Minggu, 02 September 2012

Berkaca Dari Cerita Pembantu..



Sejak punya anak, sudah 5 pembantu yang datang dan pergi bekerja di rumah saya. Semua masih di bawah 18 tahun dan tak sekolah pula. Paling “mending” pembantu saya yang terakhir. Dia sempat mencicipi bangku SMP meskipun terhenti karena tak ada biaya.

Menyimak kisah mereka membuat saya prihatin, miris sekaligus tak habis pikir. Ya..karena saat ini, saat teknologi sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan , masih ada para perempuan muda sederhana yang hanya bisa “pasrah” menjalani hidup karena ketiadaan ekonomi. Pernah saya bertanya pada semua pembantu saya, maukah mereka sekolah lagi? Cuma satu yang mengaku masih sangat mau sekolah, “Kalau ada uang saya mau banget, Bu. Tapi ya gimana, Bapak saya Cuma buruh tani. Adik saya banyak.” katanya.

Tapi mayoritas dari mereka tak menunjukkan antusiasme sama sekali. Mungkin karena sudah tak bersemangat sekolah atau juga karena terlanjur apatis dan pasrah menjalani apa yang ada. Saya dan suami juga sering menyuruh mereka membaca-baca buku atau majalah di rumah. Tapi mayoritas tak terlalu tertarik bahkan untuk sekedar melihat.

Hal lain yang membuat saya prihatin adalah mereka amat sering terjebak- tepatnya dijebak-untuk menikah muda. Pernah seorang pembantu saya tiba-tiba minta izin pulang kampung. Ternyata dia mau menikah dengan seorang pemuda satu kampung yang juga bekerja di kota saya. Saya heran karena setahu saya mereka jarang terlihat bersama. Pemuda itu datang ke rumah hanya untuk menjemput pembantu saya saat hendak pulang kampung. Lagipula, pembantu saya juga sudah punya teman dekat, tetangga saya dekat rumah. Saya sampai serkali-kali bertanya keseriusannya untuk menikah, “yakin kamu mau nika,Ju?” tanya saya padanya. Dia mengangguk.

Belakangan, saya tahu cerita lengkapnya dari Ibu mertua saya. Ternyata, pemuda kampung itu diam-diam sudah menyerahkan uang pada Bapaknya Juju-pembantu saya-sebagai tanda “jadi”. Karena uang sudah diterima, mau nggak mau pembantu saya itu harus menikah dengan si pemuda. Saya gemas luar biasa. Kok bisa ya orang tuanya menerima tanpa bertanya dulu apakah pihak perempuannya mau apa nggak?. Ok lah pemuda itu memang baik. Tapi masa iya kita nggak punya hak untuk menentukan sikap. Menikah kan bukan hanya menyangkut saat ini tapi kalau bisa seumur hidup. Salah mengambil keputusan, bisa berabe.

Tapi ya itu lah. Cara berpikir pembantu saya dan keluarganya memang amat sederhana. Mungkin karena si pemuda masih satu kampung, bapaknya mau menerima. Dan pembantu saya tak mau melawan orang tua hingga menikah dengan pemuda yang entah dia sukai atau tidak. Malah menurut cerita, di kampung pembantu saya itu memang masih ada yang disebut kawin gantung. Artinya, orang tua kedua belah pihak diam-diam sudah “menikahkan” anak-anak mereka saat masih kecil. Namun si laki-laki baru boleh bersatu dengan si perempuan setelah si perempuan akil baligh. 

Saya berpikir, mungkin memang benar yang menjadi kunci dari semuanya adalah pendidikan. Andaikan para pembantu saya itu bisa bersekolah, saya yakin mereka akan punya wawasan yang lebih luas, mampu memutuskan apakah sesuatu itu layak atau tidak buatnya, atau malah punya power untuk menentukan hidupnya sendiri. Setidaknya tidak hanya pasrah dan tunduk menerima apa yang terjadi tanpa ada keinginan atau harapan sama sekali..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar