Rabu, 14 Agustus 2013

Lebaran Sama, Lebaran Beda



 Meskipun sama-sama merayakan lebaran, ternyata tradisi merayakan hari raya dapat berbeda-beda di setiap daerah. Sebenarnya ini hanya masalah kebiasaan. Tapi karena sudah rutin dilaksanakn, kebiasaan itu dianggap “wajib” dan dianggap tidak afdhol jika tak dilakukan. 

Di keluarga saya, saat hari raya biasanya kami akan berkeliling dulu untuk menyalami tetangga sekitar rumah. Setelah itu kami akan berkumpul di satu rumah. Biasanya di rumah orang yang paling dituakan. Kebetulan, rumah kakek saya selalu dijadikan tempat berkumpul. Meskipun kakek bukan yang paling tua,  rumah kakek terhitung yang paling besar dan mudah dijangkau oleh saudara-sudara yang lain hingga tempat tinggal kakeklah yang dipilih sebagai tempat ngumpul
Karenanya, di hari lebaran semua anggota keluarga, sanak famili dan handai taulan akan datang ke rumah kakek untuk bersilaturahmi. Saya pun tak perlu capek-capek mengunjungi saudara satu persatu karena bisa dipastikan kami akan bertemu di rumah kakek pada hari pertama atau kedua lebaran. Paling-paling kami tinggal mengunjungi saudara yang tak sempat kami temui saat itu. Biasanya kami hanya punya waktu 2 sampai 3 hari di rumah karena setelah itu saya akan diajak orang tua mudik ke Sumedang tempat tinggal nenek saya dari pihak ibu. 
Setelah menikah, gambaran saya tentang lebaran sebenarnya tak jauh berbeda. Dalam bayangan saya, lebaran bersama keluarga suami yang asli Betawi pastilah tak jauh dari berkeliling untuk salaman dan berkumpul di satu rumah seperti halnya kebiasaan di keluarga saya. 
Namun semuanya tak seperti yang saya bayangkan. Lebaran pertama bersama suami malah membuat saya shock. Bagaimana tidak. Sejak pagi hingga malam saya diajak berkunjung ke rumah saudara. Bahkan kalaupun siang harinya kami sudah bertemu di satu rumah, malam hari atau esok harinya kami harus gantian mengunjungi kerabat itu.
Terbayang kan, jika ada 5 encing (sebutan untuk adik ibu atau bapak) dan 5 encang (sebutan untuk kakak ibu atau bapak) maka saya harus kembali mengunjungi ke –sepuluh encang dan encing itu meskipun kami sudah bertemu sebelumnya. Padahal yang disebut kerabat itu tak sedikit jumlahnya.
Sebenarnya, bisa saja kami tak balik mengunjungi. Tapi idealnya, kunjungan itu harus berbalas. Biasanya, saudara yang tidak sempat dikunjungi pun akan merasa kurang senang. Mungkin itu sebabnya, lebaran ala keluarga Betawi di tempat tinggal suami saya bisa berlangsung sebulan penuh karena tradisi saling balas kunjungan itu. 
Awalnya, saya pun sempat mutung karena kecapekan dan kaget. Apalagi, karena besoknya saya akan mudik ke rumah orang tua, ibu mertua "memaksa" kami untuk mengunjungi hampir semua kerabat yang dianggap penting dari jam 9 pagi sampai jam setengah sepuluh malam!. Beda sekali dengan tradisi Lebaran di keluarga saya yang sore saja sudah selesai.
Saya pikir kebiasaan saling balas kunjungan itu agak tak efektif dan terlalu memakan waktu. Untuk mayoritas masyarakat Betawi di tempat suami, mungkin tak masalah melakukan kebiasaan itu. Rata-rata mereka-terutama generasi tua-bekerja tak terikat. Misalnya, punya toko atau menggarap kebun. Tapi untuk mereka yang bekerja di perusahaan, kebiasaan ini nampaknya akan sulit dilakukan karena keterbatasan waktu. Apalagi jika harus mudik juga. 
Tapi saya tak bisa banyak protes. Itulah kebiasaan yang harus saya hormati. Setidaknya, sekarang saya sudah lebih siap mental saat Lebaran tiba dan tak mutung lagi.

Selasa, 13 Agustus 2013

Kapan Nikah?





Mayoritas orang Indonesia memang pintar berbasa-basi dan mengakrabkan diri bahkan pada orang yang baru dikenal sekalipun. Sebagian kita bisa dengan mudahnya membuka pembicaraan dan mengobrol ngalor-ngidul dengan orang baru. Apalagi dengan saudara atau sanak famili. Lihat saja  arisan atau halal bihalal pasca Lebaran. Semua orang nampak akrab dan hangat. 
Bisa jadi, sikap ramah dan welcome yang ditunjukkan itu dapat membuat orang merasa diakui, dihargai dan diterima . Tapi menurut saya, kadang sikap ramah dan suka berbasa-basi itu kadang malah jadi menyebalkan kalau tak boleh dibilang menganggu. Terutama jika pertanyaan yang diajukan tak hanya sekedar soal kabar. Saat masih lajang dulu misalnya, saya seringkali ditanya soal “kapan nikah?”. Ok lah mungkin itu bentuk perhatian. Masalahnya, saya mau jawab apa?. Bukankah jodoh itu Allah yang menentukan? Kalaupun saya sudah punya calon, apakah ada jaminan kalau kami akan sampai ke pelaminan?. Mendapat pertanyaan seperti itu, biasanya saya hanya jawab dengan , “Insya Allah doain aja..” atau cukup dengan senyum saja, beres. 
Meskipun agak sebal, saya bisa menghadapi situasi itu dengan cuek. Tepatnya berusaha untuk tak ambil pusing.  Toh banyak orang termasuk teman-teman saya yang merasa terganggu tapi tak bisa secuek saya menghadapi situasi itu. Akhirnya mereka pun memilih tak ikut acara keluarga untuk menghindari pertanyaan soal pernikahan. Kalaupun terpaksa ikut, mereka akan berusaha untuk tak membuka obrolan. Takut ditanya-tanya..! 
Setelah menikah, saya merasa sedikit “lega”. Tadinya, saya pikir saya tak bakal ditanya-tanya lagi tentang soal “kapan nikah?”. Kan sudah?. Eh..ternyata tidak juga. Setelah masa lajang terlewati, pertanyaan selanjutnya adalah “kapan punya anak?”. Kebetulan setelah menikah saya tak langsung hamil. Sebenarnya, orang tua dan mertua tak terlalu banyak tanya. Tapi tak begitu dengan yang lain. Lagi-lagi saya tak tahu harus menjawab apa. Ya..soal anak kan memang ditentukan oleh Allah juga. Saya dan suami sudah berusaha, saya pun tak menggunakan alat kontrasepsi apa pun. Kalau belum jadi juga, apa saya bisa memaksa?. 
 Yang saya sebal, kadang tanpa menunggu penjelasan, orang yang bertanya sudah bikin kesimpulan sendiri, “emang ditunda dulu ya?”. Alhamdulillah saya bisa menghadapi “ujian” pertanyaan itu dengan muka lempeng. Tapi tak urung saya pun jadi berpikir. Tak semua orang bisa bersikap sama seperti saya. Bisa jadi malah kesal atau malah jadi khawatir. Jangan-jangan memang ada apa-apanya sampai saya belum “isi” juga?. 
Saya teringat saudara saya yang sampai ngotot ingin memeriksakan diri ke dokter karena sudah 7 bulan menikah belum kunjung hamil. Padahal baru 7 bulan lho..Belum setahun. Menurut teori, kita baru boleh curiga kalau ada masalah jika sudah setahun menikah tapi belum memiliki keturunan juga. Padahal tak memakai kontrasepsi. Penyebab kengototan itu, apa lagi kalau bukan karena pertanyaan orang-orang yang “peduli”.
Sekarang, saya sudah punya satu anak. Apakah saya tak ditanya-tanya lagi?. Tidak juga. Pertanyaan yang sering saya terima sekarang adalah,“kapan nambah?”. “Masa anak udah besar masih satu aja?”. “Mumpung masih muda, nambah lagi dong..”.  Saya jadi membayangkan. Bagaimana jika misalnya, kita melontarkan pertanyaan serupa pada orang lain. Padahal, orang yang ditanya itu bukannya tak mau punya anak lagi. Misalnya, dia atau pasangannya mengidap sakit tertentu yang menyebabkannya tak lagi bisa punya keturunan atau sulit punya momongan lagi. Apakah dia harus menjelaskan ke setiap orang sebab dia belum punya anak padahal mengingatnya saja mungkin sudah membuatnya enggan?
Saya pun belajar satu hal. Kadang, kita merasa apa yang kita tanyakan dalam sebuah obrolan adalah bentuk kepedulian dan keakraban. Tapi, alangkah baiknya jika kita memilah dulu pertanyaan apa yang akan kita lontarkan. Apalagi jika orang yang kita ajak bicara belum terlalu akrab dengan kita.
Saya ingat budaya barat yang bahasanya saya pelajari. Saat saya belajar bahasa Jerman dan Bahasa Inggris, dosen dan pengajar saya mewanti-wanti untuk tidak menanyakan soal “berapa jumlah anak Anda?” pada orang yang kita ajak bicara. Itu dianggap tidak sopan. Pertanyaan itu baru bisa diajukan saat kita sudah sangat akrab. Itupun bukan wajib ditanyakan, lho. Boleh ditanyakan. Artinya jika tak perlu, tak usah dilontarkan.
Lalu, apa jawaban saya saat ditanya “kapan nambah anak?”. Cukup jawab dengan “Insya Allah.” Atau dengan tersenyum saja. Meskipun sebenarnya, tak dijawab pun tak apa-apa. Saya yakin deh, setelah saya punya dua anak bukan berarti tak bakal ada lagi pertanyaan buat saya. Bisa jadi pertanyaannya menjadi: “Anaknya dua doang?Ngirit banget?. Nambah dong..”..Bahkan setelah anak dewasa, pertanyaan nya pun masih ada saja:” Kapan anaknya nikah?”..Kapan selesainya?