Sebenarnya,
jika boleh berharap saya amat ingin pembantu yang bekerja di rumah saya dapat
mencicipi bangku sekolah. Setidaknya saat bekerja di rumah saya, pengetahuan
mereka bakal bertambah entah melalui kursus atau lainnya. Jadi mereka memiliki
bekal berharga yang dapat mereka gunakan untuk mendapat pekerjaan yang lebih
baik. Syukur-syukur mereka bisa mengubah hidupnya dan keluarganya di kampung.
Lagipula,
jika mereka pintar saya bakal diuntungkan juga. Mereka bisa jadi partner saya
untuk mengajari anak meskipun hanya untuk mengajari ABCD. Sayangnya keinginan
saya itu belum kesampaian. Pembantu-pembantu saya tak terlalu tertarik sekolah
apalagi ikutan kursus. Kalaupun ada yang tertarik untuk melanjutkan sekolah, ia
harus berhadapan dengan keinginan orang tuanya di kampung yang tak selalu
mendukungnya untuk sekolah.
Saya
pernah mendaftarkan pembantu ikut sekolah persamaan setingkat SMP. Saya lihat,
ia memiliki minat yang besar untuk sekolah lagi. Ia pun nampak senang saat saya
antar melihat calon sekolahnya. Awalnya saya juga sempat ragu, khawatir kalau
orang tuanya tak mengizinkan. Tapi ia meyakinkan saya,
“Bapak saya setuju kok, Bu. Dia
pernah bilang sama saya kalau saya boleh sekolah lagi asal pakai biaya
sendiri.”
Ia
pun bilang kalau keinginannya sekolah salah satunya agar ia bisa mencari
pekerjaan lain yang lebih baik, membiayai adik-adiknya agar tak mengalami putus
sekolah seperti dirinya.
Menjelang
Lebaran saya bela-belain mengantar
dia pulang kampung. Maksudnya agar suami bisa pedekate ke Bapaknya. Intinya sih
membujuk agar anaknya-pembantu saya itu- boleh bekerja sambil sekolah setelah
Lebaran nanti. Ternyata, setelah Lebaran pembantu saya itu nggak balik lagi tanpa berita atau permisi sama sekali. Saya kecewa
luar biasa. Bukan karena saya sudah keluar uang untuk mendaftar sekolah. Saya
kecewa karena lagi-lagi keinginan saya untuk memintarkan pembantu sendiri tak
kesampaian.
Saya
tak tahu apa sebab pembantu saya-yang belakangan saya tahu dia pindah bekerja
di tempat lain-tak jadi pulang dan masuk sekolah barunya. Prediksi saya, karena
faktor teman dan orang tua. Mungkin selama di kampung ia mendapat banyak
omongan yang intinya mengurungkan niatnya semula untuk sekolah lagi. Saya
maklum kalau di usianya yang masih 15 tahun itu ia mudah berubah pikiran.
Salah satu sudut desa Sitoko Rangkasbitung Jawa Barat |
Saya
lalu teringat bagaimana anak-anak perempuan di kampung pembantu saya itu.
Kebetulan mereka berasal dari kampung di daerah yang sama di desa Sitoko Rangkasbitung. Hampir semua anak
perempuan hanya mengenyam pendidikan SD. Sangat jarang yang sekolah sampai SMP.
Selulus SD, kadang tak selesai, anak-anak itu bakal bekerja di kota rata-rata menjadi
pembantu rumah tangga. Setelah beberapa tahun, biasanya minimal saat berumur
16, mereka akan dinikahkan dengan pemuda desa itu juga minimal masih satu
wilayah.
Jadi,
jika ada di antara mereka yang memiliki keinginan “abnormal”, ingin melanjutkan
sekolah misalnya, mereka harus berhadapan dengan dinding yang amat tebal.
“Tradisi” menikahkan anak di usia dini, cara berpikir orang tua yang tak
mementingkan pendidikan atau faktor-faktor lain yang melingkupinya, dapat
menjadi penghalang niat seorang anak bersekolah termasuk mungkin menghalangi
niat pembantu saya itu.
Jika
bukan niat yang amat kuat dan keberanian untuk “melawan” keadaan termasuk
bersebrangan keinginan dengan orang tua sendiri- saya yakin situasi itu tak
akan pernah berubah. Maka, akan terus begitu siklus terjadi. Sekolah cukup
sampai SD saja, bekerja, menikah dan punya anak. Sesederhana itulah hidup bagi
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar