Senin, 22 Juni 2020

Kamu Kena Prank!

Sumber:sukabumiupdate.com

Wanita itu marah besar dan menangis, melihat anak laki-lakinya mendadak bertato!. Sang ayah yang seorang selebriti itu pun ikut marah dan tak kalah terkejutnya. Dengan mimik tak berdosa, sang anak berkilah “Ini hanya ekpresi seni, Ma.” katanya. Puncaknya, sang Mama mengusir si anak karena perbuatannya itu. Melihat itu, sang anak akhirnya mengaku kalau tato itu hanya tempelan dan bisa hilang. Sang Mama kena prank!
Adegan di atas menjadi salah satu konten channel YouTube anak seorang selebriti terkenal, telah ditonton jutaan kali dan banyak yang memberi jempol tanda suka. Jika diperhatikan, tak hanya dia yang pernah mengunggah konten serupa. Prank nampaknya menjadi salah satu ide konten andalan. Mudah menarik penonton, kemungkinan besar akan disukai banyak orang dan akhirnya menggiring mereka untuk meng-subscribe. Inilah yang dicari, popularitas dan follower yang banyak. Tak peduli isinya hanya mengekor atau berakibat fatal, siapa peduli?
Masih ingat kasus sembako sampah yang dilakukan Ferdian Paleka? Youtuber muda ini membagikan “bingkisan” kepada para waria di sebuah jalan di Bandung. Setelah dibuka, isinya ternyata sampah, yang salah satu pelapor sebutkan berisi tauge busuk dan batu-batu. Ironisnya, Ferdian mengaku itu hanya prank yang diunggah untuk konten YouTube-nya. Walaupun sempat ditangkap dan ditahan, Ferdian dan teman-temannya itu akhirnya dibebaskan.

Awal Mula Prank
Jika ditelusuri, prank mulai ada di barat sana sejak tahun 70-an dalam bentuk prank call atau crank call, dilakukan dengan menelepon seseorang dengan maksud mengerjai. Yang ditelepon bisa publik figur baik selebriti dan tokoh-tokoh penting  atau nonselebriti. Di Indonesia, konsep ini diadopsi oleh sebuah radio swasta kemudian dibuat program TV-nya dengan konsep serupa bernama Ups Salah. Bertahan cukup lama, program ini berhasil mengerjai banyak orang juga selebriti hingga tak jarang mereka menangis dan marah. Saat itulah para kru akan keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghampiri korban sambil berseru “Ups, salah!”
Sementara di televisi, program TV berkonsep prank yang cukup digemari dibuat oleh MTV dan Aston Kutcher sebagai host. Program bernama Punk’d itu awalnya hanya menyasar orang umum. Namun candaan mereka membuat salah satu korban tak terima hingga mereka dituntut ke pengadilan. Konsep program kemudian berubah, mengerjai selebriti sementara host akan mengawasi melalui layar di satu tempat tersembunyi. Saat target mulai marah, kesal dan bingung, host akan muncul menghampiri sambil berseru, “You got punked!
Entah siapa yang memulai, prank kemudian mulai mengisi konten-konten YouTube para selebriti atau YouTuber dengan banyak pengikut. Bentuk prank bisa bermacam-macam dengan “korban” beragam.  Umumnya mengerjai orang-orang terdekat seperti anak, asisten, manager, bahkan orang tua. Ada pula yang mengerjai namun dengan maksud memberi kejutan misalnya memesan makanan melalui aplikasi, pura-pura tak memesan dan menolak membayar hingga pengantar bingung dan kesal. Saat itulah pelaku prank memberitahu ia hanya berpura-pura, membayar dan memberi uang lebih, bahkan memberikan makanan yang dipesan kepada pengantar.
Aksi kejahilan ini juga merambah televisi kita. Setelah prank call ala program Ups Salah tak lagi tayang, Tim Kreatif program-program Tv mulai melakukan aksi prank yang “dikemas” lebih serius. Ada yang bahkan  bekerja sama dengan pihak kepolisian, berpura-pura menginspeksi tas para pemain dan menuduh salah satu dari mereka sebagai pemakai narkoba!. Padahal sebelumnya, bubuk yang sebenarnya garam itu memang telah dimasukkan ke tas yang bersangkutan. Aksi ini bahkan dilakukan saat program tayang secara live.

Cuma Bercanda?
Walaupun dimaksudkan sebagai bentuk candaan, mengerjai  dan sekedar lucu-lucuan, menurut saya prank jadi condong pada sebuah kebohongan bahkan banyak yang lepas kontrol tanpa memikirkan akibatnya. Yang penting menghibur, tak peduli walaupun korban yang dikerjai sedih, kaget, marah atau sampai pucat pasi.
Tapi, pernahkah terpikir akibat aksi itu pada korban? Maksudnya hanya bergurau kalau “kamu bukan anak mama papa”. Namun saat si anak sudah merasa terpukul dan sedih, sejurus kemudian orang tuanya bilang, “cuma prank”. Pernahkah terpikir bagaimana perasaan si anak dikerjai seperti itu? Belum lagi anak akan berpikir kalau membohongi dengan maksud bercanda adalah syah-syah saja.
Saya pernah menonton konten YouTube seorang selebriti yang bermaksud menge-prank anaknya, mengabarkan kalau anaknya itu hanya anak pungut. Lucunya si anak tak percaya bahkan berkata, “Papa mama kan selama ini dikenal suka nge-prank. Aku nggak percaya, Jangan-jangan ini juga cuma prank.”  Saya membayangkan, betapa tak berwibawanya orang tua jika sudah dicap anak seperti itu. Bahkan ketika kita nampak serius dan berbicara hal yang juga serius, anak sendiri tak percaya karena menganggap itu hanya prank atau candaan!
Ketika aksi kejahilan ini diunggah ke sosial media atau televisi dan ditonton banyak orang, siapa menjamin kalau tak ada anak-anak dan remaja yang menontonnya? Ini malah menjadi inspirasi keburukan bagi mereka, menganggap kalau mengerjai atau membohongi siapapun tidak masalah. Tercatat aksi-aksi prank yang dilakukan masyarakat umum, tentunya karena terinspirasi oleh apa yang mereka lihat di media.  Seorang wanita di Bone Makasar misalnya berpura-pura sesak nafas dan kejang-kejang, mengaku terkena covid 19. Karuan saja para tenaga medis di rumah sakit panik. Belakangan, wanita itu mengaku kalau itu hanya prank!. Malang, akibat perbuatannya mengerjai orang itu, ia harus berurusan dengan polisi. Kalau sudah begini, apakah masih bisa disebut bercanda dan menghibur?

Tidak Kebablasan
Walaupun hanya bermaksud untuk bercanda, hendaknya konten prank tidak kebablasan. Hindari ide prank yang terkesan menghina, melecehkan, merendahkan atau menakuti. Bahkan jika bisa, lebih baik cari saja ide konten yang lebih kreatif dan bermanfaat. Jangan sekedar mencari jempol dan pengikut karena apapun yang kita lakukan tentu harus bisa kita pertanggungjawabkan kepada yang Maha Kuasa.
Lebih jauh lagi, pelaku dan media yang melakukan aksi ini sebenarnya tengah membangun budaya gemar dibohongi dalam masyarakat lalu menganggapnya sebagai hiburan semata. Tahu bahwa itu bohong, tapi kita malah menikmati bahkan memberi like dan subscribe.
Saya yakin, prank bukan satu-satunya ide konten yang bisa menarik penonton dan disukai. Banyak YouTuber yang digemari karena konten positif mereka bukan semata karena sensasi apalagi aksi jahil semata. Jika pun hendak memberi kejutan positif, apakah harus selalu didahului aksi prank?








Tidak ada komentar:

Posting Komentar