Sebenarnya,
saya sempat bercita-cita jadi wartawan. Sebabnya saya suka menulis. Saya juga
suka pekerjaan yang mobile dan nggak
mengharuskan saya berada di belakang meja terus menerus. Makanya, saya mantap
belajar Jurnalistik setelah lulus D3.
Tapi
setelah merasakan jadi wartawan beneran selama magang di Harian Umum Republika,
saya jadi mikir-mikir lagi apakah benar saya bisa jadi wartawan. Saat magang,
saya ditugaskan untuk membantu redaksi Suplemen Ahad- lembaran khusus Republika
yang hanya terbit setiap hari Minggu. Dulu, rubrik-rubrik yang ada di Suplemen
Ahad adalah rubrik Mode, Kecantikan, Keluarga, Kesehatan, dan liputan lain yang
berbentuk soft news.
Jadi,
tak seperti teman-teman saya yang sering nongkrong di Pengadilan, Kantor
Kementrian atau kantor pemerintahan
lain, saya malah banyak melakukan liputan ke hotel atau mall untuk mengikuti
grand launching produk, menonton fashion show atau sekedar meliput seminar.
Pernah juga saya ke butik-butik untuk mewawancarai pemiliknya dan ngejar dokter
A atau B untuk wawancara tentang satu topik kesehatan sampai ke cafe segala.
Keuntungannya,
karena saya sering meliput ke tempat-tempat itu saya jadi bisa sekalian
jalan-jalan juga. Sambil menunggu- biasanya saya sampai ke tempat acara minimal
setengah jam sebelumnya- saya akan keliling mall sambil cuci mata. Kadang jika
beruntung saya berpapasan dengan seleb A atau B yang kebetulan lagi jalan-jalan
juga he..he.. Jika saya meliput launching produk biasanya panitia akan memberi goodie bag berupa produk
bersangkutan untuk wartawan atau tamu yang hadir. Lumayan kan bisa dapat produk
baru secara gratis?.
Enjoykah
saya? Ternyata tidak juga. Jadi wartawan ternyata tak cukup bermodal pintar
menulis atau berbahasa asing tapi juga pintar berkomunikasi. That’s the
problem!. Saya itu pada dasarnya nggak suka ngobrol, malas berbasa-basi dan kurang suka
keramaian. Sementara, dalam aktivitas peliputan pastilah saya harus berhubungan
dan bertemu dengan banyak orang. Saya harus luwes menjalin komunikasi dengan
narasumber demi informasi yang saya butuhkan dan dengan sesama wartawan
sebagai partner liputan. Kadang dari sesama wartawan juga saya mendapatkan
informasi penting yang mungkin belum saya dapatkan.
Masalahnya
saya sering sungkan untuk say hello pada wartawan lain untuk memulai percakapan. Jadilah saya sering
bengong sendiri karena tak tahu harus ngobrol dengan siapa. Setiap ada acara
saya pun bakal membujuk teman sesama magang untuk menemani saya. Tak selalu
berhasil karena kadang dia dapat tugas liputan juga.
Problem lain, saya juga nggak tahan dengan jam kerja wartawan yang serba tak pasti. Saat
deadline saya bisa sampai kosan jam 11 malam padahal besoknya saya liputan
pagi. Akhirnya saya putuskan, batal jadi wartawan. Kalau hanya menulis
freelance sih masih mau. Tapi full sebagai wartawan saya bakal mikir-mikir
lagi.
Kakak, aku iseng2 cari info magang jd jurnlis fashion yg kk ceritain di blog kk. itu magang dari kampus atau magang sendiri ya? aku lg cari link buat freelence jurnalis fashion hehe. e-mail me ya ka rimmaip@ymail.com kita kontak2an disana hehe
BalasHapus