Jumat, 28 Februari 2014

Menanti Surga Bagi Pejalan Kaki



 
Source:thebestyoumagazine.com
Sebenarnya, saya ini suka berjalan kaki. Berawal saat SMP dulu, saya terbiasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah atau menuju ke tempat les begitupun sebaliknya. Alasannya untuk berhemat. Maklumlah, uang saku saya nggak seberapa padahal sebagai remaja keinginan saya banyak. Sementara, orang tua saya tak selalu mampu mewujudkan keinginan saya membeli ini-itu. Jadilah saya mengandalkan uang saku untuk membelinya. Pernah juga saya berjalan kaki karena memang uang saya telanjur habis. Kebiasaan ini terus berlanjut saat saya SMU.
Di Sukabumi, kota kelahiran saya, berjalan kaki bisa menjadi aktivitas yang lumayan nyaman. Setidaknya, sebagai pejalan kaki saya masih menemukan trotoar yang lumayan lebar meskipun di beberapa tempat sudah “dikuasai” pedagang kaki lima. Alhasil, saya tak perlu berjalan di pinggir jalan hingga tak terlalu merasa takut tertabrak mobil atau diganggu lalu lalang kendaraan bermotor.
Saat kuliah, kebiasaan berjalan kaki ini tidak tersalurkan karena memang tak memungkinkan. Jarak rumah tante, tempat saya menumpang, dan kampus lumayan jauh. Tidak mungkin saya tempuh dengan berjalan kaki. Tapi, saat saya pindah ke daerah Dago- Bandung – saya kembali menekuni “hobi” saya . Saat luang, pagi-pagi saya biasa berjalan kaki ke Dago atas atau sekedar “bertualang” mencari jalan alternatif yang jarang dilalui orang.
Pindah ke Tangerang untuk bekerja, saya kembali kehilangan kesempatan untuk berjalan kaki. Sebabnya, situasi memang tak memungkinkan. Saya sih mau-mau saja berjalan kaki. Tapi berjalan kaki di pinggir jalan Tangerang sangat tidak mengenakkan. Selain kadang tak tersedia trotoar, Tangerang yang panas dan penuh polusi bikin saya malas jalan kaki.
Yang paling memungkinkan hanyalah berjalan kaki di jalan-jalan kecil-bukan gang- yang boleh disebut sebagai semi jalan raya. Yang disebut semi jalan raya adalah jalan non-protokol, namun berukuran cukup lebar. Biasanya tak ada angkutan umum dan yang lewat umumnya hanya ojek saja.
Meskipun begitu, jalan ini tetap boleh dilewati mobil roda empat bahkan truk-truk besar karena memang cukup lebar. Jadi, meskipun bukan jalan raya, tetap saja tidak ideal untuk pejalan kaki seperti saya. Gimana tidak, sebentar-sebentar saya harus minggir, nggak ada trotoar pula. Kalau tak hati-hati, bisa-bisa saya tersenggol kendaraan bermotor atau kejeblos jalan rusak. Saya nggak tahu kenapa Tangerang punya banyak jalan macam ini karena seingat saya di Sukabumi atau Bandung tidak ada jalan semi protokol.
Tapi jujur, ada situasi yang mau tak mau membuat saya memilih berjalan kaki karena saya tak punya kendaraan kecuali jika saya dijemput atau diantar suami. Karena merasa sayang mengeluarkan uang untuk ojek, saya pun berjalan kaki. Tentunya sambil melihat-lihat situasi.
Sambil berjalan, saya membayangkan suatu hari nanti somewhere di Indonesia akan ada kota yang ramah untuk pejalan kaki dimana di dalamnya tersedia fasilitas memadai dan nyaman untuk mereka. Jalan kaki kan bisa jadi alternatif olahraga yang murah dan mudah dilakukan. Jika fasilitas itu tidak ada, jangan heran kalau orang lebih memilih naik motor atau mobil ketimbang berjalan kaki bahkan untuk jarak tempuh dekat sekalipun. Padahal, konon salah satu penyebab timbulnya banyak penyakit di usia muda adalah kurang bergerak. Kapan ya jadi kenyataan?








Rabu, 26 Februari 2014

Jepang Dalam Aroma Sake



Jepang nampaknya selalu memiliki daya tarik bagi banyak penulis. Banyak hal yang dapat dieksplorasi dari negeri Matahari terbit itu baik untuk karya fiksi maupun nonfiksi. Sebut saja Memoir of Geisha karya Arthur Golden yang sempat fenomenal pada awal 2000-an atau Musashi karya Eiji Yoshikawa. Dari ranah nonfiksi, ada buku yang mengupas tentang Yakuza maupun kehidupan Samurai.
 
The Scent of Sake adalah salah satu buku yang coba mengeksplorasi tradisi negara ini. Ditulis oleh Joyce Lebra, wanita Amerika yang ahli dalam sejarah Jepang, The Scent Sake bercerita tentang seluk beluk kehidupan pembuat sake di abad 18, yang diwakili oleh tokoh utamanya,Rie. Melalui Rie, wanita yang lahir di keluarga Omura, pembuat sake terkenal di Jepang, tergambar bagaimana tradisi dalam keluarga pebisnis sake itu sebenarnya termasuk seluk beluk persaingan bisnis tersebut.
Sebagai seorang wanita, Rie memiliki batas-batas yang tak boleh ia langkahi. Ia tak boleh memasuki gudang pembuatan sake bahkan tak berhak untuk memilih calon suami sendiri. Ia pun harus menikah dengan seorang laki-laki asing pilihan keluarga, Jihei, yang kelak akan menjadi pemimpin pengganti ayahnya. Padahal, diam-diam Rie menaruh hati pada Kaburo, seorang lelaki yang juga berasal dari keluarga pebisnis sake.
Jihei yang diharapkan dapat menjadi pemimpin dalam bisnis keluarga Rie, ternyata juga tak bisa diandalkan. Sejak awal, lelaki itu telah merasa tak nyaman dengan posisinya sebagai suami “adopsi”. Tambahan lagi, sikap Rei yang dingin membuat Jihei makin tersudut hingga ia memilih untuk melarikan kegalauannya ke rumah geisha dan menjalin hubungan istimewa dengan seorang geisha di sana.
Situasi terasa makin sulit bagi Rei karena ia tak kunjung memiliki keturunan. Kehamilan pertamanya gugur hingga terpaksa ia harus mau mengadopsi anak hasil hubungan gelas Jihei, suaminya, dan seorang geisha. Di sisi lain, kejelian dan kecerdasan Rei membuat bisnis keluarga Omura dapat tetap bertahan di tengah persaingan dan intrik.
Novel ini menggambarkan keteguhan seorang wanita Jepang dalam menjalani hidupnya. Hal ini terlihat istimewa karena pada zaman itu sehebat apapun seorang wanita, ia akan tetap terbatasi adat dan norma. Dengan segala keterbatasannya pula, Rei misalnya dengan cerdik menyampaikan idenya pada orang kepercayaan sang ayah untuk disampaikan ketimbang menyampaikan idenya langsung. Sebabnya, wanita tak diperkenankan untuk menghadiri pertemuan intern bisnis, hingga ia tak akan memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan ide-idenya itu.
 Bagi Anda penyuka novel berlatar sejarah, novel ini terasa istimewa. Selain dapat menikmati isi cerita, pengetahuan Anda tentang  sejarah Jepang kuno pun akan bertambah. Tak perlu khawatir jika Anda menemukan banyak stilah-istilah khusus berbahasa Jepang yang muncul di buku ini. Penulis dengan gamblang menyertakan catatan kaki, hingga Anda tak kesulitan memahami maknanya.