Minggu, 19 Maret 2017

Mungkin Dia Lelah...




 
www.media.licdn.com  
 “Ya sudah nggak apa-apa,Miss. Mungkin dia lelah.” kata teman saya, wali kelas tingkat 9, ketika saya “mengadukan” nilai Ujian Tengah Semester (UTS) salah satu anak didiknya yang “terjun bebas”. Padahal, saya tahu anak itu tidak bodoh. Ia memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup baik. Tapi saya agak kecewa, karena nilainya hampir sama dengan anak dengan kemampuan jauh lebih rendah. Bahkan, esainya saja nyaris kosong!
Mendengar komentar teman saya itu, mau tak mau saya ikut mengamini sembari mengingat-ingat betapa padatnya jadwal kelas 9 di semester genap ini. Sejak Januari hingga Maret saja, mereka sudah disibukkan dengan bermacam-macam Try Out (TO), baik dari bimbingan belajar yang di-booking pihak sekolah, dari Dinas Pendidikan, dari intern sekolah hingga TO dari Jaringan Sekolah Islam Terpadu – sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah islam terpadu yang menginduk ke sana. Belum lagi setumpuk PR, tugas, kegiatan belajar yang tetap harus mereka ikuti setelah  TO hingga persiapan untuk mengikuti ujian Baca Quran –salah satu program wajib di sekolah kami- yang dilakukan di hari Sabtu.  Membayangkannya saja sudah puyeng ya..apalagi menjalaninya. Pasti melelahkan.
Saya lalu teringat masa-masa sekolah dulu. Menjelang Ujian Nasional, bimbingan belajar (bimbel) yang wajib kami ikuti hanya bimbel dari sekolah, itupun hanya 2 minggu sekali dimulai sejak awal semester di kelas 3. Dulu, masih jarang siswa ikut bimbingan belajar di luar sekolah karena biayanya yang lumayan mahal, jadi otomatis mayoritas kami hanya mengandalkan bimbel dari sekolah. TO? Seingat saya juga tidak ada kecuali latihan-latihan soal di kelas atau mengandalkan buku-buku persiapan ujian yang mulai banyak dijual di toko-toko.
Karena bersekolah di sekolah negeri, jam pelajaran kami juga hanya sampai jam 1 siang. Sorenya, kami masih punya waktu untuk ekskul-kecuali di semester genap sudah dinonaktifkan-atau bersosialisasi. Saya sendiri tidak merasa terlalu stres berlebihan menjelang ujian. Hanya jam belajar saja yang bertambah. Selebihnya tidak banyak berubah. Hasil ujian kami, ternyata tidak jelek-jelek amat haha..
Sebagai guru, saya pun tak tahu mengapa pemerintah kini mewajibkan siswanya ikut ini itu menjelang ujian. Di satu sisi, siswa mungkin jadi lebih tahu tipe-tipe soal seperti apa yang sering muncul dalam ujian hingga mereka diharapkan sudah tahu pula bagaimana cara menjawabnya saat soal yang sama muncul di ujian sesungguhnya. Masalahnya, tidak seluruh siswa diberi kemampuan akademik yang baik  ataupun memiliki motivasi belajar mandiri. Bagi siswa yang cukup pintar dan rajin, mereka akan tergerak untuk menganalisa, mencari tahu lalu berlatih dengan soal-soal bertipe sama hingga mereka menjadi makin mahir. Namun bagi siswa yang biasa-biasa saja apalagi cenderung malas, sulit bagi mereka untuk “bergerak” apalagi berlatih soal yang sama tanpa “disuapi” gurunya. Yang ada malah eneg...!
Apalagi, beban pelajaran kelas 9 juga tidak berkurang dengan materi yang padat untuk 11 mata pelajaran. Di satu sisi, para guru pun tak bisa memberikan “diskon” materi  karena bisa jadi materi itu akan muncul di Ujian Sekolah atau Ujian Akhir Semester yang dibuat Dinas Pendidikan. Karena waktu yang kadang tidak cukup untuk mengejar materi, beberapa guru pun seringkali memberikan tugas tambahan.
Wait... ! Apakah dengan agenda belajar yang sedemikian padatnya hasil ujian siswa jadi cemerlang? Tidak juga. Bagi siswa dengan kemampuan akademik biasa saja, padatnya materi pembelajaran dan kewajiban mengikuti ini itu menjelang ujian , malah semakin memberatkan otak mereka. Boro-boro menguasai banyak bidang.. Bukannya makin menguasai namun malah makin jenuh. Mungkin itu sebabnya nilai siswa pun mayoritas tidak stabil. Bagi sebagian siswa, situasi ini juga membuat mereka makin masa bodoh. Prinsipnya, asal lulus saja. Toh masih ada sekolah swasta, begitu kata mereka.
Sebagai guru sekaligus orang tua, jujur saja saya merasa prihatin. Tentu bukan ini yang kita inginkan dari anak-anak generasi penerus kita nanti. Namun, jika sistem pendidikan kita belum berubah tentulah tak banyak yang bisa kita ubah. Namun, ada beberapa catatan dari apa yang saya amati selama menjadi pengajar. Anggaplah ini masukan atau ide yang mudah-mudahan dapat diwujudkan jika saya punya sekolah sendiriJ :
a.      Jika masih tetap keukeuh ingin mengadakan Ujian Nasional (UN) hendaknya pemerintah mengurangi beban materi siswa di tingkat akhir. Dengan begitu siswa akan lebih dapat fokus pada mata pelajaran UN saja. Menurut saya, banyak materi pelajaran yang sebenarnya kurang aplikatif atau terlalu dini jika diberikan pada siswa di level tertentu. Jadi sisa-sia saja siswa dibebani banyak materi tapi penguasaannya nol besar. Akhirnya, mata pelajaran inti di UN tidak dikuasai, apalagi mata pelajaran di luar itu.

b.      Ujian Nasional dengan 4 mata pelajaran wajib tidak perlu ada lagi. Sungguh tidak adil jika siswa dipaksa untuk mendapatkan nilai bagus untuk 4 mata pelajaran sekaligus. Tidak ada yang bisa menjadi ahli di seluruh bidang, termasuk gurunya sendiri. Pasti hanya satu atau dua saja yang benar-benar dikuasai. Tapi sekarang, jika akumulasi nilai siswa tidak mencapai hasil tertentu-biasanya nilai setiap mata pelajaran minimal 7 sampai 9-, maka ia dianggap “gagal” atau tidak memadai untuk masuk ke sekolah favorit. Kalau kata Ayah Edi ini sama saja dengan memaksa pohon kelapa untuk berbuah pisang, semangka dan sebagainya.

c.       Sejak kelas 7 (SMP), arahkan siswa untuk mengenali minatnya kemudian berikan beberapa training atau seminar motivasi yang dapat membuka wawasan mereka tentang bidang-bidang pekerjaan secara umum. Dengan begitu, siswa sudah tahu mereka mau apa dan mau jadi apa setelah lulus nanti, bukan sekedar memilih sekolah A karena orang tua atau karena semua orang memilih sekolah itu.

d.     Perlu juga diberikan wawasan yang sama kepada orang tua tentang pentingnya memerhatikan bakat dan minat anak. Jadi, tidak ada lagi orang tua yang melarang anaknya masuk sekolah tertentu semata karena orang tua tidak suka. Padahal, passion anak di bidang itu.
e.      Yang juga tidak kalah penting adalah menanamkan pemahaman pada anak bahwa hasil bukanlah yang terpenting tapi pada usaha dan sejauh mana kita benar-benar menguasai satu mata pelajaran. Saya gemas karena banyak sekolah yang menekankan pada hasil akhir tanpa peduli prosesnya. Akhirnya, nilai ujian anak luar biasa besarnya bahkan nyaris sempurna. Tapi anaknya nggak bisa apa-apa..