Minggu, 21 Oktober 2012

HIdup Yang Lain Di Sitoko



Inilah tempat dimana Facebook dan Twitter tak berguna dan listrik jadi hal mahal serta langka.

Welcome To Sitoko!

Saat saya diajak suami mampir ke Sitoko setelah menghadiri sebuah acara di kota Serang, sebenarnya saya cukup antusias. Saya memang penyuka suasana pedesaan. Dalam bayangan saya, desa yang terletak di Kabupaten Lebak Banten ini tak bakal jauh berbeda dengan desa-desa lainnya yang pernah saya kunjungi. Suami saya pernah sekali ke desa ini mengunjungi rumah penjaga sekolah di tempat suami saya bekerja. Di rumahnya pula kami berencana menginap selama kunjungan singkat kami. Tapi suami tak terlalu banyak bercerita tentang situasi Sitoko secara detail. Tak terbayangkan kalau ternyata desa ini lebih ndeso dari bayangan saya. 

Karena acara di Serang baru selesai sekitar jam setengah 8 malam, rombongan kecil kami-saya, suami, anak dan adik ipar yang menjadi sopir-tiba di pasar Gajrug-pasar terdekat dari Sitoko- sekitar jam 11 malam. Saya sudah girang karena awalnya saya menduka kalau desa Sitoko tak jauh dari pasar itu. Tapi saya salah besar. 

Kondisi Jalan di Sitoko (foto:dokpri)

Jika saja jalan yang kami lewati adalah jalan “normal”, sebenarnya jarak Gajrug-Sitoko tak terlalu jauh. Masalahnya, satu-satunya akses jalan ke Sitoko adalah jalan berkelok dan berbatu. Ada sih yang sudah "kenal" aspal, tapi mayoritas belum. Listrik pun-saat itu-belum masuk ke Sitoko. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya sopir mengendalikan mobil di jalan kecil, berbatu dan gelap dengan jurang di kiri kanan!. Kontur jalan pun tak selalu datar. Adakalanya menanjak atau bahkan menurun. Karena ngeri, sepanjang jalan saya tak henti berdoa dalam hati. Saya ngeri membayangkan bagaimana jika mobil kami selip dan terguling..

Sulitnya medan membuat perjalanan terasa amat lama. Tepat jam 12 malam kami pun sampai di sebuah tempat yang lumayan landai. Saya bersorak dalam hati, mengira bahwa kami benar-benar telah sampai. Soalnya, saya tak melihat ada jalan lagi yang dapat kami lewati. Mentok sampai disitu. 

"Terminal" Tempat Kami Memarkir Mobil. (foto:dokpri)

 “Ini “terminal”nya. Semua kendaraan biasanya diparkir disini.” Kata suami.


Melalui kaca mobil, saya mencoba melihat ke atas bukit. Rumah-rumah- sebagian terbuat dari kayu- nampak berderet. Semua nampak gelap. 


“Sudah sampai, nih?. Rumah Bang Udin dimana?” tanya saya.


“Belum sampe, Sayang. Rumahnya di atas.”


Saya pun lemas lagi.  Itu artinya, dari tempat parkir mobil kami masih harus berjalan mendaki. Duh.. badan saya masih terasa pegal-pegal setelah terombang-ambing di dalam mobil akibat jalan berbatu yang kami lalui. Sekarang masih harus mendaki bukit.

Suami lalu pergi lebih dulu. Maksudnya memberitahu tuan rumah jika kami sudah sampai. Jalan itu terpaksa ditempuh karena handphone Bang Udin si pemilik rumah tak bisa dihubungi. Believe it or not, suami saya saat itu hanya berbekal cahaya dari handphonenya. Padahal suasana desa amat gelap gulita dan tengah malam pula. Diam-diam saya menyesali kenapa suami tak cerita kalau di sini kami bakal butuh senter. 
Sepeninggal suami, rasa sepi mulai menyergap. Jujur saya ngeri dan agak merinding. Bayangkan saja...Saat itu kami berada di daerah asing. Kami tak tahu situasi desa itu secara pasti. Saya takut jika ada orang asing mendekat dan melakukan tindak kekerasan. Adik ipar saya mencoba mengusir rasa sepi dengan memutar kaset dan mengajak saya mengobrol sementara anak saya tertidur pulas.

Semenit..dua menit..Saya mulai gelisah karena suami saya tak kunjung muncul. Lebih dari 15 menit kemudian, barulah saya lega saat melihat beberapa pemuda termasuk suami saya datang menuruni bukit sambil membawa senter. Rupanya, karena hanya berbekal cahaya seadanya suami harus berjalan menaiki bukit sambil meraba-raba. Pantaslah lama sekali.
Saya lalu turun dari mobil dan berjalan menaiki bukit. Nafas saya serasa mau putus karena saya berkali-kali harus menaiki undakan tangga berbatu yang lumayan tinggi. Beberapa penduduk desa keluar rumah demi mendengar suara “ramai” kami di luar. Saya menarik nafas lega saat kami benar-benar sampai di rumah tempat menginap. Satu-satunya rumah yang terang benderang di desa itu. Ya..demi menyambut kami, tuan rumah menyalakan genset agar bisa menyalakan lampu. (Next: Menahan Dingin di Sitoko)





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar