Rabu, 07 November 2012

Memutuskan Menikah Muda..



Foto : duniaislammodern.blogspot.com

Saya selalu salut dengan mereka yang memilih untuk menikah di usia muda. Maksudnya mereka yang berani menikah di bawah umur 25 tahun, selepas SMU atau di masa kuliah misalnya. Saya salut karena saya pribadi dulu tidak bercita-cita untuk menikah muda. Cita-cita saya dulu, menikah minimal setelah skripsi he..he..
Buat saya, menikah adalah tambahan tanggungjawab. Orang boleh tidak setuju. Tapi itulah yang saya pahami tentang pernikahan dulu. Jadi, terbayang kalau saya harus jadi istri dan ibu-dengan seabreg tugas-tugasnya- dan di saat yang sama saya pun menjadi mahasiswi-dengan seabreg kewajibannya juga. Berat..
Tambahan lagi, gambaran tentang pernikahan selepas sekolah atau saat kuliah yang saya lihat, tak selalu bagus menurut saya. Saya punya teman yang menikah di tingkat 2. Tak lama setelah menikah, ia pun hamil. Hamilnya ternyata agak bermasalah. Saat hamil muda, ia masih memaksakan diri kuliah. Tapi akibatnya dia kena flek dan dokter mengharuskannnya bedrest..Mungkin karena kelamaan bedrest, akhirnya kuliah teman saya ini terhenti di tingkat 2. Sayang memang..Tapi itulah pilihan..
Teman saya yang lain menikah saat masih kuliah juga. Padahal tinggal skripsi saja. Akhirnya, skripsinya tak sempat selesai karena keburu punya anak. Saya amat sayangkan juga karena ibaratnya tinggal selangkah lagi dia mengakhiri “perjuangannya”.
Tentu saja, tak semua pernikahan muda usia seperti itu. Banyak figur lain yang sukses menyeimbangkan perannya di rumah tangga dan di kampus. Meskipun memang perjuangan dan godaan untuk menyelesaikan kuliah bagi mereka yang sudah menikah, konon lebih berat. Adanya tambahan kewajiban, mencari nafkah untuk laki-laki dan di rumah tangga untuk perempuan, membuat waktu untuk memperhatikan perannya sebagai mahasiswa/i agak berkurang. Tapi toh banyak juga yang berhasil melewati itu semua. Kuliah kelar, rumah tangga lancar..
Saya tak antipati pada mereka yang menikah selepas sekolah atau saat kuliah. Tapi, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Di antaranya, jangan memutuskan menikah karena keburu nafsu. Tanyakan pada diri sendiri, apakah benar saya siap untuk menikah?. Ini bukan semata masalah maisyah atau nafkah ya..karena rezeki bisa dicari. Tapi lebih ke siap secara mental.
Jangan bilang, kalau teman saya bisa kenapa saya enggak? Menurut saya, setiap orang memiliki kesiapan dan kematangan kepribadian yang berbeda. Tak bisa dipukul rata semua orang pasti bisa. Saya misalnya, pas kuliah tingkat 2 lagi semangat-semangatnya berorganisasi, cari pengalaman dan jalan-jalan ke sana-kemari. Nggak kepikiran buat menikah. Kayaknya bakal beban banget kalau saya menikah saat itu. Tapi teman saya di usia yang sama dengan saya sudah lebih matang hingga saat menikah pun dia sudah  lebih siap.
 Jika secara mental memang telah siap, saya yakin sesulit apapun situasi yang dihadapi pasca menikah, keluhan atau rasa berat saat menjalani pernikahan akan dapat diminimalkan. Kita pun akan lebih lapang menjalaninya karena kita sadar itulah konsekuensi, tanggung jawab dari sebuah pernikahan.
Lalu, jangan lupa menyosialisasikan keputusan itu kepada orang tua. Mungkin orang tua punya keinginan dan harapan sendiri pada anaknya. Misalnya, ingin anak lulus dulu baru menikah. Jika orang tua tidak setuju tapi kita tetap ingin menikah karena ingin menjaga diri, berusahalah untuk membicarakan hal ini dengan  cara yang baik. Terus berusaha dan berdoa agar hati orang tua terbuka dan izin pun keluar.
Menikah muda atau tidak, kadang hanyalah sebuah pilihan. Tapi, saya percaya bahwa Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita. Saya diberi Allah jodoh saat telah lulus kuliah dan sudah bekerja. Ya..karena saya sendiri memang sudah siap saat itu. Intinya, ketika kita memutuskan sesuatu, jalani dengan penuh tanggung jawab. Wallahua’lam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar