Jumat, 06 November 2020

Yang KW Yang (Tak) Terkenal

 

Jagat maya sedang dihebohkan oleh seorang remaja 19 tahun, penjual bakso di Bekasi Timur Jawa Barat yang katanya mirip Raffi Ahmad muda. Seorang pembeli mengunggah video yang memerlihatkannya sedang berjualan. Menjadi viral, Dimas Ramadhan, pemuda yang mirip Raffi muda itu, kemudian dijemput tim Rans Entertainment untuk dipertemukan langsung dengan Raffi Ahmaad di rumah pribadinya. Bagai ketiban pulung, Dimas mengaku serasa bermimpi bisa bertemu dengan artis terkenal bahkan bisa masuk rumahnya. Dimas dihadiahi sepatu mahal Raffi dan dijanjikan untuk dibiayai kuliahnya. Yang membuatnya tak kalah senang, sejak video tentang dirinya viral, omset jualan bakso milik ayah Dimas ikut naik.

Selain Dimas, ada pula Affief yang katanya mirip artis muda Rizky Billiar.  Walaupun tak seheboh Dimas, Affief mengaku memang banyak yang bilang kalau dia mirip artis yang sedang naik daun itu. Secara khusus, Affief tak pernah diundang langsung oleh Rizky untuk bertemu, “Hanya pernah kolaborasi untuk TikTok saja.” aku Affief pada reporter sebuah acara TV.


Source: VOA Indonesia


Imitasi Publik Figur

Satu hal yang wajar ketika seorang fans mengimitasi tokoh idolanya. Umumnya fans mengimitasi gaya berbusana, gaya berbicara atau ekspresi khusus tokoh yang disukainya itu. Teman saya pernah bercerita, kakak laki-lakinya sangat suka pada Kaka Slank. Sampai-sampai ia sengaja membuat gigi depannya patah sedikit biar makin mirip Kaka! Saat itu, Kaka memang punya gigi seperti itu dan belum serapi sekarang. Untunglah kakak teman saya itu tak ikutan nge-drugs seperti Kaka!

Banyak orang di dunia yang mengikuti gaya dan busana King of Pop Michael Jackosn, Elvis Presley atau penyanyi Reggae Bob Marley. Di Indonesia, gaya dan busana Rhoma Irama nampaknya juga banyak ditiru. Tak masalah jika harus mengeluarkan uang demi memiripkan diri dengan sang idola. Soal beneran mirip atau tidak, itu nomor dua. Yang penting usaha!

Bertahun lalu bahkan pernah ada program TV yang khusus mencari dan menampilkan orang-orang yang mirip publik figur tertentu. Program bertajuk Asal alias Asli Tapi Palsu itu mengundang 3 orang yang dianggap paling mirip dan bertemu langsung dengan publik figur aslinya. Mereka akan diminta melakukan hal yang biasa dilakukan si publik figur misalnya menyanyi atau akting. Yang bikin geli,tak selalu yang diundang mirip banget ternyata. Palingan mirip kalau dilihat sekilas. Program TV dengan host almarhum Taufik Savalas ini sempat sangat disukai saat itu. Acara ini pernah di-remake tapi nampaknya tak sesukses sebelumnya.

Bagi yang memiliki paras wajah seperti orang terkenal, bisa jadi itu bagai sebuah anugerah. Tak perlu bersusah payah meniru, mereka sudah mirip dari sono-nya. Tinggal dipoles sedikit saja bisa lebih mirip lagi.  Komedian Jarwo Kuat misalnya mulai dikenal karena konon mirip mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia pun bisa meniru gaya berbicara beliau. Banyak pula yang mengaku atau diakui mirip komedian Sule. Ada juga Ilham Anas, pria berdarah Minang yang mirip Barack Obama.

Sama-sama Terkenal?

Banyaknya orang “biasa” yang mirip publik figur kini makin mudah dikenali karena bantuan teknologi. Jika ada yang mengunggah video atau foto lewat media sosial, seketika ia bisa menjadi viral. Namun apakah kemiripan itu membawa keberuntungan yang sama seperti publik figur yang dimiripinya, itu soal lain. Kembali ke niat dan mungkin juga keberuntungan. Ada yang memang memanfaatkan kemiripan dirinya itu untuk mendulang rupiah dan merintis karir di dunia hiburan, ada pula yang sekedar merasa senang saja tanpa berniat memanfaatkan situasi.

Salah satu yang memanfaatkan momen kesukaan orang pada kemiripannya  dengan publik figur misalnya Jarwo Kuat. Jika awalnya ia sering diminta jadi Pak Kalla gadungan, kini Jarwo lebih sering berperan sebagai komedian. Karirnya pun terhitung lumayan. Ada pula yang mengaku mirip Sule bahkan mengikuti gaya rambut komedian asal Jawa Barat itu. Sempat membintangi sinetron dan iklan tapi nampaknya karir Sule KW ini tak terlalu moncer.

Kisah cukup menarik terjadi pada Ilham yang mirip benar dengan Mantan Presiden Amerika Barack Obama. Sejak pelantikan Obama menjadi Presiden Amerika beberapa tahun ke belakang, Ilham mulai dikenal. Tak tanggung-tanggung, berkat kemiripannya itu ia ditawari main film hingga ke negeri Cina. Ilham bahkan bisa melanglangbuana ke berbagai negara sebagai Obama palsu dengan menjadi bintang iklan, menjalani proyek film, iklan dan menghadiri peluncuran berbagai produk.  Mengaku sebagai Obama KW Super, Ilham bahkan seringkali dikira Obama saat sedang berjalan-jalan. Tak heran, ia pun laris manis diajak berfoto. Setelah Obama lengser, tawaran untuk menjadi Obama KW tak lagi ramai walaupun kata Ilham ia tetap optimis karirnya tetap bisa berjalan baik.

Punya wajah dan perawakan mirip publik figur adalah pemberian yang Maha Kuasa. Jika mau memanfaatkan itu sebagai cara mengais rezeki, tentu syah-syah saja. Namun sebagaimana seharusnya, menjadi seorang (yang mirip) publik figur hendaknya tak lantas menghilangkan identitas pribadi apalagi jadi tinggi hati. Kalau ternyata bisa seterkenal dan rezekinya selancar tokoh yang dimiripi, syukurilah. Jadi ketika orang tak lagi mengenal sebagai si KW, kita tak perlu merasa terlalu kecewa.

 

 

Selasa, 03 November 2020

Parade Kemewahan Di Layar Kita

 

Source; 99.co

Welcome to my family room!” tukas wanita itu sambil merentangkan tangannya. Di layar nampak kolam renang nan asri dan luas. Host muda yang hari itu berkunjung ke rumahnya terbelalak, “Oh man! This is a resort!” serunya setengah berteriak. Sejak awal ia memang sudah nampak takjub melihat rumah luas dan mewah wanita itu: kamar pribadi yang super luas bak hotel juga ruangan bertaburan benda-benda pajangan mewah dan artistik. Obrolan lalu berlanjut santai di kolam renang si wanita. Sambil merendam kaki dan menghirup shissa-rokok ala Timur Tengah-, mereka ngobrol hal-hal ringan sambil sesekali tertawa bersama.

****

Selain nge-prank, salah satu konten channel YouTube yang juga marak adalah berkunjung ke rumah selebriti. Biasanya pemilik channel, umumnya selebriti juga, akan bertamu sambil melakukan “house tour´ dari bagian depan sampai dapur. Tak lupa, host akan melongok garasi sang bintang yang umumnya berisi kendaraan roda dua dan roda empat mahal milik mereka. Jumlahnya seringkali tak hanya satu bahkan ada yang berjejer tak ubahnya di showroom saja.

Program macam ini awalnya muncul di MTV pada tahun 2000-an. MTV Cribs, demikian nama program acara itu, menampilkan tur ke rumah pribadi para selebriti. Acara TV ini mencapai ratusan episode dan telah menampilkan banyak selebritis mulai dari aktor sampai atlet terkenal. MTV Indonesia kemudian mengadaptasinya menjadi MTV Rumah Gue yang tayang tahun 2000an. Kini, acara sejenis yang secara khusus membahas rumah selebritis nampaknya sudah tidak ada. Hanya kadang, ada acara TV yang menyelipkan house tour rumah selebriti sekedar sebagai bahan berita saja.

Entah terinspirasi oleh acara MTV itu atau bukan, banyak konten YouTube yang menampilkan hal serupa. Dan nampaknya, para penonton menyukainya. Kita pun pasti kepo ya ingin tahu rumah para selebritis apalagi jika yang dikunjungi adalah seleb favorit. Tentu kita penasaran bagaimana isi rumahnya, apa yang biasa ia lakukan di kamar pribadinya, bagaimana kesehariannya dan menyimak soal hal-hal pribadi lain yang belum kita tahu.

Namun sebagaimana halnya sebuah tontonan, konten seperti ini tentu ada plus minusnya. Menonton rumah mewah dan luas selebiritis bisa saja hanya sebagai hiburan. Berita apapun tentang orang terkenal memang selalu menarik untuk disimak apalagi tentang hal-hal privat mereka. Melalui rumah itu, kita bisa menilai sekilas karakter si empunya rumah. Ada yang rumahnya mentereng penuh sesak barang, ada yang berumah luas tapi bertipe minimalis elegan, ada yang meluaskan kamar pribadi karena suka ngendon di kamar, ada yang suka masak hingga dapur dibuat bikin betah.

Minusnya tentu saja jika konten ditonton kaum menengah ke bawah yang melihat itu tak hanya tontonan tapi juga sumber khayalan. Lalu sebagai penonton kita ikutan membayangkan andaikan punya rumah seluas dan sebagus mereka. Saat melihat kenyataan, kita sedih dan menyesali kenapa tak bisa punya rumah seperti itu. Banyak yang lantas terobsesi ingin jadi selebriti walaupun harus melakukan berbagai cara. Apalagi jika host sekedar menampilkan kemewahan namun tak mengorek bagaimana perjuangan sang bintang sampai punya rumah semewah itu.

Menarik ketika saya menonton house tour rumah Inul Daratsista yang dipandu dua host kondang, Irfan Hakim dan Indra Herlambang. Dalam program itu, ada obrolan tentang perjuangan Inul yang rela hidup prihatin 3 tahun lamanya demi membayar cicilan rumah yang jumlahnya ratusan juta sebulan. Selipan obrolan seperti ini mungkin bisa membuat konten terasa lebih membumi. Nyatanya para selebriti ini memang tak selalu memeroleh rumah idaman dengan mudah. Perlu kerja keras dan perjalanan panjang untuk mendapatkan rumah impian.

Perlu usaha dari pembuat konten agar tontonan tak sekedar jadi tontonan namun ada selipan hikmahnya. Begitupun kita sebagai penonton hendaknya bisa lebih bijak. Menonton ya menonton saja sekedar hiburan di waktu senggang. Tapi jangan lupa, tetaplah berpijak ke bumi. Apapun pasti ada pengorbanan besar hingga para selebriti itu bisa memiliki rumah mewah macam itu. Belum tentu kita sanggup bekerja sekeras mereka. Dengan begitu, kita tetap terhibur namun juga tetap bersyukur.

  



Sabtu, 31 Oktober 2020

Mandul Yang Sebenarnya

Memiliki banyak anak nampaknya menjadi simbol prestise bagi sebagian orang. Ada kebanggaan tersendiri ketika mampu memiliki anak berderet apalagi jika semua sukses. Selain itu, memiliki banyak anak juga dipercaya menjadi sumber rezeki.  Makin banyak anak, makin banyak pintu rezeki yang Allah bukakan untuk orang tuanya. 

Terdapat pula hadist yang berbunyi: “Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasuallah SAW bersabda:  “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak(subur) karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan umat-umat yang lain”(HR.Abu Dawud). Hadist ini kemudian menjadi “pedoman” bagi sebagian kita untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya.

Tak ada yang salah dengan keinginan untuk memiliki anak banyak. Apalagi jika diniatkan kalau anak-anak itu menjadi penerus estafet dakwah untuk menegakkan dinul islam di masa depan. Namun hendaknya, keinginan itu tak hanya untuk memiliki anak banyak secara kuantitas namun melupakan kualitasnya.

Anak lahir diikuti kewajiban atas kita orang tuanya. Ia wajib kita didik, asuh dan berikan kehidupan yang layak. Ia bukan makhluk yang bisa kita lepas begitu saja, membiarkan mereka tumbuh sendiri mengikuti nasib. Jika mereka jadi anak-anak baik kita bersyukur, tapi jika tidak kita hanya bersedih. Kita tak punya andil sama sekali pada baik buruknya akhlak mereka.

Betapa banyak orang tua yang punya banyak anak namun anak-anak itu tak mampu menjadi quratta a’yun atau penyejuk hati. Saat ingin menikmati masa senja, bukan kedamaian yang diperoleh orang tua tapi justru beban pikiran karena ulah buruk anak-anak mereka. Ada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan memiliki anak banyak namun tak satu pun anak yang mau telaten mengurusi. Ironisnya, ada orang tua yang Allah takdirkan tak punya anak namun memiliki “anak-anak” –entah keponakan atau anak angkat- yang begitu sayang dan peduli melebihi cinta seorang anak kandung.

Janganlah berkecil hati jika Allah takdirkan kita “hanya” memiliki sedikit anak. Satu, dua, sepuluh anak tidaklah menjadi penentu baik buruknya kita di mata Allah. Selama kita telah menunaikan tanggungjawab sebagai orang tua, tentu Alllah tak mengabaikan itu semua. Bersedihlah ketika kita memiliki anak (-anak) yang tak mampu kita didik menjadi anak-anak sholeh dan sholehah, yang saat kita meninggal tidak bisa mendoakan karena kebodohan mereka akan agama, yang malah sibuk memerebutkan harta warisan ketimbang memikirkan bagaimana berbakti kepada orang tuanya. Punya anak tapi bagai tak punya anak. Itulah mandul yang sebenarnya.

 

Jumat, 23 Oktober 2020

Atlet Menoreh Sejarah (1) Pelari Kulit Hitam Yang Permalukan Hitler

 

 Jesse Owens 
(source:blackhistorymonth.org.uk)

Pada 1931, International Olympic Committee (IOC) menyerahkan penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas 1936 ke Berlin- Jerman sebagai simbol kembalinya negara itu untuk masyarakat dunia paska kekalahan di Perang Dunia I . Namun, tak lama setelah mengambil alih kekuasaan sebagai Kanselir Jerman, Adolf Hitler menjadikan Olimpiade Musim Panas dan Musim Dingin tahun 1936 sebagai propaganda superioritas ras Arya dan legitimasi partai Nazi. Olimpiade ini juga pertama kali diliput televisi hingga dapat disaksikan di seluruh dunia. Untuk itu, Hitler tak segan menyediakan dana yang besar agar Olimpiade Berlin menjadi Olimpiade modern terbesar.

Alih-alih menjadi kompetisi yang menyatukan banyak ras dan budaya, pada April 1934 Hitler malah melarang orang Yahudi dan kulit hitam mengikuti ajang olahraga internasional itu, termasuk melarang atlet Olimpiade lompat tinggi Jerman, Gretel Bergmann, yang berkulit gelap turut serta.  Saat Olimpiade resmi dibuka pada 1 Agustus 1936, ada 18 atlet Afrika-Amerika yang berkompetisi saat itu termasuk Jesse Owens, yang berdarah Afrika-Amerika.

Tak disangka, Owens sukses besar dengan menyabet 4 medali emas. Pada nomor bergengsi lari 100 meter yang juga disaksikan langsung oleh Hitler, Owens menyabet gelar juara dengan catatan waktu 10,3 detik. Pada nomor 200 meter, ia memecahkan rekor dunia dengan 20,7 detik.  Di nomor estafet 400 meter, Owens dan kawan-kawannya pun sukses meraih emas. Pada nomor lompat jauh, Owens bahkan mengalahkan atlet Jerman, Luz Long. Rekor tersebut tak terpecahkan selama 25 tahun.

Prestasi Owens tentu saja merupakan tamparan keras bagi Hitler sekaligus mematahkan supremasi atlet-atlet kulit putih Jerman. Setelah Owens memenangkan medali pertamanya, Hitler tidak memberikan selamat kepadanya dan hanya berjabat tangan dengan atlet peraih emas dari Jerman.  Owens dan para atlet Olimpiade Afrika-Amerika lainnya diremehkan oleh sebuah surat kabar Nazi yang melabeli mereka sebagai "pembantu hitam" dari tim Amerika.

Meski tak mendapat ucapan selamat langsung dari Hitler, selama di Jerman Owens mendapat perlakuan yang sama dengan tim atau atlet berkulit putih. Ironisnya, saat kembali ke Amerika, Owens sama sekali tidak mendapat penghormatan layaknya pemenang Olimpiade, tidak diundang ke Gedung Putih dan tidak diberikan penghargaan sebagaimana atlet kulit putih lainnya oleh Presiden Franklin D. Roosevelt. Padahal, dari total 11 emas yang diperoleh Amerika saat itu, 6 di antaranya disumbangkan oleh para atlet kulit hitam.

Setelah keikutsertaannya dalam Olimpiade Berlin, Owens penisun dari profesi atletnya dan memilih untuk memanfaatkan kemampuan fisiknya untuk mencari uang. Ia “berlomba” dengan mobil dan kuda untuk memperlihatkan kecepatan larinya. Owens lalu menemukan passion-nya dalam bidang public relations dan marketing. Ia menekuni bisnisnya di Chicago Illinois dan acapkali menjadi pembicara dalam beragam pertemuan bisnis di berbagai belahan dunia.

Owens meninggal pada 31 Maret 1980 karena kanker paru-paru. Film tentangnya dibuat pada 2016 berdasarkan hasil konsultasi dengan ke-tiga putri Owens. Film berjudul Race itu dibintangi Stephan James yang berperan sebagai Jesse Owens.

Sumber: kumparan.com, biography.com

 

Selasa, 30 Juni 2020

Seteru Tak Berujung, Cebong Versus Kampret


Hayooo.. udah di-unfollow belum?” isi status seorang teman di akun sosial medianya. Saya bertanya-tanya, meng-unfollow siapakah? Belakangan saya baru ngeh kalau yang dimaksud adalah berhenti mengikuti akun sosial media seorang publik figur yang selama ini dikenal dengan aktivitas sosialnya. Beberapa hari lalu, si public figur mengunggah fotonya dengan Pak Presiden dengan caption puja-puji, “Aku kecewa.... ternyata dia cebong.” komentar orang-orang di status teman saya itu. Ternyata, itu maksudnya. Meng-unfollow karena sang idola ternyata pengagum tokoh yang bukan tokoh dukungannya.

Masih Berlanjut?
Tadinya, saya berpikir kalau perseteruan kecebong- sebutan untuk pendukung nomor 01 Jokowi dan kampret- sebutan untuk pendukung nomor 02 Prabowo di Pilpres lalu akan berakhir setelah pesta demokrasi itu usai. Ternyata tidak. Media sosial tetap ramai dengan para pendukung masing-masing (calon) presiden yang seperti tak lelah saling hujat, saling jelek menjelekkan.
Setiap kali pemerintah membuat sebuah kebijakan atau ada kejadian apapun yang berhubungan dengan pemerintahan saat ini, netizen nonpendukung 01 akan ramai mengomentari. Jika sudah begitu, pendukung Pak Pres akan balik membalas dengan tak kalah nyinyirnya.  Belum lagi jika buzzer, konon dibayar untuk menaikkan dan menjaga citra tokoh dukungannya, juga ikut menjelekkan tokoh yang dianggap bersebrangan dengan dukungannya itu.  Rasanya dunia maya makin hiruk pikuk saja.

Pilihan Pribadi
Tentu saya pun punya pilihan saat Pilpres lalu. Ketika jagoan saya tidak menang, rasa kecewa pasti ada. Satu hal, saya tidak lantas menjadi orang yang selalu menganggap apa yang dilakukan pemerintah itu buruk atau sebaliknya.  Saya mencoba untuk tetap subjektif: mengkritik di media sosial jika memang saya merasa perlu diperbaiki dan dikritisi, jika baik ya saya apresiasi. Setidaknya saya tidak berkomentar yang tak perlu. Apalagi jika saya tak terlalu paham duduk perkaranya.
Teman-teman saya di media sosial juga bermacam-macam dan sudah pasti tak selalu satu dukungan dengan saya. Buat saya, itu tak masalah. Selama mereka tidak menjelekkan siapapun, tidak menyerang fisik seseorang atau sesama pendukung dan tidak mengungkit isu SARA, buat saya syah-syah saja jika mereka memuja-muji orang yang didukungnya. Walaupun mungkin bagi saya terkesan berlebihan dan sangat subjektif, tapi memang begitu kan sikap kita pada idola pada umumnya? Saya pun pasti akan cenderung mengunggah sisi-sisi positif saja dari tokoh atau idola saya itu.

Soal Pribadi
Kembali ke soal artis sekaligus YouTuber yang mendadak di-unfollow banyak orang karena unggahannya itu, kenapa harus begitu? Jika memang ia pendukung salah satu, lalu menulis caption penuh pujian, apa salahnya? Pujiannya terkesan berlebihan dan nggak sesuai kenyataan? Ya sudah.. Wajar rasanya seseorang memuji orang yang ia idolakan.
Secara pribadi, saya melihat dia bukan artis bermasalah. Setidaknya, isi kontennya positif, bahkan menginspirasi banyak orang untuk banyak beramal seperti dirinya. “Kesalahan” nya hanya satu: menjadi pendukung dan memuji seseorang yang kebetulan bukan orang yang banyak netizen idolakan-setidaknya netizen yang selama ini sudah kadung mem-follow dan menyukainya.
Mau meng-unfollow dia? Ya silahkan saja. Kebetulan saya memang tak punya akun instagram jadi memang tak bisa meng-unfollow siapapun haha..  Hanya saja, saya lebih suka menempatkan semua pada tempatnya. Jika teman saya pendukung seseorang yang berbeda dengan saya, namun secara pribadi dia baik, saya memilih tetap berteman dengannya no matter what. Kecuali, seperti saya bilang tadi, dia sudah menyinggung dengan menjelekkan fisik dan SARA, tanpa diminta pun saya akan memilih untuk meng-unfriend atau mejaga jarak saja dengannya dalam kehidupan nyata.



Jumat, 26 Juni 2020

Yang Datang Dan Yang (Nyaris) Hilang


Kemajuan teknologi mau tak mau akan membawa pengaruh dalam berbagai sisi kehidupan kita baik dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Makin banyaknya orang menggunakan handphone (android) misalnya tanpa disadari membawa perubahan tidak sedikit dalam hidup kita sehari-hari. Hilangnya beberapa jenis pekerjaan merupakan salah satu konsekuensi logis dari kemajuan teknologi itu. Berikut beberapa hal  yang tak lagi ada atau sulit ditemukan lagi keberadaannya karena adanya handphone (android) menurut penulis:

1.  Kartu lebaran
Foto: kompasiana.com
Dulu      : Setiap jelang hari raya toko-toko maupun supermarket biasanya menjual kartu-kartu lebaran beraneka rupa. Pembelinya membludak. Kartu-kartu ini biasanya dikirimkan kepada teman, sahabat, kerabat bahkan idola. Saya ingat, saat magang di kantor pos jelang lebaran, saya banyak menemukan kartu lebaran yang dikirimkan untuk penyanyi ibukota.
Kini       :Keberadaan handphone memungkinkan orang untuk mengirim pesan atau ucapan selamat melalui pesan singkat (SMS). Setelah ada aplikasi Whatssup (WA), kita bahkan bisa mengirim ucapan selamat dengan gambar-gambar menarik. Kartu lebaran tak lagi laku. Kalaupun masih ada yang membeli, biasanya hanya instansi-instansi tertentu saja. Kadang mereka malah membuat kartu sendiri untuk dikirimkan kepada para kolega.

2.  Telepon Umum Tunggu (TUT)
Dulu      :Sebelum handphone ada atau hanya segelintir orang yang bisa memilikinya, telepon menjadi alat komunikasi yang banyak digunakan jika ingin bercakap-cakap dengan teman atau kerabat jauh. Keberadaan TUT sangat bermanfaat. TUT biasanya berupa bilik-bilik atau kotak kaca yang banyak jumlahnya dan diberi nomor. Jika ingin menelepon, kita tinggal masuk ke salah satu bilik dan menelepon selama kita memerlukan. Setelah selesai, penjaga TUT akan menyebutkan nominal yang harus dibayar sesuai lama kita menelepon. Dibandingkan dengan telepon umum satuan, TUT lebih nyaman dan praktis karena kita tak perlu menyiapkan koin untuk menelepon atau khawatir akan kehabisan koin hingga percakapan terputus. Tempat bertelepon dalam bilik di TUT menjadi tempat ngobrol atau nge-date via telepon paling nyaman hingga sering jadi tempat nongkrong para abg di masanya. Soal diomeli karena bikin orang mengantri sih tak masalah asalkan bisa ngobrol puas di telepon tanpa khawatir bakal terdengar orang lain.
Kini       : Setelah harga handphone makin terjangkau, keberadaan TUT lama-lama tak lagi dibutuhkan. Orang tak perlu menggunakan telepon umum untuk berkomunikasi. Handphone dirasa lebih praktis dan mudah.

3.  Warung Internet (Warnet)
Foto: kaskus.co.id
Dulu      : Sebelum handphone android banyak dipakai, orang biasa mengakses internet melalui komputer di warung internet. Warnet menjadi bisnis yang sangat menguntungkan terutama jika berlokasi di sekitar kampus atau perkantoran. Biaya akses internet per jamnya pun cukup terjangkau, hanya 3000-5000 rupiah per jam. Sampai sekitar 5 tahun lalu, saya masih bisa menemukan warnet di seputaran rumah.
Kini       :Internet mudah diakses melalui hape android. Tidak perlu capek-capek pergi ke warnet. Lama kelamaan, warnet tak lagi banyak ditemukan. Kalaupun ada, biasanya menyatu dengan usaha pengetikan dan print.

4.  Koran dan Majalah
Dulu      : Koran dan majalah menjadi media yang banyak dibeli orang untuk memperoleh informasi. Jumlahnya juga banyak. Agen selalu ramai dan mereka bisa hidup makmur dari berjualan koran dan majalah saja.
Sekarang : Informasi bisa diakses sekali klik melalui handphone android. Tidak perlu capek-capek mencari penjual koran. Cukup sambil rebahan di rumah kita bisa mengakses informasi apapun di handphone kita. Koran dan majalah tak lagi jadi primadona. Banyak media cetak yang gulung tikar atau beralih ke format online walaupun tak seeksis saat dalam bentuk media cetak. Media yang masih terbit umumnya dimiliki perusahaan besar yang sudah mapan.

5.  Tukang Foto Keliling
Foto: tribunnews.com
Dulu      : Ingatkah dulu, setiap kali berkunjung ke tempat wisata hampir selalu ada para tukang foto keliling sekali jadi yang menawarkan jasanya. Kita pun dengan senang hati minta difotokan lalu membayarnya. Ada pula tukang foto yang menjepret setiap pengunjung lalu fotonya dipajang dan dijual. Jika mau, kita bisa membelinya sebagai kenang-kenangan.
Sekarang : Keberadaan tukang foto terpinggirkan setelah handphone makin terjangkau. Memfoto dengan hape lebih mudah, tidak perlu membayar lagi, bahkan kualitasnya bisa jadi lebih baik. Jika pergi ke tempat wisata, tukang foto keliling masih ada satu dua, namun tak lagi banyak dicari orang.


Rabu, 24 Juni 2020

Putri Untuk Pangeran, (Bukan) Sinetron Jiplakan


Sejak pandemi corona, saya jadi lebih sering mengakses tv. Setelah magrib, tv biasanya menyala sekedar buat menemani saya cuci-cuci piring dan beberes dapur sebelum tidur. Beberapa waktu lalu, saya melihat trailer sebuah sinetron di tv berjudul Putri Untuk Pangeran. Tak terlalu tertarik menontonnya karena saya memang bukan penggemar sinetron. Apalagi itu sinetron remaja. Tapi ketika episode pertama ditayangkan, kebetulan saya pun sedang menyetel channel tv itu. Saya tertarik karena ceritanya mengingatkan saya pada sebuah drama Taiwan yang dulu sekali sempat saya tonton, Meteor Garden (MG) dan drama adaptasi manga Jepang, Hana Yori Dango (HYD) lainnya.

Serupa Tak Sama
Di episode pertama diceritakan, Putri (Ranty Maria) sampai di sebuah kampus mewah nan megah bernama Universitas Bangsa. Gadis sederhana ini bisa berkuliah di universitas mahal itu setelah mendapat beasiswa. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa berkuliah di sana karena Putri hanya seorang anak tukang jahit. Ke kampus pun, Putri selalu membawa barang dagangan, usus goreng. Ia mendapat cibiran dari teman-temannya yang rata-rata anak orang kaya, termasuk dari  3 cewek yang tak henti mem-bully dan mengejeknya sejak pertama ia masuk kampus.
Sial baginya, di hari pertama itu ia sudah harus berurusan dengan seorang cowok ganteng tapi nyebelin bernama Pangeran (Varrel Bramasta), yang kaca mobilnya tak sengaja dia rusak.  Putri tak tahu, Pangeran dan gengnya terkenal suka berbuat onar karena cowok itu putra salah satu penyandang dana universitas tersebut.
Selanjutnya, banyak isi cerita yang mengingatkan saya pada drama lain yang pernah saya tonton di masa muda. Selain MG, ada pula adegan yang mirip dengan drama Korea Boys Before Flowers (BFF)- masih adaptasi dari cerita manga HYD yang juga diadaptasi MG. Nampaknya, penulis skenario sinetron ini mencoba untuk membuat cerita yang tak terlalu persis agar tak nampak menjiplak. Tapi tetap saja ruh ceritanya hampir sama jika ditonton seksama.  Berikut beberapa yang saya ingat:
1.     Tokoh-tokoh dalam sinetron ini di antaranya: Putri- gadis sederhana yang pemberani, Pangeran- cowok tampan yang super kaya dan 2 temannya Gio dan Atta, Rizky- cowok cool yang menjadi seteru Pangeran dan penolong Putri, Citra-satu-satunya teman Putri yang baik di kampus- dan 3 cewek seteru putri salah satunya bernama Tasya.
Yang mirip      : Karakter Putri sama persis dengan tokoh utama wanita di MG dan drama adaptasi HYD lainnya. Yang agak berbeda adalah karakter cowoknya. Jika di drama-drama itu tokoh wanita berseteru dengan geng cowok tajir dan tampan, F4, namun selalu ditolong oleh salah satu di antara mereka, di sinetron ini Putri  hanya berseteru dengan geng yang terdiri dari 3 cowok. Rizky, diceritakan, dulu adalah anggota geng sahabat itu tapi karena sesuatu hal mereka berselisih. Namun tetap Rizky ini lah yang akhirnya menjadi penolong Putri dari kejahilan geng Pangeran.

2.    Putri dengan gagah berani menghadapi Pangeran yang dengan sewenang-wenang menyuruhnya mencuci mobil, sebagai “bayaran” untuk mengganti kaca mobil yang dirusak gadis itu. Padahal selama ini, tak ada yang berani melawan geng Pangeran.
Yang mirip           : Benang merah cerita tentang cewek miskin yang berani melawan cowok ganteng dan kaya. Yang beda hanyalah penyebab cewek itu melawan.

3.    Keberanian Putri membuat Pangeran sebal dan makin marah. Berkali-kali ia mengerjai Putri dengan tujuan membuatnya tak lagi betah di kampus. Puncaknya saat Pangeran menyuruh Putri memakai “gelang” dari tali sebagai penanda bagi siapapun orang yang berani melawan dirinya. Dengan gelang itu, tak ada seorang pun yang akan berani menolong Putri, kecuali Rizky, saat ia sedang dalam kesulitan sekalipun.
Yang mirip      : Siapapun yang berani berurusan dengan geng F4 akan mendapat kartu merah. Setiap orang yang mendapat kartu itu akan jadi musuh semua orang di kampus itu. Tak akan ada yang berani menolong bahkan sekedar menyapa.

4.    Pangeran, Putri dan Tasya terjebak dalam lift yang mendadak mati. Pangeran yang ternyata memiliki fobia ruangan tertutup sangat ketakutan namun berhasil ditenangkan Putri. Karena kejadian ini, sikap Pangeran agak berubah karena merasa berutang budi pada Putri.
Yang mirip      : Adegan terjebak dalam lift- atau kereta gantung dalam BFF- adalah salah satu adegan penting dan terkenal dalam drama-drama adaptasi HYD. Bedanya, dalam drama-drama itu, hanya 2 tokoh utama yang terjebak di dalamnya. Setelah itu lah mereka jadi dekat.

5.    Putri tersenggol orang saat ia dan Pangeran sedang berselisih di depan rumah sakit. Ia jatuh ke arah Pangeran dan ditangkap cowok itu. Adegan saling pandang saat jatuh itu tertangkap kamera handphone seseorang, disebarkan di media sosial dan menjadi bahan gosip orang sekampus. Saat Putri datang ke kampusnya itu, ia keheranan karena semua orang mendadak memerhatikannya.
Yang mirip      : Adegan saat mereka beradegan “mesra tak sengaja” yang tertangkap kamera lalu disebarkan di media. Tokoh wanita jadi mendadak terkenal. Bedanya, di drama-drama adaptasi HYD kedua tokoh jadi digosipkan punya hubungan asmara.

6.    Putri dicegat dan dikerjai banyak cowok sampai ia jatuh dan barang dagangannya berantakan. Pangeran datang tiba-tiba menghajar mereka dan menggendong Putri. Saat itu lah polisi datang dan menggelandang keduanya ke kantor polisi, menganggap mereka adalah biang keonaran.
Yang mirip      : Di MG dan BFF, tokoh cowok datang menolong dan dibawa pulang ke rumahnya.

7.    Putri mengompres luka Pangeran yang baru bertengkar dengan Rizky. Namun saat melakukannya, Putri mendadak sebal hingga menyuruh Pangeran mengompres lukanya sendiri.
Yang mirip      : Di BFF, tokoh perempuan yang dikompres lalu mereka berselisih hingga tokoh cowok menyuruhnya mengompres luka sendiri.

Yang Beda
Walaupun begitu, ada pula beberapa hal yang sama sekali berbeda dari sinetron ini. Misalnya, ayah Pangeran dan ibunya Putri yang pernah punya hubungan istimewa di masa lalu, Putri yang memiliki kemampuan mendengar suara hati, karakter Tasya yang suka mengunggah apapun yang ia alami ke sosial media dan seterusnya.
Sebagai hiburan, sinetron ini bisa saja menjadi pilihan tontonan bagi remaja, yang jelas bukan saya J . Namun cerita yang mirip dengan drama-drama tadi di sana sini membuat siapapun yang tahu kemiripannya jadi merasa terganggu. Kreativitas kita sepertinya harus lebih banyak digali. Terinspirasi boleh saja tapi jika banyak miripnya, terkesan seperti menjiplak jadinya. Kita tunggu saja apakah episode-episode selanjutnya akan berbeda atau malah banyak lagi persamaannya.






Eh.. Eh.. Jangan Latah!


Beberapa bulan lalu, jahe merah dan teman-temannya sempat jadi barang langka. Kalaupun ada, harganya melambung nggak kira-kira. Di Jakarta, harga jahe merah sebelumnya dipatok pada harga 40 ribu per kilogram. Namun, saat banyak dicari,  harganya mencapai Rp100 ribu per Kg. Di luar Jawa seperti Lampung harga jahe melambung hingga 120 ribu rupiah. Harga rempah-rempah lain tak kalah mahalnya. Padahal biasanya, rempah macam kunyit dan temulawak berharga rendah, paling dibeli para ibu atau penjual jamu.
Sejak pandemi corona, permintaan bahan-bahan jamu memang merangkak naik. Penjual jamu pun tak kalah ramai diserbu pembeli. Penyebabnya, jamu dipercaya dapat meningkatkan imunitas tubuh. Imunitas tubuh yang baik, kata dokter, ampuh menangkal corona. Selain jamu-jamuan, yang juga laris manis karena dipercaya bisa meningkatkan imunitas adalah vitamin C. Vitamin C merk apapun diborong pembeli, sampai-sampai keberadaannya jadi sulit ditemui.
Walaupun sudah disampaikan kalau imunitas tak hanya bisa diperoleh dari jamu atau vitamin C, namun masyarakat sudah kadung panik atau malah latah membeli keduanya. Ketika segelintir orang ditanya reporter televisi kenapa membeli rempah dan jamu, mereka mengaku; “Katanya bisa menangkal corona. Ya sudah saya ikutan beli.”  Karena sekedar ikut-ikutan, trend memborong rempah dan vitamin C dengan cepat berlalu. Sebagian orang yang memang tak terbiasa mengonsumsinya tak lagi membelinya. Permintaan konsumen pada aneka rempah, jamu dan semacamnya ikut menurun.

Yang Penting Ikut
Latah juga berlaku di dunia bisnis. Saat es kepal milo banyak mengundang pembeli, mendadak sangat banyak orang berjualan produk serupa dan banyak pula yang laris manis!. Soal rasa, tak usah sama dengan yang “asli”. Yang penting jual es kepal, itu saja sudah jaminan laku. Jelas, pembelinya juga sukanya ikut-ikutan coba-coba sih. Tak ikutan mencoba yang sedang trend rasanya ketinggalan. Tak masalah jika yang dibeli produk ala-ala, tak sebagus kualitas aslinya.
Masih ada? Ketika Kopi Janji Jiwa booming dan jadi hits di kalangan anak muda, sesaat kemudian bermunculan kopi dengan merk serupa, menggunakan merk yang unik dan simpel namun terdengar menarik di telinga anak muda. Begitupun saat minuman boba- minuman dengan bola-bola tapioka- banyak dicari, bermunculan lah kedai-kedai minuman jenis ini dengan beragam merk. Walaupun ada yang melakukan modifikasi dengan membedakan rasa dan bahan, namun ide awalnya tetap sama, menggunakan boba.
Ada lagi fenomena latah melakukan hal tertentu. Misalnya saat orang ramai-ramai berteriak “om telolet om” dari pinggir jalan  ketika bis melintas, meminta sopir membunyikan klakson. Awalnya, teriakan itu biasa diucapkan oleh anak-anak di pinggir jalan ketika sebuah bus melintas, dengan harapan sopir akan membunyikan klakson yang unik berbunyi  "telolet telolet". Namun ini mendadak jadi populer setelah beberapa DJ terkenal mencuitkannya di Twitter.  Akhirnya, tak hanya anak-anak yang kemudian ramai melakukannya tapi juga orang dewasa, bahkan videonya banyak diunggah ke sosial media. Para netizen merasa seru melihat ekspresi kegembiraan ketika orang berhasil meminta supir membunyikan klakson dengan lambaian tangan dan teriakan, "Om telolet ommmmmm!" beramai-ramai.

Latah Positif Atau Negatif
Agaknya fenomena latah, saling meniru ini atau sekedar ikut ini sudah menjadi hal biasa di masyarakat kita.  Latah untuk  hal serius sampai remeh temeh.  Umumnya, orang yang sekedar latah melakukan sesuatu bukan karena kepahaman atau ilmu. Tak merasa perlu tahu apa manfaat melakukan itu. Yang penting orang-orang sedang banyak melakukannya, lalu ikut saja.
Karena latah semata, saat orang tak lagi melakukan hal itu, ia pun akan berhenti melakukannya walaupun mungkin apa yang ditinggalkan itu berefek positif. Contohnya kebiasaan mengonsumsi jamu atau vitamin C tadi. Jika paham itu bermanfaat bagi kesehatan, tentu tak perlu menunggu corona untuk rutin mengonsumsinya apalagi sekedar memborong lalu membiarkannya saja.
Peran sosial media memang sangat besar, termasuk televisi, untuk menjadikan sesuatu sebagai trend.  Yang banyak terimbas tentunya anak-anak dan remaja yang cenderung masih mudah mengikuti saja apa yang dilakukan lingkungannya atau apa yang dilihatnya di sosial media.
Bagi para pelaku bisnis, mengekor apa yang sedang trend mungkin jadi salah satu pertimbangan agar mudah mendapat keuntungan. Ini memang syah saja dilakukan. Namun ketika produk yang dijual tak lagi punya identitas pribadi dan pemilik enggan melakukan inovasi, sekedar latah saat berbisnis hanya akan membuat bisnis tak bertahan lama. Ya, karena kita tak tahu mengapa membuka bisnis itu dan lantas tak punya strategi untuk mempertahankannya.
Jika tak ingin dicap latah, selalu cari tahu lebih jauh sebelum memutuskan untuk mengikuti atau melakukan apa yang sedang trend. Benarkah ada manfaatnya? Apakah ada manfaatnya untuk kita? Apakah kita tak punya pilihan selain mengikutinya? Jika tak ada, ya tak usah ikut-ikutan apalagi merasa ketinggalan zaman ketika tak melakukannya.

Senin, 22 Juni 2020

Kamu Kena Prank!

Sumber:sukabumiupdate.com

Wanita itu marah besar dan menangis, melihat anak laki-lakinya mendadak bertato!. Sang ayah yang seorang selebriti itu pun ikut marah dan tak kalah terkejutnya. Dengan mimik tak berdosa, sang anak berkilah “Ini hanya ekpresi seni, Ma.” katanya. Puncaknya, sang Mama mengusir si anak karena perbuatannya itu. Melihat itu, sang anak akhirnya mengaku kalau tato itu hanya tempelan dan bisa hilang. Sang Mama kena prank!
Adegan di atas menjadi salah satu konten channel YouTube anak seorang selebriti terkenal, telah ditonton jutaan kali dan banyak yang memberi jempol tanda suka. Jika diperhatikan, tak hanya dia yang pernah mengunggah konten serupa. Prank nampaknya menjadi salah satu ide konten andalan. Mudah menarik penonton, kemungkinan besar akan disukai banyak orang dan akhirnya menggiring mereka untuk meng-subscribe. Inilah yang dicari, popularitas dan follower yang banyak. Tak peduli isinya hanya mengekor atau berakibat fatal, siapa peduli?
Masih ingat kasus sembako sampah yang dilakukan Ferdian Paleka? Youtuber muda ini membagikan “bingkisan” kepada para waria di sebuah jalan di Bandung. Setelah dibuka, isinya ternyata sampah, yang salah satu pelapor sebutkan berisi tauge busuk dan batu-batu. Ironisnya, Ferdian mengaku itu hanya prank yang diunggah untuk konten YouTube-nya. Walaupun sempat ditangkap dan ditahan, Ferdian dan teman-temannya itu akhirnya dibebaskan.

Awal Mula Prank
Jika ditelusuri, prank mulai ada di barat sana sejak tahun 70-an dalam bentuk prank call atau crank call, dilakukan dengan menelepon seseorang dengan maksud mengerjai. Yang ditelepon bisa publik figur baik selebriti dan tokoh-tokoh penting  atau nonselebriti. Di Indonesia, konsep ini diadopsi oleh sebuah radio swasta kemudian dibuat program TV-nya dengan konsep serupa bernama Ups Salah. Bertahan cukup lama, program ini berhasil mengerjai banyak orang juga selebriti hingga tak jarang mereka menangis dan marah. Saat itulah para kru akan keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghampiri korban sambil berseru “Ups, salah!”
Sementara di televisi, program TV berkonsep prank yang cukup digemari dibuat oleh MTV dan Aston Kutcher sebagai host. Program bernama Punk’d itu awalnya hanya menyasar orang umum. Namun candaan mereka membuat salah satu korban tak terima hingga mereka dituntut ke pengadilan. Konsep program kemudian berubah, mengerjai selebriti sementara host akan mengawasi melalui layar di satu tempat tersembunyi. Saat target mulai marah, kesal dan bingung, host akan muncul menghampiri sambil berseru, “You got punked!
Entah siapa yang memulai, prank kemudian mulai mengisi konten-konten YouTube para selebriti atau YouTuber dengan banyak pengikut. Bentuk prank bisa bermacam-macam dengan “korban” beragam.  Umumnya mengerjai orang-orang terdekat seperti anak, asisten, manager, bahkan orang tua. Ada pula yang mengerjai namun dengan maksud memberi kejutan misalnya memesan makanan melalui aplikasi, pura-pura tak memesan dan menolak membayar hingga pengantar bingung dan kesal. Saat itulah pelaku prank memberitahu ia hanya berpura-pura, membayar dan memberi uang lebih, bahkan memberikan makanan yang dipesan kepada pengantar.
Aksi kejahilan ini juga merambah televisi kita. Setelah prank call ala program Ups Salah tak lagi tayang, Tim Kreatif program-program Tv mulai melakukan aksi prank yang “dikemas” lebih serius. Ada yang bahkan  bekerja sama dengan pihak kepolisian, berpura-pura menginspeksi tas para pemain dan menuduh salah satu dari mereka sebagai pemakai narkoba!. Padahal sebelumnya, bubuk yang sebenarnya garam itu memang telah dimasukkan ke tas yang bersangkutan. Aksi ini bahkan dilakukan saat program tayang secara live.

Cuma Bercanda?
Walaupun dimaksudkan sebagai bentuk candaan, mengerjai  dan sekedar lucu-lucuan, menurut saya prank jadi condong pada sebuah kebohongan bahkan banyak yang lepas kontrol tanpa memikirkan akibatnya. Yang penting menghibur, tak peduli walaupun korban yang dikerjai sedih, kaget, marah atau sampai pucat pasi.
Tapi, pernahkah terpikir akibat aksi itu pada korban? Maksudnya hanya bergurau kalau “kamu bukan anak mama papa”. Namun saat si anak sudah merasa terpukul dan sedih, sejurus kemudian orang tuanya bilang, “cuma prank”. Pernahkah terpikir bagaimana perasaan si anak dikerjai seperti itu? Belum lagi anak akan berpikir kalau membohongi dengan maksud bercanda adalah syah-syah saja.
Saya pernah menonton konten YouTube seorang selebriti yang bermaksud menge-prank anaknya, mengabarkan kalau anaknya itu hanya anak pungut. Lucunya si anak tak percaya bahkan berkata, “Papa mama kan selama ini dikenal suka nge-prank. Aku nggak percaya, Jangan-jangan ini juga cuma prank.”  Saya membayangkan, betapa tak berwibawanya orang tua jika sudah dicap anak seperti itu. Bahkan ketika kita nampak serius dan berbicara hal yang juga serius, anak sendiri tak percaya karena menganggap itu hanya prank atau candaan!
Ketika aksi kejahilan ini diunggah ke sosial media atau televisi dan ditonton banyak orang, siapa menjamin kalau tak ada anak-anak dan remaja yang menontonnya? Ini malah menjadi inspirasi keburukan bagi mereka, menganggap kalau mengerjai atau membohongi siapapun tidak masalah. Tercatat aksi-aksi prank yang dilakukan masyarakat umum, tentunya karena terinspirasi oleh apa yang mereka lihat di media.  Seorang wanita di Bone Makasar misalnya berpura-pura sesak nafas dan kejang-kejang, mengaku terkena covid 19. Karuan saja para tenaga medis di rumah sakit panik. Belakangan, wanita itu mengaku kalau itu hanya prank!. Malang, akibat perbuatannya mengerjai orang itu, ia harus berurusan dengan polisi. Kalau sudah begini, apakah masih bisa disebut bercanda dan menghibur?

Tidak Kebablasan
Walaupun hanya bermaksud untuk bercanda, hendaknya konten prank tidak kebablasan. Hindari ide prank yang terkesan menghina, melecehkan, merendahkan atau menakuti. Bahkan jika bisa, lebih baik cari saja ide konten yang lebih kreatif dan bermanfaat. Jangan sekedar mencari jempol dan pengikut karena apapun yang kita lakukan tentu harus bisa kita pertanggungjawabkan kepada yang Maha Kuasa.
Lebih jauh lagi, pelaku dan media yang melakukan aksi ini sebenarnya tengah membangun budaya gemar dibohongi dalam masyarakat lalu menganggapnya sebagai hiburan semata. Tahu bahwa itu bohong, tapi kita malah menikmati bahkan memberi like dan subscribe.
Saya yakin, prank bukan satu-satunya ide konten yang bisa menarik penonton dan disukai. Banyak YouTuber yang digemari karena konten positif mereka bukan semata karena sensasi apalagi aksi jahil semata. Jika pun hendak memberi kejutan positif, apakah harus selalu didahului aksi prank?








Minggu, 21 Juni 2020

Majalah Annida, Kenangan Pada Sebuah Majalah Islami

Sumber: bukalapak.com
Masih ingatkah pada Majalah Annida? Majalah remaja ini terbit pertama kali pada 1991. Awalnya, rubrik-rubrik Annida memfokuskan pada permasalahan seputar wanita sebagai wujud kepedulian pada muslimah Indonesia yang makin minim wawasan keislamannya. Pada tahun ketiga, barulah Annida tampil dengan gaya baru, memfokuskan diri ke  segmen pasar remaja yang dirasa makin jauh dari nilai-nilai Islam.

Agar dapat tampil menarik bagi kaum muda, Annida mengganti beberapa rubriknya agar tampil lebih “remaja”dengan menampilkan cerita atau kisah sebagai andalan. Motto Annida berubah menjadi “Seri Kisah-Kisah Islami”. Melalui cerita, Annida meniyisipkan nilai-nilai dan pesan keislaman tanpa harus terkesan menggurui. Berdakwah lewat tulisan, begitu Annida mengistilahkan.

 Pada tahun 2000, rubrikasi Annida semakin beragam dan tak hanya berfokus pada cerita atau kisah. Rubrik-rubrik baru bermunculan seperti : konsultasi remaja, profil remaja berprestasi, komik, opini lelaki dalam 1269 male, dan sebagainya.  Motto Annida pun berubah menjadi ‘’Sahabat Remaja Berbagai Cerita’’. Annida berusaha menjadi teman remaja islam yang aktif, kreatif, gaul namun tetap menomorsatukan syari’at islam. Kompetisi rutin yang sempat diadakan majalah ini adalah Lomba Menulis Cerpen Pendek Islami (LMCPI)  yang melahirkan para penulis handal di kemudian hari seperti Asma Nadia serta Lomba Remaja Berpestasi.  Belakangan, Annida menjadi majalah remaja yang lebih nyastra.

Majalah ini sempat mengalami masa jaya pada akhir 90 sampai 2000-an dengan oplah hingga 100.000 eksemplar per bulan.  Saat itu, Helvy Tiana Rosa menjadi pemimpin redaksinya, dan Annida terbit sebulan 2 kali. Jika awalnya hanya beredar dan dikenal di kalangan anak-anak rohis, majalah ini mulai beredar luas dan nangkring di lapak penjual koran dan majalah. Ikon majalah Annida, seorang remaja aktif dengan jilbab lebar dan melengkung di ujung, si Nida, amat dikenal dan cerita khusus tentangnya sempat dibukukan.

Namun sekitar tahun 2004, Annida memutuskan untuk berhenti mengedarkan edisi cetak dan beralih ke online. Salah satu pertimbangan redaksi, ingin menghemat penggunaan kertas sebagai salah satu bentuk kepedulian pada lingkungan. Namun di media online, mereka mengakui kalau hal itu merupakan salah satu cara bagi mereka untuk bertahan menghadapi persaingan dengan media cetak lainnya. Beralamat di www.annida-online.com , rubrik-rubrik di edisi online ini hampir mirip dengan edisi cetak.

Annida sempat kembali muncul edisi cetaknya namun terbit 3 bulan sekali. Annida cetak versi baru ini muncul dengan tampilan mewah dengan kertas lux dan berwarna, bercover seleb terkenal. Mungkin agar bisa bersaing dengan majalah remaja lain. Konsekuensinya, harga Annida menjadi lebih mahal. Sayangnya, Annida versi ini hanya bertahan hingga 4 edisi. Annida edisi online pun tak selalu se-up to date saat awal muncul.  Rubrik cerpen dan cerbung yang jadi andalan seringkali tidak berganti padahal sudah berbulan-bulan. Kini,Annida edisi online ini pun sudah tak tayang lagi.

Kebanjiran Naskah

Sebagai satu-satunya majalah remaja islam yang banyak memuat cerita-cerita fiksi islami, Annida memiliki peran penting dalam perkembangan kepenulisan cerita islami di Indonesia. Jika sebelumnya, remaja muslim hanya mendapat pengalaman membaca cerita dari majalah-majalah umum, melalui Annida mereka mulai memperoleh wawasan baru. Banyak nilai yang mungkin secara tak sadar mereka serap dari membaca cerita-cerita di majalah Annida.

Animo yang besar itu tak hanya nampak dari tiras majalah yang tinggi namun juga dari banyaknya naskah cerita yang masuk setiap bulannya. Saya ingat, membaca tulisan redaksi yang kebanjiran naskah termasuk untuk LMCPI yang diadakan setiap tahun. Annida sampai merasa perlu untuk membuka rubrik baru seperti Bengkel Nida yang membahas tentang tips menulis cerita atau kolom khusus yang diasuh penulis senior untuk membedah salah satu cerita yang dimuat di Annida edisi yang sama.

Melalui Annida, banyak para penulis yang memulai karier menulisnya di majalah ini sebelum dikenal dan naskahnya beredar di banyak media atau buku. Ada pula yang sebelumnya sudah menjadi penulis namun merasa menemukan wadah yang tepat ketika menulis di majalah tersebut.  Cerpen fenomenal Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa misalnya dimuat pertama kali di majalah Annida pada 1993. Sebelum akhirnya diangkat ke layar lebar, cerpen ini dan cerpen Helvy lainnya dibukukan oleh Annida, berhasil naik cetak puluhan kali dan dicetak dalam jumlah sangat banyak. Cerpen Asma Nadia di awal karir menulisnya Jodoh Untuk Ajeng, Koran Gondrong dan Imut juga “ditemukan” majalah Annida dan menjadi juara dalam Lomba Menulis Cerita Pendek yang diselenggarakan majalah itu.  Nama-nama lain yang juga awalnya dikenal melalui majalah ini adalah Afifah Afra, Sinta Yudisia, Maya Lestari GF dan sebagainya.

Jangan lupa, Annida juga menjadi salah satu wadah bagi para penulis yang tergabung dalam organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia, Forum Lingkar Pena (FLP), untuk memuat karya-karyanya. Organisasi yang diinisiasi oleh Helvy Tiana Rosa, Muthmainnah dan Asma Nadia pada 1997 ini menjadi tempat berkumpulnya penulis muda dan lama, yang kemudian seolah tak terpisahkan namanya dari Annida. Majalah ini memang berperan besar dalam perkembangan FLP di kemudian hari: memuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana untuk merekrut anggota baru. Helvy, dalam bukunya Segenggam Gumam bercerita, ada 2000 orang yang mendaftar melalui Annida saja.

Setelah ini, terbit banyak novel islami dan juga sempat menjadi booming di awal 2000-an. Saat itu, banyak penerbit yang juga ikut-ikutan menerbitkan novel genre ini. Tentunya, ini menjadi wadah baru bagi para penulis untuk menerbitkan karya mereka agar dikenal lebih luas.

 

Berubah Lalu Menghilang

Sayangnya, menurut saya, saat sedang digandrungi Annida malah beralih haluan menjadi majalah yang lebih dewasa, bernuansa sastra. Saya sempat mengikuti beberapa edisinya. Ada rubrik bahasan utama dengan tema yang lebih ‘serius’ dibandingkan bahasan di majalah Annida edisi awal dan tak lagi banyak membahas tentang dunia remaja. Saya merasa, Annida versi nyastra ini terasa lebih mature. Mungkin memang terasa greget untuk sebagian pembaca tapi karena segmen pasarnya tak berubah, rasanya isi Annida yang seperti itu jadi terasa seperti kehilangan ruhnya yang dulu.

Cover majalah yang semula gambar ilustrasi, berubah menjadi foto model. Bagi saya yang sejak awal mengikuti Annida malah merasa kurang sreg. Bisa jadi, redaksi ingin mengubah tampilan agar berbeda atau untuk menyamakan dengan majalah remaja lain. Namun menurut saya, menampilkan cover foto model perlu effort lebih besar misalnya perlu memikirkan pemilihan model, make up, lighting, kostum maupun kualitas foto yang tepat dan baik.  Dibandingkan dengan majalah serupa, Annida jelas kalah saing karena majalah remaja umum memiliki kemampuan yang lebih profesional selain kualitas kertas majalah yang lebih baik juga kualitas fotonya.

Ketika beralih ke media online, sebenarnya Annida punya peluang untuk tetap memiliki banyak pembaca. Sayangnya, Annida nampak tak seserius saat menggarap versi cetak, entah karena kendala apa. Isi rubrik yang sering tak up-to-date atau tampilan yang kurang eye catching dapat menjadi sebab pembaca “lari”. Bisa pula karena tak semua pembaca memiliki akses internet-saat itu belum marak hape android- atau bukan tipe yang suka membaca via layar seperti saya. Akhirnya, Annida makin kehilangan pembaca yang mungkin awalnya hendak setia namun gigit jari karena banyak kecewa atau kendala lainnya.

Kini, majalah Annida hanya tinggal kenangan. Saya masih memegang beberapa edisi yang memuat karya saya: tulisan dan surat pembaca J Selebihnya, koleksi saya dihibahkan ke perpustakaan sekolah. Saya yakin, masih banyak mantan pembaca Annida lama yang merindukan munculnya Annida kembali. Walaupun mungkin agak sulit terealisasi karena trend pembaca (remaja) saat ini sudah berubah, namun kekangenan pada cerpen berkualitas dengan sisipan nilai dan pesan keislaman tetap ada. Ini tak tergantikan dengan membaca buku bernuansa religi. Walaupun telah “tiada”, namun peran Annida dalam perkembangan penulisan cerita islami perlu dikenang sebagai hal yang berharga.