson. Awalnya, teriakan itu biasa diucapkan oleh anak-anak di pinggir jalan ketika sebuah bus melintas, dengan harapan sopir akan membunyikan klakson yang unik berbunyi  "telolet telolet". Namun ini mendadak jadi populer setelah beberapa DJ terkenal mencuitkannya di Twitter.  Akhirnya, tak hanya anak-anak yang kemudian ramai melakukannya tapi juga orang dewasa, bahkan videonya banyak diunggah ke sosial media. Para netizen merasa seru melihat ekspresi kegembiraan ketika orang berhasil meminta supir membunyikan klakson dengan lambaian tangan dan teriakan, "Om telolet ommmmmm!" beramai-ramai.

Latah Positif Atau Negatif
Agaknya fenomena latah, saling meniru ini atau sekedar ikut ini sudah menjadi hal biasa di masyarakat kita.  Latah untuk  hal serius sampai remeh temeh.  Umumnya, orang yang sekedar latah melakukan sesuatu bukan karena kepahaman atau ilmu. Tak merasa perlu tahu apa manfaat melakukan itu. Yang penting orang-orang sedang banyak melakukannya, lalu ikut saja.
Karena latah semata, saat orang tak lagi melakukan hal itu, ia pun akan berhenti melakukannya walaupun mungkin apa yang ditinggalkan itu berefek positif. Contohnya kebiasaan mengonsumsi jamu atau vitamin C tadi. Jika paham itu bermanfaat bagi kesehatan, tentu tak perlu menunggu corona untuk rutin mengonsumsinya apalagi sekedar memborong lalu membiarkannya saja.
Peran sosial media memang sangat besar, termasuk televisi, untuk menjadikan sesuatu sebagai trend.  Yang banyak terimbas tentunya anak-anak dan remaja yang cenderung masih mudah mengikuti saja apa yang dilakukan lingkungannya atau apa yang dilihatnya di sosial media.
Bagi para pelaku bisnis, mengekor apa yang sedang trend mungkin jadi salah satu pertimbangan agar mudah mendapat keuntungan. Ini memang syah saja dilakukan. Namun ketika produk yang dijual tak lagi punya identitas pribadi dan pemilik enggan melakukan inovasi, sekedar latah saat berbisnis hanya akan membuat bisnis tak bertahan lama. Ya, karena kita tak tahu mengapa membuka bisnis itu dan lantas tak punya strategi untuk mempertahankannya.
Jika tak ingin dicap latah, selalu cari tahu lebih jauh sebelum memutuskan untuk mengikuti atau melakukan apa yang sedang trend. Benarkah ada manfaatnya? Apakah ada manfaatnya untuk kita? Apakah kita tak punya pilihan selain mengikutinya? Jika tak ada, ya tak usah ikut-ikutan apalagi merasa ketinggalan zaman ketika tak melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar