Selasa, 17 Desember 2013

Menikmati Vienna dan Paris di 99 Cahaya di Langit Eropa



Awalnya, Hanum (Acha Septriasa) membayangkan kalau hari-harinya di Vienna-Austria-dalam rangka menemani sang suami yang kuliah S3 akan amat menyenangkan. Setidaknya itulah yang ia rasakan di 3 bulan pertama. Selama itu pula, ia menikmati setiap sudut kota Vienna yang indah dan artistik untuk mengisi waktu, sementara suaminya Rangga Almahendra (Abimana Aryasatya) sibuk di kampus.

hot.detik.com

Namun tinggal di sebuah negara Eropa ternyata tak selalu indah. Sebagai pendatang ditambah identitas sebagai muslim, bukan hal mudah bagi pasangan ini untuk menjalani hari di negara tersebut. Rangga misalnya digambarkan kesulitan mencari makanan halal. Bersama Muhammad Khan (Alex Abbad) seorang Pakistan yang juga muslim, Rangga pun terpaksa harus shalat di sebuah ruangan kampus dimana penganut agama minoritas lain di kampus itu juga beribadah di sana.
Sementara Hanum mulai mengalami bosan dan kesepian. Tinggal jauh dari orang tua dan kerabat membuatnya tak punya tempat berbagi dan bercerita. Ia pun harus menghadapi sikap tetangga apartemennya yang doyan protes dan tak ramah pada pendatang sepertinya.
Namun pertemuan Hanum dengan Fatma Pasha (Raline Shah) seorang wanita berjilbab keturunan Turki yang sempat dilihatnya di sebuah toko mengubah hari dan hidupnya kemudian. Fatma, yang ternyata juga menjadi peserta kursus singkat bahasa Jerman seperti dirinya, mampu membuka mata Hanum tentang Islam dan kemuslimahannya. Bersama Fatma dan Ayesa-putri Fatma- Hanum melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Vienna. Berkat Fatma pula, Hanum dapat bertemu Profesor Marion (Dewi Sandra) seorang mualaf asal Prancis yang menemaninya menyusuri Paris dan menemukan sisi lain yang tak pernah terbayangkan dari kota itu.
Film yang diangkat dari kisah nyata Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ini  benar-benar memanjakan mata penonton dengan keindahan dua kota di Eropa-Vienna dan Paris. Film ini pun mampu merekam sudut-sudut menarik dan indah dari kedua kota itu hingga membuat mereka yang belum mengunjunginya akan berdecak kagum.
Sayangnya, keindahan visual tak  cukup membuat film ini terasa “nendang”. Jika di 15 menit pertama penonton tersihir dengan keindahan itu, di 15 menit berikutnya bisa jadi kita akan mulai merasa bosan. Kisah keseharian Hanum yang berkisar tentang kehidupan di apartemen, jalan-jalan dan kegiatannya berpetualang bersama Fatma, terasa datar dan biasa saja. Padahal, fakta yang diungkapkan Fatma tentang tempat-tempat di Vienna yang menunjukkan keagungan Islam  bisa jadi merupakan hal baru bagi penonton. Namun hampir tak ada suspense berarti yang membuat film ini terasa dinamis.
Untungnya, ada Stefan (Nino Fernandez)-teman Rangga di kampus yang mampu membuat film terasa “segar”. Stefan yang nonmuslim digambarkan sebagai mahasiswa yang terlihat cuek namun selalu ingin tahu. Ia misalnya keheranan saat melihat kerepotan Rangga mencari makanan halal-padahal daging babi menurutnya amat lezat. Saat melihat Rangga berpuasa dan bilang kalau puasa untuk mendapatkan pahala, Stefan pun sok-sokan ikut berpuasa. Kekocakan muncul saat Stefan sebenarnya sudah lemas tapi pura-pura kuat karena gengsi mengakuinya pada Rangga.
Toh kata-kata Stefan seringkali terasa menyentil. Stefan misalnya mempertanyakan kenapa Rangga selalu ngotot melakukan ini itu atas nama ketaatan pada agamanya, “Jika kamu sudah berpuasa, beribadah dan sebagainya tapi ternyata Tuhan nggak ada, kamu mau gimana?”. Sebuah pertanyaan yang sempat membuat Rangga tertegun barang sejenak. Atau saat Ayesa-gadis kecil itu mempertanyakan, mengapa Hanum tidak berjilbab padahal ia seorang muslimah. Pertanyaan ini pun sempat membuat Hanum kelabakan karena ia pun tak tahu jawabannya.
 Dialog-dialog seperti itulah yang dapat menjadi pesan penting dalam film ini.  Bisa jadi, selama ini kita merasa, menjadi muslim bukanlah hal istimewa. Ritual hanyalah sebatas pelaksanaan kewajiban namun kita gagal merasakan ruhnya. Mungkin justru saat kita menjadi minoritas lah kita dapat merasakan betapa berharganya kemusliman kita dan betapa mahalnya kesempatan melakukan ibadah perekat kita dengan Sang Khalik.
Sementara saudara kita di luar negeri sana bisa jadi mengalami berbagai hambatan untuk mempertahankan keyakinan mereka. Rangga misalnya, harus “mengemis” pada profesornya agar ia dapat mengikuti ujian setelah melaksanakan shalat Jumat. Ayesa harus mengalami ejekan karena jilbab yang dipakainya di sekolah, ataupun Fatma yang kerap ditolak bekerja lagi-lagi karena jilbabnya.
By the way, sebagai penonton saya mencoba berpikir positif. Jika sekarang film ini terasa monoton, saya berharap kejutan itu memang sengaja disimpan di sekuel keduanya. Mungkin di sekuel film ini nanti akan ada cerita menarik lain yang mampu menciptakan kedinamisan hingga keindahan Eropa yang ditampilkan di film ini terasa makin “nendang” dan bermakna...