Minggu, 21 Juni 2020

Majalah Annida, Kenangan Pada Sebuah Majalah Islami

Sumber: bukalapak.com
Masih ingatkah pada Majalah Annida? Majalah remaja ini terbit pertama kali pada 1991. Awalnya, rubrik-rubrik Annida memfokuskan pada permasalahan seputar wanita sebagai wujud kepedulian pada muslimah Indonesia yang makin minim wawasan keislamannya. Pada tahun ketiga, barulah Annida tampil dengan gaya baru, memfokuskan diri ke  segmen pasar remaja yang dirasa makin jauh dari nilai-nilai Islam.

Agar dapat tampil menarik bagi kaum muda, Annida mengganti beberapa rubriknya agar tampil lebih “remaja”dengan menampilkan cerita atau kisah sebagai andalan. Motto Annida berubah menjadi “Seri Kisah-Kisah Islami”. Melalui cerita, Annida meniyisipkan nilai-nilai dan pesan keislaman tanpa harus terkesan menggurui. Berdakwah lewat tulisan, begitu Annida mengistilahkan.

 Pada tahun 2000, rubrikasi Annida semakin beragam dan tak hanya berfokus pada cerita atau kisah. Rubrik-rubrik baru bermunculan seperti : konsultasi remaja, profil remaja berprestasi, komik, opini lelaki dalam 1269 male, dan sebagainya.  Motto Annida pun berubah menjadi ‘’Sahabat Remaja Berbagai Cerita’’. Annida berusaha menjadi teman remaja islam yang aktif, kreatif, gaul namun tetap menomorsatukan syari’at islam. Kompetisi rutin yang sempat diadakan majalah ini adalah Lomba Menulis Cerpen Pendek Islami (LMCPI)  yang melahirkan para penulis handal di kemudian hari seperti Asma Nadia serta Lomba Remaja Berpestasi.  Belakangan, Annida menjadi majalah remaja yang lebih nyastra.

Majalah ini sempat mengalami masa jaya pada akhir 90 sampai 2000-an dengan oplah hingga 100.000 eksemplar per bulan.  Saat itu, Helvy Tiana Rosa menjadi pemimpin redaksinya, dan Annida terbit sebulan 2 kali. Jika awalnya hanya beredar dan dikenal di kalangan anak-anak rohis, majalah ini mulai beredar luas dan nangkring di lapak penjual koran dan majalah. Ikon majalah Annida, seorang remaja aktif dengan jilbab lebar dan melengkung di ujung, si Nida, amat dikenal dan cerita khusus tentangnya sempat dibukukan.

Namun sekitar tahun 2004, Annida memutuskan untuk berhenti mengedarkan edisi cetak dan beralih ke online. Salah satu pertimbangan redaksi, ingin menghemat penggunaan kertas sebagai salah satu bentuk kepedulian pada lingkungan. Namun di media online, mereka mengakui kalau hal itu merupakan salah satu cara bagi mereka untuk bertahan menghadapi persaingan dengan media cetak lainnya. Beralamat di www.annida-online.com , rubrik-rubrik di edisi online ini hampir mirip dengan edisi cetak.

Annida sempat kembali muncul edisi cetaknya namun terbit 3 bulan sekali. Annida cetak versi baru ini muncul dengan tampilan mewah dengan kertas lux dan berwarna, bercover seleb terkenal. Mungkin agar bisa bersaing dengan majalah remaja lain. Konsekuensinya, harga Annida menjadi lebih mahal. Sayangnya, Annida versi ini hanya bertahan hingga 4 edisi. Annida edisi online pun tak selalu se-up to date saat awal muncul.  Rubrik cerpen dan cerbung yang jadi andalan seringkali tidak berganti padahal sudah berbulan-bulan. Kini,Annida edisi online ini pun sudah tak tayang lagi.

Kebanjiran Naskah

Sebagai satu-satunya majalah remaja islam yang banyak memuat cerita-cerita fiksi islami, Annida memiliki peran penting dalam perkembangan kepenulisan cerita islami di Indonesia. Jika sebelumnya, remaja muslim hanya mendapat pengalaman membaca cerita dari majalah-majalah umum, melalui Annida mereka mulai memperoleh wawasan baru. Banyak nilai yang mungkin secara tak sadar mereka serap dari membaca cerita-cerita di majalah Annida.

Animo yang besar itu tak hanya nampak dari tiras majalah yang tinggi namun juga dari banyaknya naskah cerita yang masuk setiap bulannya. Saya ingat, membaca tulisan redaksi yang kebanjiran naskah termasuk untuk LMCPI yang diadakan setiap tahun. Annida sampai merasa perlu untuk membuka rubrik baru seperti Bengkel Nida yang membahas tentang tips menulis cerita atau kolom khusus yang diasuh penulis senior untuk membedah salah satu cerita yang dimuat di Annida edisi yang sama.

Melalui Annida, banyak para penulis yang memulai karier menulisnya di majalah ini sebelum dikenal dan naskahnya beredar di banyak media atau buku. Ada pula yang sebelumnya sudah menjadi penulis namun merasa menemukan wadah yang tepat ketika menulis di majalah tersebut.  Cerpen fenomenal Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa misalnya dimuat pertama kali di majalah Annida pada 1993. Sebelum akhirnya diangkat ke layar lebar, cerpen ini dan cerpen Helvy lainnya dibukukan oleh Annida, berhasil naik cetak puluhan kali dan dicetak dalam jumlah sangat banyak. Cerpen Asma Nadia di awal karir menulisnya Jodoh Untuk Ajeng, Koran Gondrong dan Imut juga “ditemukan” majalah Annida dan menjadi juara dalam Lomba Menulis Cerita Pendek yang diselenggarakan majalah itu.  Nama-nama lain yang juga awalnya dikenal melalui majalah ini adalah Afifah Afra, Sinta Yudisia, Maya Lestari GF dan sebagainya.

Jangan lupa, Annida juga menjadi salah satu wadah bagi para penulis yang tergabung dalam organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia, Forum Lingkar Pena (FLP), untuk memuat karya-karyanya. Organisasi yang diinisiasi oleh Helvy Tiana Rosa, Muthmainnah dan Asma Nadia pada 1997 ini menjadi tempat berkumpulnya penulis muda dan lama, yang kemudian seolah tak terpisahkan namanya dari Annida. Majalah ini memang berperan besar dalam perkembangan FLP di kemudian hari: memuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana untuk merekrut anggota baru. Helvy, dalam bukunya Segenggam Gumam bercerita, ada 2000 orang yang mendaftar melalui Annida saja.

Setelah ini, terbit banyak novel islami dan juga sempat menjadi booming di awal 2000-an. Saat itu, banyak penerbit yang juga ikut-ikutan menerbitkan novel genre ini. Tentunya, ini menjadi wadah baru bagi para penulis untuk menerbitkan karya mereka agar dikenal lebih luas.

 

Berubah Lalu Menghilang

Sayangnya, menurut saya, saat sedang digandrungi Annida malah beralih haluan menjadi majalah yang lebih dewasa, bernuansa sastra. Saya sempat mengikuti beberapa edisinya. Ada rubrik bahasan utama dengan tema yang lebih ‘serius’ dibandingkan bahasan di majalah Annida edisi awal dan tak lagi banyak membahas tentang dunia remaja. Saya merasa, Annida versi nyastra ini terasa lebih mature. Mungkin memang terasa greget untuk sebagian pembaca tapi karena segmen pasarnya tak berubah, rasanya isi Annida yang seperti itu jadi terasa seperti kehilangan ruhnya yang dulu.

Cover majalah yang semula gambar ilustrasi, berubah menjadi foto model. Bagi saya yang sejak awal mengikuti Annida malah merasa kurang sreg. Bisa jadi, redaksi ingin mengubah tampilan agar berbeda atau untuk menyamakan dengan majalah remaja lain. Namun menurut saya, menampilkan cover foto model perlu effort lebih besar misalnya perlu memikirkan pemilihan model, make up, lighting, kostum maupun kualitas foto yang tepat dan baik.  Dibandingkan dengan majalah serupa, Annida jelas kalah saing karena majalah remaja umum memiliki kemampuan yang lebih profesional selain kualitas kertas majalah yang lebih baik juga kualitas fotonya.

Ketika beralih ke media online, sebenarnya Annida punya peluang untuk tetap memiliki banyak pembaca. Sayangnya, Annida nampak tak seserius saat menggarap versi cetak, entah karena kendala apa. Isi rubrik yang sering tak up-to-date atau tampilan yang kurang eye catching dapat menjadi sebab pembaca “lari”. Bisa pula karena tak semua pembaca memiliki akses internet-saat itu belum marak hape android- atau bukan tipe yang suka membaca via layar seperti saya. Akhirnya, Annida makin kehilangan pembaca yang mungkin awalnya hendak setia namun gigit jari karena banyak kecewa atau kendala lainnya.

Kini, majalah Annida hanya tinggal kenangan. Saya masih memegang beberapa edisi yang memuat karya saya: tulisan dan surat pembaca J Selebihnya, koleksi saya dihibahkan ke perpustakaan sekolah. Saya yakin, masih banyak mantan pembaca Annida lama yang merindukan munculnya Annida kembali. Walaupun mungkin agak sulit terealisasi karena trend pembaca (remaja) saat ini sudah berubah, namun kekangenan pada cerpen berkualitas dengan sisipan nilai dan pesan keislaman tetap ada. Ini tak tergantikan dengan membaca buku bernuansa religi. Walaupun telah “tiada”, namun peran Annida dalam perkembangan penulisan cerita islami perlu dikenang sebagai hal yang berharga.


Kamis, 18 Juni 2020

Media Cetak, Riwayatmu Kini

sumber: jatim times


Mei lalu, jagat maya sempat ramai soal koran harian The Jakarta Post  yang akan berhenti terbit. Rumor berjudul Sayonara The Jakarta Post itu muncul setelah surat internal koran tersebut bocor ke publik. Tanpa menjelaskan detail isi surat tersebut, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Nizar Patria menyebutkan judul surat itu telah diubah dan  kemudian beredar di media sosial. Walaupun memastikan koran berbahasa Inggris ini tetap terbit, Nizar mengakui kondisi perusahaan memang sedang tak baik. Selain preferensi pembaca yang lebih condong pada media online saat ini, situasi tak menentu karena pandemi juga membuat perusahaan harus melakukan efesiensi untuk menekan biaya operasional. Mereka pun hendak melakukan transformasi ke format digital yang saat ini dianggap lebih menjanjikan (Tempo.co.id)
The Jakarta Post bukan lah satu-satunya media cetak yang mulai kembang kempis menghadapi situasi ekonomi yang tak menentu akibat pandemi. Apalagi sejak sebelumnya, media cetak memang telah lama terpuruk akibat gerusan zaman. Penyebabnya, kecenderungan orang saat ini yang lebih suka mengakses informasi melalui media online atau media lain selain media cetak.
Tahun 2014, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pernah melakukan survei dengan pertanyaan: “Dari mana Anda mendapatkan berita dan informasi?” Survei itu menunjukkan 79% responden menjawab televisi, 8% internet, 2 % radio dan 11% membaca koran. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden yang hanya terdiri dari Generasi Z- generasi yang lahir di rentang waktu tahun 1998-2010. Hasil yang ditunjukkan ternyata sedikit berbeda. Hanya 14,4% yang menjawab televisi sebagai sumber akses utama informasi. 83,6% memperoleh informasi dari internet dan hanya 1,7 % yang membaca koran (tirto.id).
Preferensi khalayak yang berubah itu memaksa banyak media cetak untuk beralih ke format online, tetap terbit 2 versi- online dan cetak - namun edisi cetaknya dibuat terbatas atau malah tutup sama sekali.  Majalah wanita Femina  misalnya yang semula terbit seminggu sekali, sejak 2017 terbit 2 mingguan bahkan kini terbit hanya sebulan sekali dengan oplah terbatas. Koran Tempo berhenti terbit di daerah dan hanya terbit di Jabodetabek.  Mereka pun menghentikan penerbitan Koran Tempo Edisi Minggu dan kini lebih fokus pada media online. Koran Sindo yang bernaung di bawah MNC Grup menutup kantornya di Yogyakarta. Media lain yang juga memutuskan untuk berhenti terbit atau beralih ke media online selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini di antaranya adalah Sinar Harapan, Tabloid Bola, Reader’s Digest, Tabloid Cek & Ricek, The Rolling Stone Indonesia, Jakarta Globe, majalah Kawanku dan majalah HAI.  

Agen Koran Hidup Makmur
Menarik cerita ke belakang, media cetak sempat mengalami masa jaya terutama di tahun 80-90an. Saat itu, agen koran sangat makmur. Satu koran harian bisa beroplah sampai ratusan ribu eksemplar begitu pun majalah berita atau hiburan. Agen koran dan majalah bisa hidup berkecukupan begitu pun para pedagang dan loper bisa mencari nafkah dari berjualan koran dan majalah saja.
Kini, jika kita mampir ke agen koran, situasinya tak seramai dulu. Para agen mengakui oplah koran- media cetak yang paling banyak diakses selama ini- menurun drastis dan tentunya berpengaruh pada penghasilan mereka. Begitupun para loper atau pedagang koran dan majalah. Coba saja iseng menghitung, ada berapa penjual koran yang masih bertahan di sekitar rumah kita. Bisa jadi, keberadaannya kini semakin sulit ditemukan.
Para ahli teori komunikasi sesungguhnya sudah memprediksi ini akan terjadi meskipun tak menyangka akan terjadi secepat ini. Namun menurut para pengamat, kecenderungan masyarakat yang berubah untuk mengakses informasi adalah konsekuensi logis dari kemajuan teknologi. Kini, orang tak lagi mau bersusah payah mencari penjual koran  atau menunggu koran datang, lalu membacanya di atas kursi sambil membolak baliknya. Generasi kini lebih suka sesuatu yang cepat dan mudah. Cukup membuka gadget, lalu mengakses informasi sambil rebahan di atas kasur atau bermalasan di sofa.
Bagi sebagian orang, media cetak mungkin masih menjadi andalan untuk memperoleh informasi. Namun jika ingin tetap bertahan, media memang mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Mereka yang bertahan adalah yang mampu dengan tanggap melakukan adaptasi itu selain media-media yang berafiliasi pada perusahaan besar dan memiliki modal mapan.
Sayonara media cetak? Mungkin saja. Namun sejatinya, informasi akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Apapun bentuknya, hendaknya para pelaku media dapat belajar dan bergerak cepat untuk menyediakannya.


Kisah Preman Yang Digandrungi


Setelah sinetron serial Si Doel Anak Sekolah (SDAS) booming pada tahun 90-an, sinetron berlatar budaya lokal mulai disukai dan dianggap memiliki daya jual. Sejak itu, banyak sinetron sejenis yang diproduksi dan tayang di layar kaca. Ada yang sukses, ada pula yang tak terlalu mampu menggaet banyak penonton.

Salah satu sinetron serial berlatar budaya lokal yang tergolong berhasil adalah Preman Pensiun (PP). Berlatar budaya Sunda, sinetron ini cukup digemari hingga dibuat sekuelnya, kini masuk sekuel 4. PP tak terlalu mengandalkan daya tarik pemain terkenal untuk menggaet penonton. Selain almarhum Didi Petet sebagai Kang Bahar dan Epy Kusnandar sebagai Muslihat atau Kang Mus, tidak ada pemain terkenal lain yang berperan dalam sinetron ini. Malah boleh dibilang, beberapa pemain yang awalnya belum terkenal itu menjadi dikenal khalayak setelah bermain dalam PP.

Bagai Organisasi

PP bercerita tentang Kang Bahar, seorang preman yang amat berkuasa dan terkenal di kota Bandung. Tak tanggung-tanggung, pasar, terminal sampai jalanan dikuasai oleh anak-anak buah Kang Bahar. Bahar yang awalnya merantau ke Bandung untuk mencari nafkah sebagai penjual makanan, menjelma menjadi preman yang ditakuti dan disegani setelah melalui perjalanan panjang.

Tak ubahnya sebuah organisasi, Kang Bahar sebagai ketua memiliki tangan kanan bernama Kang Mus dan para anak buah seperti Pipit dan Murad yang menjadi pemegang kuasa di jalanan, Jamal penguasa terminal dan Komar penguasa pasar. Para “ketua” pemegang kuasa wilayah ini masing-masing memiliki sejumlah anak buah lain.  

Setelah istrinya meninggal, Kang Bahar memutuskan untuk pensiun sebagai preman. Kisah Kang Bahar dan para preman serta dinamika kehidupan mereka ini lah yang menjadi jalinan cerita PP. PP memperlihatkan tak hanya kehidupan preman yang keras dan kadang penuh bahaya, namun juga menceritakan sisi kehidupan pribadi mereka. Komar yang garang di tempat “kerja” nya ternyata takluk pada istrinya. Kang Mus yang nampak sangat berwibawa dan disegani para anak buahnya amat segan pada Emak, ibu mertuanya yang ketus dan galak. Pergulatan batin para preman ini saat ingin “taubat” dan berhenti menjadi preman juga tak luput jadi bahan cerita. Selain kisah para preman, disisipkan pula kehidupan jalanan lain sebagai pencopet yang juga tak kalah menarik untuk ditonton.

 Cerita Sederhana

Sejak pertama kali tayang di televisi pada 2015,  PP  telah menarik banyak penonton yang pastinya tak semua berasal dari suku Sunda. Cerita PP yang sederhana dan dekat dengan keseharian nampaknya menjadi salah satu daya tarik sinetron ini. Bisa juga karena penonton tertarik dengan cerita soal preman yang amat jarang diangkat sebagai tema cerita sebuah sinetron.

PP tak menawarkan kemewahan atau keelokan rupa para pemainnya namun bertumpu pada kekuatan cerita, dialog dan karakter peran yang ada di dalamnya. Kesuksesan PP versi sinetron kemudian diangkat ke layar lebar. Film yang tayang di awal tahun 2019 ini pun mampu menggaet jutaan penonton.

Bagi kamu yang pernah tinggal di kota kembang, Bandung, lokasi syuting PP di kota tersebut juga bisa jadi nostalgia tersendiri. Di episode-episode awal, PP pernah pula bekerjasama dengan Pemkot Bandung untuk mempromosikan spot-spot menarik di kota tersebut bahkan sempat menampilan Ridwan Kamil- yang saat itu masih menjadi walikota- sebagai bintang tamu.

Sekuel terbaru PP – Preman Pensiun 4- telah tayang selama sahur bulan Ramadhan lalu. Menampilkan banyak wajah baru, PP 4 lebih banyak menceritakan bagaimana para mantan preman ini berjibaku dengan hidup mereka setelah pensiun sebagai preman. Kang Mus dan Ujang berjuang membesarkan usaha kicimpring, Boim mantan preman di terminal berdagang kaos, Murad yang memilih menjadi security atau Cecep yang justru kembali ke dunia preman karena tak menemukan pekerjaan lain. Sayangnya karena keburu pandemi, syuting PP 4 harus dihentikan dan cerita hanya sampai episode 33.

 

 

 


Selasa, 16 Juni 2020

Dilema Belajar Online


Cuma begitu, aja?” begitu komentar netizen setelah menyimak siaran pers resmi Kemendikbud tentang pembelajaran tahun ajaran baru di masa pandemi. Diputuskan, sekolah-sekolah di 94% daerah dalam zona kuning, orange dan merah melanjutkan pembelajaran online. Apabila daerah tempat sekolah  bersangkutan telah menjadi zona hijau (bebas covid), barulah boleh dilakukan pembelajaran tatap muka. Sisanya sebanyak 6% sekolah di daerah berzona hijau diperbolehkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka. Namun ada syaratnya. Meskipun sekolah bersangkutan telah berada di zona hijau, tetap diperlukan persetujuan dari pemerintah daerah setempat, sekolah dan orang tua siswa untuk mulai membuka sekolah dan melakukan pembelajaran tatap muka.

sumber; sumeks.co

Banyak yang kecewa karena menurut mereka tak ada yang baru dari keterangan Pak Menteri soal bagaimana kebijakan pemerintah tentang belajar di masa pandemi.  Banyak hal detail yang luput dari pembahasan, misalnya soal bagaimana penerapan pembelajaran online  di daerah yang belum terjangkau internet, apakah tarif internet mendapat potongan dari pemerintah, bagaimana kebijakan pemotongan biaya SPP bagi siswa sekolah dan universitas dan seterusnya.
Sayangnya, saat siaran langsung itu, saya tak banyak mendapat jawaban yang jelas dari kementrian terkait mengenai apa dan bagaimana pembelajaran anak di tahun ajaran baru ini. Rasanya jawaban yang diberikan terlalu teoritis.
Perlu Bimbingan Orang Tua
Sejak diharuskan belajar di rumah, dalam waktu amat singkat orang tua dan anak harus melakukan banyak penyesuaian. Bagi anak, lingkungan sekolah dan rumah sebagai tempat belajar tentu berbeda. Kondisi dan situasi rumah tak selalu sekondusif di sekolah. Belum lagi di rumah, anak tak dapat bertemu dan berinteraksi langsung dengan guru dan teman-temannya. Bagi sebagian anak, hal ini dapat memengaruhi kondisi psikologis dan semangat mereka.
Bagi orang tua, pembelajaran online berarti belajar hal baru! Banyak orang tua yang gaptek. Belum atau tidak familiar dengan kirim mengirim email, google classroom, virtual meeting, mengirim tugas dengan aplikasi tertentu dan seterusnya. Tentu tak selalu mudah bagi para orang tua untuk mempelajari hal baru ini dalam waktu singkat. Saya ingat, di awal pembelajaran, ada saja orang tua yang bolak balik bertanya pada para guru soal bagaimana membuka file tugas yang dikirim ke google classroom, bagaimana cara mengisi dan mengirimkan file itu kembali, bagaimana men-download file dokumen ke laptop dan sebagainya. Kalau anaknya sudah cukup besar misalnya kelas 5 ke atas, orang tua bisa saja meminta mereka mengerjakannya sendiri tanpa banyak didampingi. Namun bagi mereka yang anaknya masih usia SD apalagi tingkat awal, tentu orang tua harus full membimbing dan mengawasi.
Kerepotan makin bertambah ketika orang tua masih harus bekerja ke luar hingga tidak bisa mengawasi langsung pembelajaran anak di rumah. Terutama para ibu ya. Banyak yang harus bolak balik menelepon ke rumah untuk menyampaikan apa yang harus dilakukan anak hari itu karena informasi dari sekolah dikirimkan ke nomor ibunya, sementara ia harus  ke kantor. Belum lagi jika anak ada lebih dari 1 dan harus melakukan pembelajaran streaming secara bersamaan. Orang tua harus menyiapkan fasilitas berupa gadget pendukung seperti laptop, ipad atau handphone, menyiapkan kuota juga menyiapkan tempat yang berbeda agar setiap anak fokus dengan pembelajarannya. Jangan tanya pusingnya emak yang masih punya anak bayi dan batita. Rasanya hari para emak semakin padat saja. Di hari biasa saja sudah sulit mencari waktu me-time, setelah belajar online bisa sekedar duduk sebentar saja sudah luar biasa J
Kendala lain, tentu saja berhubungan dengan kuota dan sinyal. Orang tua harus merogoh kocek lumayan untuk menyediakan paket data yang cukup. Sekali virtual learning secara online dengan durasi minimal 1 jam saja membutuhkan kuota lumayan. Kalikan dengan kuantitas pertemuan dalam seminggu plus jumlah anak. Sinyal juga dapat jadi penghambat. Pernah terjadi, beberapa kali teman anak saya tak bisa join meeting online karena terkendala sinyal yang byar pet padahal gurunya hendak memberikan materi cukup penting. Untuk soal ini, kadang memang tak bisa selalu kita kendalikan.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana anak-anak di daerah pedalaman yang tak terjangkau internet. Saya menonton di TV, mereka harus mencari tempat yang lumayan jauh agar dapat sinyal. Bagaimana pula anak-anak di sekolah dengan orang tua berpenghasilan kurang memadai yang boro-boro punya handphone android? Banyak sekolah yang lalu hanya menugaskan siswa mereka mengerjakan Lembar Kerja Siswa sekedar agar anak ada kegiatan belajarnya. Malah, ada pula guru yang sukarela berkeliling rumah murid-muridnya untuk mengajar karena tak mungkin melakukan pmebelajaran online.

Butuh Aturan Teknis
Jika pemerintah menetapkan pembelajaran online terus berlanjut, menurut saya, perlu dibuat aturan teknis agar semua sekolah dan universitas serta instansi pendidikan lainnya punya gambaran pasti apa yang harus dilakukan. Misalnya:
1.       Apakah sekolah harus menyediakan dana tambahan untuk para guru agar mereka dapat membeli kuota internet? Saya banyak mendengar dan membaca, para guru ini ada yang harus menyisihkan dana dari gaji mereka untuk membeli kuota demi keperluan mengajar. Sekolah tak menyediakan dana untuk men-support mereka. Padahal, tak selalu gaji guru cukup untuk memenuhi pos tambahan pengeluaran.

2.      Bagaimana dengan para murid - mayoritas bersekolah di sekolah negeri- yang tak punya fasilitas gadget atau ekonomi yang memadai namun belum memungkinkan untuk belajar tatap muka? Apakah ada alternatif pembelajaran lain atau kah pemerintah mengharuskan sekolah membantu penyediaan fasilitasnya dst?

3.      Apakah beban kurikulum yang diberikan untuk pembelajaran online masih sama dengan pembelajaran tatap muka? Mengingat waktu pembelajaran online di rumah tidak bisa disamakan dengan watu di sekolah. Selain itu,tidak semua orang tua punya waktu dan kemampuan yang sama untuk mendampingi dan membimbing anak mereka selama belajar di rumah.

4.      Bagaimana juklak untuk anak-anak PAUD, TK dan Sekolah Dasar yang baru masuk kelas 1 di tahun ajaran ini? Jika biasanya para guru yang dapat membimbing mereka di sekolah untuk pengenalan materi pembelajaran, bagaimana dengan di rumah? Sejauh mana peran yang perlu orang tua lakukan untuk mendukung anak-anak baru ini?

5.      Apakah ada pengurangan biaya internet- bekerjasama dengan Kominfo- selama pembelajaran ini, atau bahkan digratiskan sementara?

6.      Bagaimana kebijakan pengurangan SPP dan sebagainya bagi para siswa yang kurang mampu, mengingat banyak pula orang tua yang tak lagi berpenghasilan saat pandemi ini?

Saya yakin, masih banyak daftar pertanyaan yang belum terjawab oleh pemerintah mengenai pembelajaran online ini. Saya hanya berharap, jangan sampai semua hal dibebankan ke sekolah hingga sekolah kesulitan dan kebijakan bisa jadi berbeda di tiap sekolah. Ini malah menimbulkan masalah baru antara sekolah dan orang tua. Kita tentu ingin anak-anak Indonesia tetap meperoleh haknya untuk mendapat pendidikan dan mereka tetap tak kehilangan momen berharga selama masa pandemi ini. (opini ibu satu anak)




Senin, 15 Juni 2020

Percaya Tak Percaya Soal Corona

gambar: tempo.co.id

Sejak kasus positif Corona terkonfirmasi pertama kali pada Maret lalu- Anies Baswedan malah menenggarai kasus pertama sudah ada di Januari 2020- banyak sudah informasi yang kita dengar atau dapatkan mengenai penyakit ini.   Mulai dari soal rimpang penguat imun tubuh, jam paling baik untuk berjemur agar beragam jenis virus yang nempel di badan kita mati, sampai soal berita yang beredar tentang Corona itu sendiri.

Pernah dapat broadcast di whatssup grup tentang kecurigaan kalau virus Covid ini buatan negara tertentu atau virus ini sebenarnya cuma “mainan” elite politik? Informasi-informasi macam ini hanya dua dari sekian banyak informasi yang beredar di media sosial, membuat masyarakat kebingungan bahkan menjadi ragu: benarkah virus ini ada atau cuma mengada-ada? Belum lagi rumor kalau penyakit ini sebenarnya tidak berbahaya. Ada publik figur yang menampilkan wawancara dengan tokoh tertentu, untuk meyakinkan bahwa virus ini tak ubahnya flu biasa dan bisa sembuh sendiri hingga masyarakat tak perlu terlalu panik apalagi parno.

Sebelumnya, sebagian masyarakat kita sudah ada yang tak peduli soal penyakit ini dan tak mengindahkan peraturan pemerintah untuk mencegah covid makin meluas. Umumnya mereka adalah masyarakat yang kurang memperoleh pengetahuan ,berpendidikan rendah atau sebab lainnya meskipun ada pula yang penulis lihat tidak termasuk ke dalam kategori-kategori itu.  Dengan beredarnya informasi yang simpang siur tentang covid di atas, tak urung membuat masyarakat terbagi lagi menjadi 2 kubu: percaya dan tidak percaya. Kubu yang percaya lalu menganggap tidak perlu lagi mengikuti protokol kesehatan, mengabaikan aturan-aturan yang dibuat pemerintah dan menganggapnya angin lalu. Sama dengan kubu yang sejak awal sudah tak peduli, orang-orang yang tak percaya ini lalu menjadi apatis dengan berita apapun tentang covid.

Digital Literasi

Masyarakat kita bukan lah masyarakat yang sudah memiliki digital literacy alias kecerdasan literasi digital yang baik. Kecerdasan ini berhubungan dengan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat dan tepat.   Seseorang yang memiliki kecerdasan digital akan mampu memilah dan  mengonfirmasi suatu informasi dan tidak menelan bulat-bulat berita apapun yang ia terima. Ia tak hanya menjadi konsumen informasi pasif namun dapat menjadi produsen aktif.

Faktanya, walaupun jumlah pengguna internet di negara kita termasuk nomor 3 terbesar di dunia, ada 171 juta jiwa berdasarkan data dari detik.com, namun tak sebanding dengan kecerdasan literasi kita yang hanya menduduki  peringkat nomor 56 dari 63 negara.  Artinya, kita tergolong masyarakat yang mudah memercayai suatu informasi yang beredar di sosial media tanpa merasa harus mencaritahu kebenarannya. Itulah sebabnya begitu mudahnya berita hoax beredar dan dipercayai sebagian besar kita. Bahkan konon, ada orang-orang yang kerjanya membuat dan menyebarkan berita bohong serta mendapat penghasilan dari aksinya itu.

Contoh termudah, cobalah sekali-kali kita mengamati ketika satu link berita dibagikan di sosial media. Bacalah komentar-komentarnya. Sangat banyak orang yang tanpa membuka dan membaca berita itu secara utuh lalu berkomentar ini itu padahal isi beritanya tidak seperti yang ia komentari. Nampak nyata kalau mereka hanya membaca headline atau judul beritanya saja lalu membuat kesimpulan sendiri.

Hal yang sama juga terjadi ketika ada satu informasi yang beredar di grup whatssup. Tanpa mau bersusah payah mengecek kebenarannya, kita langsung menyebarkan info itu kepada teman atau grup-grup lain. Apalagi jika kita melihat, informasi yang beredar nampak meyakinkan bahkan mengklaim nama tokoh atau lembaga tertentu yang kita anggap kredibel hingga kita percaya seratus persen kalau itu benar.

Kendali Di Tangan Kita

Kita memang tak bisa mencegah orang untuk membuat berita bohong tapi kita punya kendali untuk memilah informasi apapun yang sampai kepada kita. Jangan sampai karena kita tak mau capek-capek mengecek kebenaran suatu informasi, kita jadi rugi sendiri. Apalagi jika itu menyangkut soal kesehatan dan keselamatan kita.  Karena itu, kita dapat melakukan hal-hal berikut agar tak termakan berita hoax  tentang covid atau lainnya:

1.      Ketika mendapat satu broadcast, amati dan baca baik-baik isinya. Seringkali, berita hoax mudah dideteksi dari ketidarapihan pengetikan kata dan kalimat, pemilihan kata dan kalimat yang kurang baik atau bahkan tidak baku, penyingkatan kata atau kalimat dan seterusnya. Apalagi jika broadcast itu mengklaim sebagai informasi resmi dari lembaga atau tokoh tertentu. Rasanya tidak mungkin jika tokoh atau lembaga resmi menggunakan pemilihan kata atau penyingkatan kalimat, tak ubahnya seperti isi pesan dari anak ABG kepada teman-temannya. Tidak resmi dan nampak dibuat asal saja.

2.      Jangan mudah terpengaruh oleh isi broadcast yang nampak meyakinkan, misalnya mengutip isi berita dari media nasional atau internasional, mengutip ucapan tokoh tertentu atau menyertakan isi penelitian si ini dan itu. Ingat, kita tidak tahu darimana sesungguhnya broadcast yang kita terima bermula. Benarkah dari lembaga atau tokoh terpercaya lalu disebarkan hingga sampai kepada kita?. Kita dapat mengecek ulang melalui internet benarkah isi broadcast tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, biasanya berita bohong itu dapat terkonfirmasi di internet atau bisa juga mengonfirmasi melalui fanpage antihoax.

3.      Ketika mendapat informasi dari sebuah situs berita, selalu lihat nama situs berita yang memuat informasi itu. Jika berasal dari situs dengan nama tak dikenal, lebih baik abaikan karena bisa jadi informasi yang disampaikan tidak benar. Apalagi jika informasi dimuat di blog gratisan, hendaknya kita lebih waspada. Kominfo mencatat, ada 43.000 situs yang mengklaim sebagai situs berita namun tak sampai 300 situs yang telah terverifikasi sebagai situs berita resmi. Artinya, ada puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu.

4.      Jangan pula mudah terpengaruh ketika ada broadcast berupa surat edaran dan sebagainya. Ini amat sering terjadi. Kita mudah terpana dengan logo dan tanda tangan hingga kita anggap surat yang beredar benar adanya. Padahal, sering pula terungkap kalau surat itu palsu. Untuk mengeceknya, bisa kita lalukan melalui internet. Biasanya, lembaga-lembaga terkait akan melakukan konfirmasi resmi benar tidaknya berita yang beredar.

5.      Karena berita tentang covid berhubungan dengan kesehatan maka konfirmasi kebenarannya kepada orang atau lembaga terkait misalnya dokter atau tenaga medis yang turun langsung ke lapangan, mengeceknya di situs resmi Kemenkes RI atau laman resmi WHO. Bahkan, di Kompas TV seringkali ada segmen khusus-biasanya di pagi hari- yang membahas tentang berita hoax seputar covid atau tanya jawab seputar covid dengan para dokter. Kita dapat mengajukan pertanyaan melalui email jika merasa ada yang perlu dikomfirmasi. Jika memiliki kerabat atau kenalan yang juga merupakan tenaga kesehatan, kita pun bisa langsung tanyakan kepada mereka.

Jangan abaikan cek dan ricek informasi karena ini menyangkut kesehatan kita dan banyak orang lainnya. Ada blog dokter yang bisa kita baca sebagai informasi awal tentang covid https://dewinaisyah.wordpress.com/2020/03/20/kenapa-harus-pusing-dengan-corona/ atau bisa pula dicek akun Facebook dokter Tifauzia Tyassuma yang biasanya memuat info-info tentang covid. Pada akhirnya, semua memang berpulang kepada kita sendiri, mau percaya atau tidak percaya. Apapun, pasti akan ada konsekuensi dari setiap hal yang kita pilih.

 

 

 

 

 

 


Kamis, 14 Februari 2019

Belajar Bersyukur Dengan Menonton Bedah Rumah


source: www.youtube.com

Salah satu reality show yang lumayan sering saya tonton adalah Bedah Rumah, sebuah acara yang menawarkan bantuan untuk membedah dan merenovasi rumah yang dianggap tidak layak huni kemudian dijadikan rumah sederhana yang indah dan menawan. Program yang digagas oleh Helmy Yahya ini tayang sejak 2004, seingat saya dulu disiarkan di RCTI dengan host Ratna Listy. Lama tak menonton TV, saya bahkan nyaris lupa dan sempat mengira acara ini sudah tak tayang lagi. Sampai saat saya nonton Panasonic Gobel Award 2018, Bedah Rumah diganjar penghargaan sebagai reality show terfavorit. Sejak itu lah saya tahu kalau program ini masih ada dan saya mulai menontonnya lagi, kini tayang di GTV.
Agen Dan Target
Acara ini biasanya diawali dengan perkenalan penonton dengan target penerima berkah Bedah Rumah. Biasanya, akan dikirim seorang “agen” yang akan berpura-pura menjadi mahasiwi- saya baru sadar kalau agennya selalu perempuan- dan mengaku sedang mencari bahan untuk melengkapi tugas kampus atau skripsi. Si agen ini akan ditemani beberapa orang yang diperkenalkan sebagai teman-teman satu tim, ada yang menjadi pemegang kamera, lighting dan sebagainya.
Setelah itu, agen akan meminta izin untuk mengikuti kegiatan si target sesuai dengan pekerjaannya dan akhirnya ia akan minta untuk ikut menginap di rumah target. Selama berinteraksi dengan target dan keluarganya ini lah, agen akan memperoleh informasi tambahan tentang keinginan, harapan atau kesulitan lain yang dialami target. Biasanya, di akhir acara, tim Bedah Rumah akan memberikan bantuan tambahan sesuai kebutuhan target selain renovasi rumah.
Setelah menerima kertas surprise berisi informasi bahwa rumahnya akan dibedah, target dan keluarganya akan diajak untuk bersenang-senang sambil menunggu renovasi rumahnya selesai. Mereka akan dibawa berjalan-jalan, berenang, makan di restoran, kadang sampai menginap di hotel. Sementara, tim pembedah akan bekerja merenovasi rumah agar selesai sesuai target waktu yang telah ditentukan. Segmen klimaksnya tentu saja saat target dan keluarganya dibawa pulang kembali untuk melihat rumah hasil pembedahan. Reaksi kaget, sedih dan haru mereka terekam seksama oleh kamera tim Bedah Rumah

Jendela Tanpa Kaca
Seperti halnya sebuah program reality show, mungkin acara ini memang telah mengalami rekayasa sebagai bagian dari dramatisasi cerita. Misalnya, tiba-tiba dimunculkan tetangga target yang ngotot menagih hutang dan harus dibayar saat itu juga,  anak tetangga yang menendang bola dan mengenai dada target hingga sakit dan sebagainya. Semuanya nampak disengaja terjadi karena kemudian masalah yang ditimbulkan pemeran dadakan ini berhubungan dengan apa yang dialami target di satu segmen atau di akhir acara. Namun bagi saya, acara ini tetap memiliki sisi positif karena mampu menumbuhkan rasa syukur dan empati.
Melihat rumah target yang sangat memprihatinkan misalnya dapat membuat kita terhenyak dan bersyukur berkali-kali. Rumah target penerima berkah umumnya terbuat dari bilik bambu – ada yang nyaris roboh- dengan dinding dan atap yang kebanyakan telah berlubang. Terbayang kan bagaimana jika hujan datang, rumah pun pasti akan bocor bahkan kebanjiran. Meskipun mayoritas rumahnya berjendela, namun nyaris semua tak berkaca karena harga kaca terlalu mahal buat pemilik rumah yang umumnya berpenghasilan tak sampai 50 ribu per hari.
Kamar mandi target sangat seadanya, umumnya tanpa septitanc atau tempat buang air besar. Jika ingin buang air, mereka biasa menumpang di toilet tetangga atau pergi ke sungai. Beberapa kamar mandi dibuat di luar rumah dengan penutup dari karung bekas atau seng serta bak air dari kaleng atau bak bekas. Saya yakin, jika tak terbiasa, kita akan segan membersihkan diri di situ karena tempat yang kotor dan terbuka.
source: www.detik.com
 Tak ada perabotan mewah di dalam rumah target. Untuk tidur, target dan keluarganya umumnya hanya beralas kasur tipis yang digelar begitu saja dengan bantal, guling dan selimut dekil. Lemari penyimpan pakaian nampak sudah lapuk dan pecah kacanya. Untuk memasak, umumnya mereka menggunakan tungku api yang tentunya amat rentan kebakaran karena kompor gas tak terjangkau harganya. Menonton itu semua membuat saya mengurungkan niat membeli lemari pakaian untuk sementara waktu karena lemari lama masih bisa dipakai dan  mensyukuri rumah yang saya tempati meskipun kadang masih bocor. Apa yang saya miliki jauh lebih banyak dari apa yang mereka punya.
Masih sering mengeluh tak bisa makan di resto yang sedang viral karena tak ada budget atau mengeluh saat harus berhemat karena uang menipis? Yakin deh setelah menonton acara ini kita akan lebih mensyukuri apapun makanan yang ada di meja makan.  Bayangkan saja, untuk makan sehari-hari, umumnya target hanya makan nasi dengan lauk seadanya. Masih beruntung jika ada lauk tempe, tahu, ikan atau sayur. Ada pula yang makan hanya dengan sayur rebus dan garam, sayur rebung, bakwan tiga buah-masing-masing satu, mie rebus 2 bungkus untuk 5 orang, bahkan ada yang harus mencari sayur untuk lauk makan dengan memunguti sayur yang jatuh di pasar.. hiks...
Dalam satu episode, saya terharu saat ada anak target yang berterusterang ingin sekali makan ayam atau daging karena tak pernah makan dengan lauk itu, ada yang ingin sekali membeli jersey agar diajak teman-temannya bermain dalam tim sepak bola kampung atau ada yang ingin membeli sepatu karena setiap hari harus bergantian dengan adiknya Keinginan-keinginan yang nampak sederhana bagi kita, namun nyaris tak mungkin terwujud bagi mereka karena ketiadaan materi.
Mewujudkan Mimpi
Terlepas dari ada tidaknya rekayasa, menurut saya program Bedah Rumah  tetap bermanfaat untuk membantu mewujudkan mimpi mereka yang tak mampu untuk memiliki rumah layak. Program yang konon telah berhasil membedah ribuan rumah ini tetap mampu memperlihatkan sisi humanis target secara apa adanya. Geli rasanya saat target dan keluarganya dibawa ke hotel dan terkagum-kagum melihat bath tub atau mesin pengering tangan. Kadang memang seperti sengaja “kenorakan” mereka itu dieksploitasi. Penonton pun akan ikut terharu dan bahagia saat melihat target menangis melihat rumah baru mereka yang tak hanya berubah penampakannya namun juga isinya. 
Program ini juga memberi bonus lain seperti membelikan baju dan alat sekolah, membayarkan uang SPP, membelikan kambing atau peralatan berdagang hingga memberi modal usaha. Ibaratnya, target tak hanya diberi ikan namun juga kail agar kelak mereka bisa melanjutkan usaha untuk mencari nafkahnya sendiri. Two thumbs up untuk Helmy Yahya dan tim yang berhasil membuat program ini bertahan amat panjang bahkan menginspirasi rumah produksi lain untuk membuat acara serupa. Tentunya tetap dibutuhkan variasi dan penyegaran agar Bedah Rumah tetap disukai dan  tak jadi membosankan. Apalagi kini acara ini tayang lebih dari tiga kali seminggu.