Selasa, 17 November 2020

Wanita Indonesia Tumbuh Bersama Femina

 

Sebut satu majalah wanita, bisa jadi Femina jadi salah satu nama yang muncul di kepala. Majalah ini bagai “buku pedoman” yang wajib dibaca oleh para wanita khususnya di perkotaan dan memiliki banyak pembaca loyal.

  “Perkenalan” saya dengan Femina terjadi saat saya SMU. Saat itu, Mama saya sering membeli majalah ini. Saya yang suka baca ikut-ikutan melihat-lihat Femina. Saya menyukai majalah ini karena bahasanya yang enak dibaca selain artikel-artikelnya. Saya suka rubrik Kisah yang menceritakan kisah hidup publik figur dalam dan luar negeri. Yang saya sukai, Femina seringkali mampu mengorek sisi lain tokoh yang tak saya temui di media lain dengan bahasa khas Femina. Saya ingat pernah membaca kisah Marlyn Monroe, Ernest Hemmingway, Garin Nugroho, Ruth Sahanaya sampai Eko Patrio sempat saya baca di rubrik itu.

Rubrik Fiksi Femina juga jadi favorit saya selain Rubrik Gado-Gado. Tulisan pendek satu halaman yang mengangkat cerita sehari-hari ini termasuk banyak juga penggemarnya. Tulisan saya malah pernah 2 kali dimuat di rubrik Gado-Gado. Yang juga sering saya baca adalah Rubrik Tips-Tips Praktis seperti tips memasak atau tips berbusana. Femina juga seringkali mengangkat topik yang sedang in saat itu di rubrik Liputan Khas atau Rupa-Rupa, jadi wawasan saya juga bertambah.

Saat kuliah, saya hanya membaca Femina kalau pulang ke rumah. Nggak sanggup beli sendiri J.. Sampai akhirnya, saya menemukan koleksi Femina yang lengkap di sebuah tempat penyewaan bacaan. Femina jadi salah satu bacaan yang sering saya sewa. Saya lupa berapa harga sewanya saat itu. Kalau tak salah hanya 1500 rupiah per majalah. Kadang, saya bisa menyisihkan uang untuk membeli Femina baru. Koleksi Femina saya ada yang masih tersimpan rapi hingga kini, ada pula yang saya jual atau buang karena saat itu saya harus pindah rumah.

 

Femina Edisi Perdana 
       (source: ensiklopedia sastra Indonesia

Sejarah Femina

Perjalanan Femina menjadi sahabat wanita Indonesia ditandai dengan terbitnya edisi perdana majalah ini, bersampul seorang wanita bertangan 10 dan anaknya pada 18 September 1972. Edisi newborn itu sudah menampilkan artikel tentang tren belajar membatik, mode, make up, sampai trik pencahayaan dan warna untuk interior rumah.

Tiga wanita pendiri Femina, Mirta Kartohadiprojo, Widarti Gunawan dan Atika Makarim bermimpi untuk dapat lebih memberdayakan, meningkatkan kesejahteraan serta memperbaiki kualitas wanita itu sendiri. Bukan hal mudah bagi Femina membuka jalan itu karena di awal Femina terbit situasi jauh berbeda dengan sekarang. Kiprah wanita di ruang publik terhitung jarang. Masih ada norma tertentu yang memosisikan wanita sebagai pihak yang tak berdaya.

Sejak awal, Femina telah berhasil menarik keingintahuan pembacanya. Kata Widarti, majalah ini di mata pembacanya seperti kamus serba ada, yang bisa ditanyai mulai dari soal rumah tangga sampai soal menjahit baju. Dulu, Redaksi Femina yang berkantor di garasi kediaman Pia Alisjahbana di Jalan Sukabumi Menteng sering kebanjiran pertanyaan. Pada masa itu, saluran komunikasi hanya ada 2: melalui telepon dan surat,

“Dari situlah, muncul ide untuk membuatkan acara buat pembaca. Tujuan awalnya sebetulnya untuk memindahkan rubrik populer Femina menjadi pertemuan.” Tutur Widarti.  Acara yang sudah digelar mengangkat topik beraneka rupa mulai dari kuliner, gaya hidup, hobi hingga fashion.

Femina menyapa pembacanya sebagai wanita aktif bukan wanita karier atau wanita bekerja. Kendati dulu belum banyak wanita yang menjadi wirausaha, namun Femina sudah menyadari wanita pun bisa berpenghasilan sendiri tanpa harus ke kantor. Di kemudian hari, Femina bahkan membidani event yang menjadi “penemu” para wirausahawan wanita sukses melalui Lomba Wanita Wirausaha, maupun mengadakan beragam seminar wirausaha.

Event lain yang juga digagas Femina dan para alumninya dikenal luas adalah Wajah Femina, Lomba Perancang Mode (LPM), Lomba Perancang Aksesoris serta Lomba Cerpen dan Cerber Femina. Wajah Femina misalnya telah menelurkan banyak publik figur berprestasi, tak hanya di bidang modelling namun juga bidang lain seperti dunia hiburan dan jurnalistik.

Femina pun menggagas Jakarta Fashion Week pada 2008 yang mewadahi para perancang mode Indonesia untuk menampilkan karya-karyanya, tak hanya di hadapan publik lokal tapi juga internasional. Event ini diharapkan menjadi pembuka jalan bagi dunia mode Indonesia agar dapat berkiprah di dunia mode dunia.

Seiring waktu, Femina menerbitkan “adik” dan “saudara” satu grup seperti Majalah Gadis (untuk remaja putri), Cita Cinta (untuk wanita dewasa awal), Dewi (untuk wanita usia matang 40-an ke atas), Ayahbunda (majalah untuk pedoman tumbuh kembang bayi)  dan beberapa majalah franchise.

Imbas Majalah Digital

Awalnya, Femina terbit mingguan. Tebal majalah bervariasi begitupun jenis kertas yang digunakan. Pada masa krisis moneter akhir 90-an sampai awal 2000-an, Femina terkena imbasnya, tampil lebih tipis dibandingkan sebelumnya.

Gempuran media online dan digital membuat oplah Femina makin menurun. Harus diakui, nampaknya majalah ini, juga media cetak pada umumnya, lamban melakukan antisipasi terhadap adanya perubahan besar industri media  yang sudah terjadi sejak 2 dekade lalu.

Femina Edisi Mei 2020
(source:ebook.gramedia)

Sejak 2017, Femina tak lagi terbit mingguan tapi 2 mingguan. Kemudian terbit bulanan dan tahun ini malah terbit tak tentu. Edisi terakhir Femina terbit pada November 2020 setelah edisi sebelumnya terbit pada Mei 2020. Nampaknya, kini Femina mengandalkan pembaca majalah online juga berinteraksi melalui media sosial seperti Instagram dengan mengadakan beberapa event rutin.

Walaupun memiliki lini online, nampaknya hal ini belum mampu mengangkat oplah jual Femina.  Hal ini berimbas pada keuangan perusahaan. Pada 2016, para karyawan Forum Komunikasi Karyawan Femina Grup mengadukan nasib mereka pada Lembaga Bantuan Hukum Pers. Mereka mengeluhkan gaji yang dicicil, awalnya 2 kali dengan perbandinga 50;50. Sampai pada Juli 2017, gaji mereka mulai tak jelas.  Terkadang gaji dicicil lebih dari dua kali, dengan skema persentase tak tentu. Bisa hanya 10:10:20 persen atau 40 persen, tetapi tidak pernah mencapai 100 persen lagi.

Femina Edisi November 2020
(source: twitter/Femina)


Femina masih berjuang untuk bertahan di tengah gempuran zaman juga preferensi pembaca yang lebih memilih media digital dengan alasan kepraktisan. Jika gagal, Femina akan mengikuti jejak majalah “saudara” nya Cita Cinta dan media franchise lain yang bernaung di grup yang sama. Kemudian, saya dan pembaca lainnya hanya akan mengenang Femina. Keberadaan majalahnya akan menjadi koleksi langka juga menjadi saksi akan pernah adanya majalah wanita berkelas yang menjadi teman tumbuh wanita Indonesia. (sebagian sumber dari kumparan.com)

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar