Minggu, 19 Februari 2017

Memilah-Milah Berita



 
www.featurepics.com

Riuh rendah peristiwa politik belakangan ini terasa sekali pengaruhnya dalam kehidupan saya. Jika dulu hanya televisi dan media cetak yang memberitakan, kini media sosial dan web pun telah dengan bebas memberitakannya. Semakin riuh menurut saya karena di dunia maya, reaksi, komentar dan pendapat seseorang bisa langsung tersebar dan mendapat tanggapan baik dari yang pro maupun kontra.

Derasnya arus informasi itu seolah tak dapat dibendung. Kini nyaris sulit dibedakan lagi berita mana yang benar dan mana yang hoax. Ingat kasus penangkapan hakim MK , Patrialis Akbar (PA)? Dalam hitungan jam, telah muncul beragam versi penangkapan  PA dari beragam web berita maupun blog hingga fakta sesungguhnya menjadi blur dan membingungkan.

Saya ingat apa definisi berita menurut teori jurnalistik. Berita adalah....... Tapi manusia sebagai pembuat dan penyampai berita bukanlah makhluk tanpa emosi yang bebas dari motif. Ketika terjadi sebuah peristiwa, mau tak mau setiap orang akan memiliki persepsi dan sudut pandang sendiri terhadap peristiwa itu sesuai dengan pengetahuan atau motif yang dimilikinya. Persepsi itulah yang memengaruhinya dalam menyampaikan ulang sebuah peristiwa atau bahkan tidak menyampaikannya karena dianggap tidak penting.

Contoh, ketika terjadi kasus pencurian motor di kampung yang dilakukan si A seorang guru mengaji, reaksi setiap orang akan berbeda-beda. Ada yang melihatnya sebagai kasus pencurian biasa dan tak menganggapnya sebagai peristiwa penting hingga hanya menanggapinya dengan santai saja.  Ada yang melihat kasus itu luar biasa karena dilakukan oleh si A yang selama ini dikenal alim. Ada yang memanfaatkan kasus itu untuk menjatuhkan si A karena ia tak suka pada A. Orang yang tak suka ini lalu menyebarkan berita tentang pencurian itu dengan menitikberatkan pada pelakunya, “ Yang nyuri kan si A. Orang alim, lho dia. Kok bisa ya orang yang katanya ngerti agama kayak gitu..” dan seterusnya.

Tak beda dengan individu, media massa yang ditugaskan untuk meyampaikan berita apa adanya, pun tak luput dari unsur subjektivitas dalam pemberitaannya. Tentu saja, karena media juga terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki visi misi tertentu sesuai dengan visi misi media tempat ia bernaung. Sebuah peristiwa akan disampaikan dan ditanggapi berbeda sesuai dengan visi atau motif media tersebut. Ketika umat Islam melakukan aksi Bela Islam misalnya, ada beragam headline yang muncul di media cetak maupun pemberitaan di media elektronik dan internet. Ada yang acung jempol dan memandang aksi itu sebagai bukti solidaritas umat untuk membela agamanya. Ditampilkan pula sisi-sisi menarik dari aksi itu seperti sedekah para penjual makanan atau rumput lapangan Monas yang tetap rapi meskipun yang datang ribuan jumlahnya.  Berita positif ini disampaikan oleh media atau individu yang proaksi. Sementara yang kontra,  mencibir dan menganggap aksi itu hanya buang-buang tenaga dan cari perhatian saja. Disorotlah hal-hal yang negatif dari aksi misalnya sampah yang menggunung, anak-anak sekolah yang bolos demi ikut aksi atau macet panjang karena aksi itu.

Inilah yang dalam teori jurnalistik disebut objektivitas yang subjektif. Konon, tidak ada berita yang disampaikan secara pure objektif. Objektif menurut media A belum tentu objektif menurut media B. Karena itu, ada pengimbang yang disebut cover both sides, mencari dan menyampaikan fakta dari kedua belah pihak yang terlibat dalam satu peristiwa. Jika terjadi kasus pencurian misalnya, perlu digali dari pihak korban dan pelaku. Dalam sebuah konflik, perlu diwawancarai pihak-pihak yang bertikai hingga berita menjadi imbang.

Menjadi masalah ketika media menyebarkan berita bohong. Peristiwanya tidak benar-benar ada atau peristiwanya ada tapi ada sempalan cerita bohong yang ditambahkan di dalamnya. Lalu, salahkah jika media menyampaikan berita hoax? Jika dilihat dari sudut pandang agama, menyampaikan sesuatu tanpa sesuai faktanya adalah bentuk kebohongan dan itu jelas salah serta ada hukumnya. Namun tidak ada benar salah dalam teori jurnalistik. Itu hanya dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap definisi berita itu sendiri serta  bentuk pengingkaran nurani dan tugas sebagai penyampai berita yang seharusnya. Jika seorang wartawan menyampaikan berita bohong, ia akan dicap wartawan pembohong saja oleh khalayak. Hukum positifnya apa, sepertinya tidak ada.

Sebagai penerima berita, hendaknya kita pun dapat menjadi khalayak yang kritis. Artinya, jangan menerima berita dan memercayainya mentah-mentah tanpa kita cek dan ricek kebenarannya. Yang paling ideal memang mengetahui kronologis peristiwanya dari orang pertama. Namun jika tidak mungkin, berikut hal-hal yang dapat kita lakukan: Satu, jika menerima sebuah berita, lihatlah siapa yang menyampaikannya. Jika diperoleh dari webite tertentu, periksa reputasinya. Jika memang dikenal dapat dipercaya, boleh lah kita menerimanya sebagai berita yang benar.  Kedua, jika memungkinkan, lakukan perbandingan berita antara media satu dengan yang lain dan tidak terbatas hanya dari satu media saja. Kadang, saya malah membaca-baca media sosial dari orang yang berbeda pemikiran dengan saya, sekedar untuk tahu  pemaknaannya dari sudut pandang lain. Namun jika malah membuat ragu, cukup tanyakan saja kebenarannya pada orang yang memiliki lebih banyak ilmu.  Ketiga, selalu upgrade pengetahuan kita. Jika kita memiliki wawasan yang luas, kita cenderung tak mudah dipengaruhi oleh orang lain karena kita sudah memiliki prinsip sendiri.

Akhirnya, semua memang kembali kepada kita. Pilihan untuk memercayai atau tidak memercayai sebuah berita ditentukan oleh pengetahuan dan sudut pandang yang kita miliki. Begitupun kecenderungan untuk memilih berita mana yang akan kita baca dan ikuti dapat menjadi petunjuk dari ke arah mana kita memihak. Wallahua’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar