Minggu, 08 November 2020

Mengenang Awal Pandemi

 

source: katadata.com

Semua terjadi begitu cepat. Hari itu, Sabtu 14 Maret 2020, saya masih bepergian dengan kereta untuk mengawas ujian TOEFL. Anak saya masih ke sekolah untuk latihan persiapan lomba Pramuka esok harinya. Namun situasi memang sudah nampak tak biasa. Di stasiun, saya melihat sudah mulai banyak orang memakai masker. Saya pun begitu, memakai masker walaupun masih buka tutup.

Malamnya, televisi menyiarkan kabar tentang salah satu Menteri yang terkena covid 19. Grup WA para orang tua murid yang anak-anaknya hendak ikut lomba esok harinya mulai ramai dengan ungkapan kekhawatiran. Mempertanyakan bagaimana keamanan anak-anak selama lomba nantinya, siapa saja yang akan mendampingi dan seterusnya. Puncaknya, jelang malam ada beberapa orang tua yang menyatakan anaknya mengundurkan diri dari lomba karena mempertimbangkan resiko.

Akhirnya, jelang tengah malam sekolah memutuskan untuk mengundurkan diri. Keputusan ini disesali beberapa orang tua yang masih ingin lomba terus berlanjut. Orang tua lain, termasuk saya, kebingungan menyampaikan pada anak-anak  yang sudah tertidur pulas tentang pembatalan ini. Terbayang betapa kecewanya mereka saat di pagi hari bangun, lalu tak jadi pergi karena batal. Padahal, mereka semua sudah sangat bersemangat dan tak sabar sampai-sampai semua perlengkapan termasuk sepatu sudah disiapkan benar untuk besok hari. Saya ingat, anak saya belum tidur karena tak sabar ikut lomba esok harinya. Dia menangis saat tahu sekolah tak jadi ikut lomba yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

Dilanda Bosan

Setelah itu, mulailah hari-hari panjang di dalam rumah. Minggu-minggu pertama, anak-anak sangat antusias setiap kali mengikuti meeting online, merasa kangennya sedikit terobati. Sekolah juga masih gagap menghadapi situasi mendadak ini. Belum ada variasi pembelajaran. Orang tua juga masih beradaptasi. Banyak yang gagap teknologi, tak familiar dengan aplikasi-aplikasi yang dipakai anak untuk belajar online. Grup ramai dengan curhat dan pertanyaan orang tua yang kesulitan menggunakan aplikasi-aplikasi itu.

Setelah 3 minggu, rasa bosan mulai melanda. Rasanya cukup tersiksa harus tinggal di rumah padahal biasanya bisa beraktivitas bebas di luar rumah. Waktu itu, belum ada kajian-kajian atau pelatihan online jadi memang betul-betul hanya sibuk dengan aktivitas rumah saja. Saya keluar rumah hanya seminggu sekali untuk belanja stok makanan. Tukang jualan yang biasanya lewat ke kompleks rumah juga dilarang. Benar-benar dibatasi. Anak saya lebih banyak disibukkan dengan tugas-tugas sekolah. Sebagai pengobat kangen, guru kelasnya sering mengadakan challenge yang akan di-upload di status WA nya. Misalnya tantangan mengulek sambal atau memarut kelapa.

Paling terasa sepinya saat bulan puasa. Kalau biasanya kami bisa taraweh dan ngabuburit , kini tidak lagi. Sedih rasanya melihat mesjid gelap dan sepi. Kami pun hanya beribadah di rumah. Tidak ada lagi acara buka bersama. Bahkan saya sama sekali tidak ke rumah mertua atau rumah adik selama awal pandemi walaupun kami masih tinggal di kota yang sama. Kami lebih banyak berkomunikasi lewat video call atau WA. Tapi saat itu sudah mulai banyak kajian via aplikasi meeting online atau di channel YouTube. Lumayan jadi aktivitas baru untuk saya yang tak lagi bisa bepergian untuk menuntut ilmu. 

Oh ya, selama bulan puasa, acara TV yang selalu saya tonton dengan anak adalah Tukang Ojek Pengkolan yang syutingnya tak lagi di luar ruangan tapi di studio. Walaupun bukan penggemar berat, tapi itu lah tontonan yang bisa kami tonton jelang magrib dan setelah magrib. Nggak ada lagi tontonan yang lumayan soalnya.

Hikmah Awal Pandemi

Pasti selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Walaupun merasa bosan, tapi saya merasa  jadi lebih dekat dengan keluarga terutama dengan anak. Kalau biasanya kami sibuk dengan aktivitas sendiri-sendiri, selama awal pandemi kami jadi banyak beraktivitas bersama. Saya jadi sering ngobrol banyak dengan anak termasuk soal nostalgia masa saya kecil dan sekolah. Malah kayaknya stok cerita saya sudah mulai habis saking seringnya saya bercerita haha..

Selama Ramadhan, saya pun merasa lebih khusyu. Biasanya ada hari- hari saat kami sibuk dengan acara buka bersama dan sebagainya. Rasanya waktu buka bersama malah tak banyak. Saat pandemi itu, setiap hari kami bisa buka bersama di rumah walaupun lebih sering saya berdua anak saja.Begitu pun amaliyah harian, bisa lebih ter-upgrade karena tak banyak keluar rumah.

Walaupun sedih tak bisa pulang kampung saat Lebaran, tapi kejadian ini membuat saya makin menyadari betapa  berharganya waktu bersama keluarga itu. Saat Allah mengambil keleluasaan bepergian untuk bertemu dan beraktivitas, baru lah terasa nampaknya saya kurang menghargai kebersamaan itu karena menganggap hal itu biasa saja.

Tak terasa, 8 bulan sudah kita mengalami pandemi. Aktivitas sudah mulai berangsur normal dan kita mulai terbiasa dengan aktivitas dalam rumah. Tentu saja, kami kangen sekali dengan aktivitas kami yang dulu. Anak saya malah sudah sering bilang ingin kembali ke sekolah. Entahlah.. Melihat kondisi saat ini, saya sampai berpikir jangan- jangan sekolah pun baru buka awal tahun ajaran baru tahun depan. Itu artinya, anak saya tak lagi bisa kembali ke sekolah karena sudah keburu lulus! Duh.. sedih juga membayangkannya. Semoga tidak terjadi..

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar