Sabtu, 20 Oktober 2012

Memintarkan Pembantu




Sebenarnya, jika boleh berharap saya amat ingin pembantu yang bekerja di rumah saya dapat mencicipi bangku sekolah. Setidaknya saat bekerja di rumah saya, pengetahuan mereka bakal bertambah entah melalui kursus atau lainnya. Jadi mereka memiliki bekal berharga yang dapat mereka gunakan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Syukur-syukur mereka bisa mengubah hidupnya dan keluarganya di kampung. 
Lagipula, jika mereka pintar saya bakal diuntungkan juga. Mereka bisa jadi partner saya untuk mengajari anak meskipun hanya untuk mengajari ABCD. Sayangnya keinginan saya itu belum kesampaian. Pembantu-pembantu saya tak terlalu tertarik sekolah apalagi ikutan kursus. Kalaupun ada yang tertarik untuk melanjutkan sekolah, ia harus berhadapan dengan keinginan orang tuanya di kampung yang tak selalu mendukungnya untuk sekolah.
Saya pernah mendaftarkan pembantu ikut sekolah persamaan setingkat SMP. Saya lihat, ia memiliki minat yang besar untuk sekolah lagi. Ia pun nampak senang saat saya antar melihat calon sekolahnya. Awalnya saya juga sempat ragu, khawatir kalau orang tuanya tak mengizinkan. Tapi ia meyakinkan saya,
“Bapak saya setuju kok, Bu. Dia pernah bilang sama saya kalau saya boleh sekolah lagi asal pakai biaya sendiri.”
Ia pun bilang kalau keinginannya sekolah salah satunya agar ia bisa mencari pekerjaan lain yang lebih baik, membiayai adik-adiknya agar tak mengalami putus sekolah seperti dirinya.
Menjelang Lebaran saya bela-belain mengantar dia pulang kampung. Maksudnya agar suami bisa pedekate ke Bapaknya. Intinya sih membujuk agar anaknya-pembantu saya itu- boleh bekerja sambil sekolah setelah Lebaran nanti. Ternyata, setelah Lebaran pembantu saya itu nggak balik lagi tanpa berita atau permisi sama sekali. Saya kecewa luar biasa. Bukan karena saya sudah keluar uang untuk mendaftar sekolah. Saya kecewa karena lagi-lagi keinginan saya untuk memintarkan pembantu sendiri tak kesampaian.
Saya tak tahu apa sebab pembantu saya-yang belakangan saya tahu dia pindah bekerja di tempat lain-tak jadi pulang dan masuk sekolah barunya. Prediksi saya, karena faktor teman dan orang tua. Mungkin selama di kampung ia mendapat banyak omongan yang intinya mengurungkan niatnya semula untuk sekolah lagi. Saya maklum kalau di usianya yang masih 15 tahun itu ia mudah berubah pikiran.

Salah satu sudut desa Sitoko Rangkasbitung Jawa Barat
Saya lalu teringat bagaimana anak-anak perempuan di kampung pembantu saya itu. Kebetulan mereka berasal dari kampung di daerah yang sama di desa Sitoko Rangkasbitung. Hampir semua anak perempuan hanya mengenyam pendidikan SD. Sangat jarang yang sekolah sampai SMP. Selulus SD, kadang tak selesai, anak-anak itu bakal bekerja di kota rata-rata menjadi pembantu rumah tangga. Setelah beberapa tahun, biasanya minimal saat berumur 16, mereka akan dinikahkan dengan pemuda desa itu juga minimal masih satu wilayah.
Jadi, jika ada di antara mereka yang memiliki keinginan “abnormal”, ingin melanjutkan sekolah misalnya, mereka harus berhadapan dengan dinding yang amat tebal. “Tradisi” menikahkan anak di usia dini, cara berpikir orang tua yang tak mementingkan pendidikan atau faktor-faktor lain yang melingkupinya, dapat menjadi penghalang niat seorang anak bersekolah termasuk mungkin menghalangi niat pembantu saya itu.
Jika bukan niat yang amat kuat dan keberanian untuk “melawan” keadaan termasuk bersebrangan keinginan dengan orang tua sendiri- saya yakin situasi itu tak akan pernah berubah. Maka, akan terus begitu siklus terjadi. Sekolah cukup sampai SD saja, bekerja, menikah dan punya anak. Sesederhana itulah hidup bagi mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar