Sejak punya anak, sudah 5
pembantu yang datang dan pergi bekerja di rumah saya. Semua masih di bawah 18
tahun dan tak sekolah pula. Paling “mending” pembantu saya yang terakhir. Dia
sempat mencicipi bangku SMP meskipun terhenti karena tak ada biaya.
Menyimak kisah mereka membuat
saya prihatin, miris sekaligus tak habis pikir. Ya..karena saat ini, saat
teknologi sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan , masih ada para
perempuan muda sederhana yang hanya bisa “pasrah” menjalani hidup karena
ketiadaan ekonomi. Pernah saya bertanya pada semua pembantu saya, maukah mereka
sekolah lagi? Cuma satu yang mengaku masih sangat mau sekolah, “Kalau ada uang saya mau banget, Bu. Tapi ya
gimana, Bapak saya Cuma buruh tani. Adik saya banyak.” katanya.
Tapi mayoritas dari mereka tak
menunjukkan antusiasme sama sekali. Mungkin karena sudah tak bersemangat
sekolah atau juga karena terlanjur apatis dan pasrah menjalani apa yang ada. Saya
dan suami juga sering menyuruh mereka membaca-baca buku atau majalah di rumah.
Tapi mayoritas tak terlalu tertarik bahkan untuk sekedar melihat.
Hal lain yang membuat saya
prihatin adalah mereka amat sering terjebak- tepatnya dijebak-untuk menikah
muda. Pernah seorang pembantu saya tiba-tiba minta izin pulang kampung.
Ternyata dia mau menikah dengan seorang pemuda satu kampung yang juga bekerja
di kota saya. Saya heran karena setahu saya mereka jarang terlihat bersama.
Pemuda itu datang ke rumah hanya untuk menjemput pembantu saya saat hendak
pulang kampung. Lagipula, pembantu saya juga sudah punya teman dekat, tetangga
saya dekat rumah. Saya sampai serkali-kali bertanya
keseriusannya untuk menikah, “yakin kamu mau nika,Ju?” tanya saya padanya. Dia
mengangguk.
Belakangan, saya tahu cerita
lengkapnya dari Ibu mertua saya. Ternyata, pemuda kampung itu diam-diam sudah
menyerahkan uang pada Bapaknya Juju-pembantu saya-sebagai tanda “jadi”. Karena
uang sudah diterima, mau nggak mau pembantu saya itu harus menikah dengan si
pemuda. Saya gemas luar biasa. Kok bisa ya orang tuanya menerima tanpa bertanya
dulu apakah pihak perempuannya mau apa nggak?. Ok lah pemuda itu memang baik.
Tapi masa iya kita nggak punya hak untuk menentukan sikap. Menikah kan bukan
hanya menyangkut saat ini tapi kalau bisa seumur hidup. Salah mengambil
keputusan, bisa berabe.
Tapi ya itu lah. Cara berpikir pembantu
saya dan keluarganya memang amat sederhana. Mungkin karena si pemuda masih satu
kampung, bapaknya mau menerima. Dan pembantu saya tak mau melawan orang tua
hingga menikah dengan pemuda yang entah dia sukai atau tidak. Malah menurut cerita, di kampung
pembantu saya itu memang masih ada yang disebut kawin gantung. Artinya, orang
tua kedua belah pihak diam-diam sudah “menikahkan” anak-anak mereka saat masih
kecil. Namun si laki-laki baru boleh bersatu dengan si perempuan setelah si
perempuan akil baligh.
Saya berpikir, mungkin memang benar yang
menjadi kunci dari semuanya adalah pendidikan. Andaikan para pembantu saya itu
bisa bersekolah, saya yakin mereka akan punya wawasan yang lebih luas, mampu
memutuskan apakah sesuatu itu layak atau tidak buatnya, atau malah punya power
untuk menentukan hidupnya sendiri. Setidaknya tidak hanya pasrah dan tunduk
menerima apa yang terjadi tanpa ada keinginan atau harapan sama sekali..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar