“Ya sudah
nggak apa-apa,Miss. Mungkin dia lelah.” kata teman saya, wali kelas tingkat
9, ketika saya “mengadukan” nilai Ujian Tengah Semester (UTS) salah satu anak
didiknya yang “terjun bebas”. Padahal, saya tahu anak itu tidak bodoh. Ia
memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup baik. Tapi saya agak kecewa,
karena nilainya hampir sama dengan anak dengan kemampuan jauh lebih rendah.
Bahkan, esainya saja nyaris kosong!
Mendengar
komentar teman saya itu, mau tak mau saya ikut mengamini sembari
mengingat-ingat betapa padatnya jadwal kelas 9 di semester genap ini. Sejak
Januari hingga Maret saja, mereka sudah disibukkan dengan bermacam-macam Try Out (TO), baik dari bimbingan
belajar yang di-booking pihak
sekolah, dari Dinas Pendidikan, dari intern sekolah hingga TO dari Jaringan
Sekolah Islam Terpadu – sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah islam
terpadu yang menginduk ke sana. Belum lagi setumpuk PR, tugas, kegiatan belajar
yang tetap harus mereka ikuti setelah TO
hingga persiapan untuk mengikuti ujian Baca Quran –salah satu program wajib di
sekolah kami- yang dilakukan di hari Sabtu.
Membayangkannya saja sudah puyeng ya..apalagi menjalaninya. Pasti
melelahkan.
Saya
lalu teringat masa-masa sekolah dulu. Menjelang Ujian Nasional, bimbingan
belajar (bimbel) yang wajib kami ikuti hanya bimbel dari sekolah, itupun hanya
2 minggu sekali dimulai sejak awal semester di kelas 3. Dulu, masih jarang
siswa ikut bimbingan belajar di luar sekolah karena biayanya yang lumayan
mahal, jadi otomatis mayoritas kami hanya mengandalkan bimbel dari sekolah. TO?
Seingat saya juga tidak ada kecuali latihan-latihan soal di kelas atau
mengandalkan buku-buku persiapan ujian yang mulai banyak dijual di toko-toko.
Karena
bersekolah di sekolah negeri, jam pelajaran kami juga hanya sampai jam 1 siang.
Sorenya, kami masih punya waktu untuk ekskul-kecuali di semester genap sudah dinonaktifkan-atau
bersosialisasi. Saya sendiri tidak merasa terlalu stres berlebihan menjelang
ujian. Hanya jam belajar saja yang bertambah. Selebihnya tidak banyak berubah.
Hasil ujian kami, ternyata tidak jelek-jelek amat haha..
Sebagai
guru, saya pun tak tahu mengapa pemerintah kini mewajibkan siswanya ikut ini
itu menjelang ujian. Di satu sisi, siswa mungkin jadi lebih tahu tipe-tipe soal
seperti apa yang sering muncul dalam ujian hingga mereka diharapkan sudah tahu
pula bagaimana cara menjawabnya saat soal yang sama muncul di ujian
sesungguhnya. Masalahnya, tidak seluruh siswa diberi kemampuan akademik yang
baik ataupun memiliki motivasi belajar
mandiri. Bagi siswa yang cukup pintar dan rajin, mereka akan tergerak untuk
menganalisa, mencari tahu lalu berlatih dengan soal-soal bertipe sama hingga
mereka menjadi makin mahir. Namun bagi siswa yang biasa-biasa saja apalagi
cenderung malas, sulit bagi mereka untuk “bergerak” apalagi berlatih soal yang
sama tanpa “disuapi” gurunya. Yang ada malah eneg...!
Apalagi,
beban pelajaran kelas 9 juga tidak berkurang dengan materi yang padat untuk 11
mata pelajaran. Di satu sisi, para guru pun tak bisa memberikan “diskon” materi karena bisa jadi materi itu akan muncul di
Ujian Sekolah atau Ujian Akhir Semester yang dibuat Dinas Pendidikan. Karena
waktu yang kadang tidak cukup untuk mengejar materi, beberapa guru pun seringkali
memberikan tugas tambahan.
Wait...
! Apakah dengan agenda belajar yang sedemikian padatnya hasil ujian siswa jadi
cemerlang? Tidak juga. Bagi siswa dengan kemampuan akademik biasa saja, padatnya
materi pembelajaran dan kewajiban mengikuti ini itu menjelang ujian , malah
semakin memberatkan otak mereka. Boro-boro
menguasai banyak bidang.. Bukannya makin menguasai namun malah makin jenuh. Mungkin
itu sebabnya nilai siswa pun mayoritas tidak stabil. Bagi sebagian siswa,
situasi ini juga membuat mereka makin masa bodoh. Prinsipnya, asal lulus saja. Toh masih ada sekolah swasta, begitu
kata mereka.
Sebagai
guru sekaligus orang tua, jujur saja saya merasa prihatin. Tentu bukan ini yang
kita inginkan dari anak-anak generasi penerus kita nanti. Namun, jika sistem
pendidikan kita belum berubah tentulah tak banyak yang bisa kita ubah. Namun,
ada beberapa catatan dari apa yang saya amati selama menjadi pengajar.
Anggaplah ini masukan atau ide yang mudah-mudahan dapat diwujudkan jika saya
punya sekolah sendiriJ :
a.
Jika masih tetap keukeuh ingin mengadakan Ujian Nasional (UN) hendaknya pemerintah
mengurangi beban materi siswa di tingkat akhir. Dengan begitu siswa akan lebih
dapat fokus pada mata pelajaran UN saja. Menurut saya, banyak materi pelajaran
yang sebenarnya kurang aplikatif atau terlalu dini jika diberikan pada siswa di
level tertentu. Jadi sisa-sia saja siswa dibebani banyak materi tapi
penguasaannya nol besar. Akhirnya, mata pelajaran inti di UN tidak dikuasai,
apalagi mata pelajaran di luar itu.
b.
Ujian Nasional dengan 4 mata pelajaran
wajib tidak perlu ada lagi. Sungguh tidak adil jika siswa dipaksa untuk mendapatkan
nilai bagus untuk 4 mata pelajaran sekaligus. Tidak ada yang bisa menjadi ahli
di seluruh bidang, termasuk gurunya sendiri. Pasti hanya satu atau dua saja
yang benar-benar dikuasai. Tapi sekarang, jika akumulasi nilai siswa tidak
mencapai hasil tertentu-biasanya nilai setiap mata pelajaran minimal 7 sampai
9-, maka ia dianggap “gagal” atau tidak memadai untuk masuk ke sekolah favorit.
Kalau kata Ayah Edi ini sama saja dengan memaksa pohon kelapa untuk berbuah
pisang, semangka dan sebagainya.
c.
Sejak kelas 7 (SMP), arahkan siswa untuk
mengenali minatnya kemudian berikan beberapa training atau seminar motivasi yang dapat membuka wawasan mereka
tentang bidang-bidang pekerjaan secara umum. Dengan begitu, siswa sudah tahu
mereka mau apa dan mau jadi apa setelah lulus nanti, bukan sekedar memilih
sekolah A karena orang tua atau karena semua orang memilih sekolah itu.
d.
Perlu juga diberikan wawasan yang sama
kepada orang tua tentang pentingnya memerhatikan bakat dan minat anak. Jadi,
tidak ada lagi orang tua yang melarang anaknya masuk sekolah tertentu semata
karena orang tua tidak suka. Padahal, passion
anak di bidang itu.
e.
Yang juga tidak kalah penting adalah
menanamkan pemahaman pada anak bahwa hasil bukanlah yang terpenting tapi pada
usaha dan sejauh mana kita benar-benar menguasai satu mata pelajaran. Saya
gemas karena banyak sekolah yang menekankan pada hasil akhir tanpa peduli
prosesnya. Akhirnya, nilai ujian anak luar biasa besarnya bahkan nyaris
sempurna. Tapi anaknya nggak bisa
apa-apa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar