Judul artikel di sebuah koran nasional beberapa waktu lalu bikin
saya tergelitik: Menarik Minat Generasi
Muda dan Cerdas Mau Menjadi Guru. Bukan saja karena kebetulan saya adalah seorang
guru, tapi karena judulnya kelihatan begitu “putus asa”. Seolah menunjukkan,
saking nggak menariknya profesi guru, maka perlu dibuat sebuah artikel yang
membahas bagaimana agar generasi muda kita mau menekuni profesi itu.
Di Indonesia, profesi guru memang diidentikkan dengan gaji
minim. Buktinya, seorang teman sempat tak percaya saat rekan mengajar saya
mampu membeli mobil –secara kredit- “hanya” dengan menjadi guru. Teman saya,
yang guru juga, terang-terangan mewanti-wanti anaknya agar tak mencari calon
suami yang profesinya guru, “Mending
polisi atau apa lah biar banyak duitnya.” katanya bikin saya tersenyum
miris. Soalnya, suami saya guru gitu loh..he..he..Sering pula kita baca atau
kita lihat, seorang guru bahkan kepala sekolah nyambi jadi tukang ojek bahkan jadi pemulung untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Alasannya jelas, karena gaji guru tak bisa diandalkan
sebagai sandaran hidup.
Padahal, jika saya berkaca dengan pengalaman sendiri,
menjadi guru bukanlah hal mudah. Guru bukan hanya harus bisa mentransfer ilmu
yang ia miliki tapi juga harus paham bagaimana ilmu itu disampaikan. Guru harus
memikirkan metode apa yang tepat, menarik dan kalau bisa nggak membosankan.
Belum lagi karakter murid juga berbeda-beda. Ada tipe murid yang memang suka
memperhatikan, ada yang cuek bebek, ada yang doyan ngobrol, ada yang suka bikin
masalah. Guru harus bisa meng-handle
murid yang bermacam-macam itu karena masalah psikologis yang dihadapi murid
biasanya akan berpengaruh terhadap perhatiannya terhadap pelajaran juga. Belum
lagi orang tua murid yang kadang suka rewel. Anaknya harus bisa begini-begitu
tapi dilarang begini begitu. Malah banyak pula orang tua yang seolah lepas
tangan. Begitu sampai sekolah atau tempat les, tugasnya selesai dan mereka tinggal
terima jadi. Anaknya harus bisa A dan B sesuai keinginan mereka, kadang tanpa
mau tahu prosesnya kayak gimana (jadi curhat..).
Tak cukup sampai disitu, ketika ada masalah dengan murid yang
pertama disalahkan seringkali adalah gurunya. Padahal menurut saya, kalaupun
ada kontribusi guru terhadap murid, paling hanya beberapa persen saja. Ada
variabel lain yang membentuk pribadi murid entah lingkungan, teman dan yang
paling utama ya keluarga. Kok ya agak nggak fair kalau guru yang paling hanya
bersama murid selama beberapa jam saja dalam seminggu, jadi pihak yang paling
disalahkan.
Ironisnya, tanggungjawab mengajar dan mendidik yang dibebankan
itu seringkali hanya “dihargai” dengan gaji seadanya. Padahal di negara-negara
maju, guru adalah profesi yang amat dihargai. Di
Jepang contohnya, para guru sekolah umum digaji oleh pemerintah daerah (atau di
negara itu disebut Perfektur) dan termasuk 5 besar negara yang memberikan gaji
tertinggi setelah Luxemburg, Swiss, Jerman dan Korea. Pada 2005, gaji rata-rata guru di Jepang sama
dengan $45,515 USD.(sumber: http://www.educationworld.net/salaries_jp.html). Silahkan hitung berapa jumlahnya dalam rupiah, jika kurs tahun itu adalah
8000.
Dengan penghargaan plus gaji minim tadi, jangan heran jika
guru menjadi profesi yang mungkin paling sedikit diminati. Saya sendiri pernah
bertanya pada murid-murid saya tentang profesi apa yang diminati mereka di masa
depan. Jawabannya mayoritas pengusaha atau manajer. Alasannya, “Duitnya banyak,
Miss.” Kata mereka. Ada sih yang pengen jadi guru. Tapi dari sekian puluh
orang, peminatnya paling 1 atau 2 saja.
Karena itu, saya salut pada pak Anis Baswedan yang merintis
program Indonesia Mengajar. Program ini mampu merekrut anak-anak muda cerdas
dan idealis untuk berkontribusi terhadap kemajuan pendidikan dengan menjadi
guru. Tanpa dibayar lagi. Malah saya baca, ada sukarelawan yang rela keluar
dari pekerjaannya yang bergaji besar untuk bergabung di program itu.
Balik lagi ke artikel yang saya baca itu. Saya setuju jika
memang perlu dilakukan sesuatu untuk menarik minat generasi muda agar tertarik
pada profesi guru. Memang nggak semua harus jadi guru. Tapi setidaknya, guru
tak lagi dipandang sebelah mata sebagai profesi yang paling akhir dipilih
karena memang nggak ada lagi pilihan lain. Pertama, pemerintah harus
meningkatkan kesejahteraan guru sebagai salah satu bentuk penghargaan terhadap
profesi itu. Kedua, mengubah paradigma bahwa guru adalah profesi yang “nggak
deh..”. Caranya, mungkin melalui media. Bisa dengan memuat profil guru sukses
berprestasi –tapi hidup cukup he..he..Menurut saya, hal inilah yang membuat
profesi pengusaha terlihat menarik belakangan ini karena media juga banyak mengeksposnya
sebagai profesi menjanjikan.
Saya berharap satu hari nanti penghargaan terhadap guru akan
lebih baik lagi hingga guru pun akan makin bersemangat menjadi bagian dari
pendidik generasi masa depan. Wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar