Senin, 03 September 2012

Never Want To Be A Teacher



Judul artikel di sebuah koran nasional beberapa waktu lalu bikin saya tergelitik: Menarik Minat Generasi Muda dan Cerdas Mau Menjadi Guru. Bukan saja karena kebetulan saya adalah seorang guru, tapi karena judulnya kelihatan begitu “putus asa”. Seolah menunjukkan, saking nggak menariknya profesi guru, maka perlu dibuat sebuah artikel yang membahas bagaimana agar generasi muda kita mau menekuni profesi itu.

Di Indonesia, profesi guru memang diidentikkan dengan gaji minim. Buktinya, seorang teman sempat tak percaya saat rekan mengajar saya mampu membeli mobil –secara kredit- “hanya” dengan menjadi guru. Teman saya, yang guru juga, terang-terangan mewanti-wanti anaknya agar tak mencari calon suami yang profesinya guru, “Mending polisi atau apa lah biar banyak duitnya.” katanya bikin saya tersenyum miris. Soalnya, suami saya guru gitu loh..he..he..Sering pula kita baca atau kita lihat, seorang guru bahkan kepala sekolah nyambi jadi tukang ojek bahkan jadi pemulung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Alasannya jelas, karena gaji guru tak bisa diandalkan sebagai sandaran hidup.

Padahal, jika saya berkaca dengan pengalaman sendiri, menjadi guru bukanlah hal mudah. Guru bukan hanya harus bisa mentransfer ilmu yang ia miliki tapi juga harus paham bagaimana ilmu itu disampaikan. Guru harus memikirkan metode apa yang tepat, menarik dan kalau bisa nggak membosankan. Belum lagi karakter murid juga berbeda-beda. Ada tipe murid yang memang suka memperhatikan, ada yang cuek bebek, ada yang doyan ngobrol, ada yang suka bikin masalah. Guru harus bisa meng-handle murid yang bermacam-macam itu karena masalah psikologis yang dihadapi murid biasanya akan berpengaruh terhadap perhatiannya terhadap pelajaran juga. Belum lagi orang tua murid yang kadang suka rewel. Anaknya harus bisa begini-begitu tapi dilarang begini begitu. Malah banyak pula orang tua yang seolah lepas tangan. Begitu sampai sekolah atau tempat les, tugasnya selesai dan mereka tinggal terima jadi. Anaknya harus bisa A dan B sesuai keinginan mereka, kadang tanpa mau tahu prosesnya kayak gimana (jadi curhat..).

Tak cukup sampai disitu, ketika ada masalah dengan murid yang pertama disalahkan seringkali adalah gurunya. Padahal menurut saya, kalaupun ada kontribusi guru terhadap murid, paling hanya beberapa persen saja. Ada variabel lain yang membentuk pribadi murid entah lingkungan, teman dan yang paling utama ya keluarga. Kok ya agak nggak fair kalau guru yang paling hanya bersama murid selama beberapa jam saja dalam seminggu, jadi pihak yang paling disalahkan.

Ironisnya, tanggungjawab mengajar dan mendidik yang dibebankan itu seringkali hanya “dihargai” dengan gaji seadanya. Padahal di negara-negara maju, guru adalah profesi yang amat dihargai. Di Jepang contohnya, para guru sekolah umum digaji oleh pemerintah daerah (atau di negara itu disebut Perfektur) dan termasuk 5 besar negara yang memberikan gaji tertinggi setelah Luxemburg, Swiss, Jerman dan Korea.  Pada 2005, gaji rata-rata guru di Jepang sama dengan $45,515 USD.(sumber: http://www.educationworld.net/salaries_jp.html). Silahkan hitung berapa jumlahnya dalam rupiah, jika kurs tahun itu adalah 8000.

Dengan penghargaan plus gaji minim tadi, jangan heran jika guru menjadi profesi yang mungkin paling sedikit diminati. Saya sendiri pernah bertanya pada murid-murid saya tentang profesi apa yang diminati mereka di masa depan. Jawabannya mayoritas pengusaha atau manajer. Alasannya, “Duitnya banyak, Miss.” Kata mereka. Ada sih yang pengen jadi guru. Tapi dari sekian puluh orang, peminatnya paling 1 atau 2 saja.

Karena itu, saya salut pada pak Anis Baswedan yang merintis program Indonesia Mengajar. Program ini mampu merekrut anak-anak muda cerdas dan idealis untuk berkontribusi terhadap kemajuan pendidikan dengan menjadi guru. Tanpa dibayar lagi. Malah saya baca, ada sukarelawan yang rela keluar dari pekerjaannya yang bergaji besar untuk bergabung di program itu.

Balik lagi ke artikel yang saya baca itu. Saya setuju jika memang perlu dilakukan sesuatu untuk menarik minat generasi muda agar tertarik pada profesi guru. Memang nggak semua harus jadi guru. Tapi setidaknya, guru tak lagi dipandang sebelah mata sebagai profesi yang paling akhir dipilih karena memang nggak ada lagi pilihan lain. Pertama, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan guru sebagai salah satu bentuk penghargaan terhadap profesi itu. Kedua, mengubah paradigma bahwa guru adalah profesi yang “nggak deh..”. Caranya, mungkin melalui media. Bisa dengan memuat profil guru sukses berprestasi –tapi hidup cukup he..he..Menurut saya, hal inilah yang membuat profesi pengusaha terlihat menarik belakangan ini karena media juga banyak mengeksposnya sebagai profesi menjanjikan.

Saya berharap satu hari nanti penghargaan terhadap guru akan lebih baik lagi hingga guru pun akan makin bersemangat menjadi bagian dari pendidik generasi masa depan. Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar