Rabu, 16 Januari 2013

Guru Vs Wanita Karier



Gambar:www.republika.co.id


X-Senior GM PT.XL Axiata Tbk, Y-Direktur PT.Lintas Niaga...Saya membaca deretan finalis dan pemenang lomba wanita karier inspiratif yang diadakan sebuah majalah wanita itu dengan mata berbinar, setengah terbelalak. Saya terkagum-kagum dengan para wanita yang sukses melesatkan kariernya hingga posisi puncak itu. Usia mereka mayoritas tak lebih dari 40 tahun. Tapi di usia semuda itu, mereka mampu meraih jabatan tinggi di perusahaan tempat mereka bekerja.
Langsung terbayang rupiah yang didapat mereka dengan posisi itu. Mungkin nominalnya sama dengan kumpulan gaji saya selama lebih dari setahun ha..ha.. Saya pikir, mereka pun tak perlu terlalu khawatir kalau gaji mereka tak bakal sampai bulan depan. Belum lagi tunjangan dan berbagai fasilitas yang mereka dapat dan tak saya dapat dari pekerjaan saya sebagai guru part time.
Sempat terlintas rasa “iri” dalam diri saya, bahkan saya sempat sedikit berandai-andai. Agak sombong saya berpikir. Saya yakin saya punya potensi yang sama baiknya dengan mereka. Saya nggak bodo-bodo amat saat kuliah, saya aktif di organisasi, public speaking saya lumayan..Tapi, kenapa saya ada di posisi yang amat bersebrangan jaraknya?. Saya “hanya” menjadi guru part time plus ibu rumah tangga saja dengan penghasilan rata-rata. Padahal, banyak orang bilang saya punya potensi. Kalau digali lebih dalam lagi bukan tak mungkin saat ini saya sedang berada di titik karier yang menjanjikan, bukan hanya sebagai guru tanpa karier begini.
Saya lalu menyesali kenapa dulu saya tak mencoba melamar kerja di perusahaan saja. Bukan membatasi mimpi jadi wartawan-yang ternyata nggak kesampaian- atau malah coba-coba melamar jadi guru-yang ternyata justru malah lolos. Ya..jika saya ngotot, siapa tahu saya diterima di perusahaan bonafid dan saya punya karier bagus.
Perasaan itu sempat mengendap dalam hati saya selama beberapa hari dan sedikit mengganggu pikiran juga. Tapi, saat saya mengamati sekeliling,  astagfirullah..saya segera tersadar. Kenapa saya jadi tak bersyukur begini?. Allah sudah memberi saya rezeki lewat pekerjaan part time saya itu. Meskipun tak berlebihan, setiap bulan toh saya punya penghasilan tetap yang bisa diandalkan. Tak seperti sebagian besar tetangga dan saudara sekitar rumah saya yang berpenghasilan tak tentu. Ada yang “cuma” jadi tukang jahit dengan penghasilan tak besar dan musiman saja. Ada yang jadi tukang bangunan yang harus pergi pagi pulang petang dengan penghasilan 70 ribu sehari. Kadang sebulan tak ada job yang artinya tak ada pemasukan.
Saya pun lalu mencoba merunut apa saja keuntungan dari bekerja part time. Pertama, saya punya lebih banyak waktu di rumah. Saya mulai mengajar siang hari, artinya saya punya waktu banyak di pagi hari untuk bersama anak saya. Kedua, pekerjaan saya memungkinkan saya untuk memilih jadwal. Saya bisa menentukan kapan saya ingin libur kapan saya mau mengajar. Dimana lagi saya bisa menemukan pekerjaan sefleksibel itu? Ketiga, dengan jadwal kerja yang relatif pendek-sekitar 4 sampai 6 jam sehari, gaji yang saya terima termasuk lumayan. Walaupun tak banyak, saya masih bisa menabung dari gaji saya itu.
Gambar:malang.oxl.co.id

Lagipula, bukankah penghasilan besar juga menuntut pengorbanan yang lebih besar? Saya sering membaca di sebuah majalah wanita bagaimana jungkir baliknya para ibu itu membagi waktu antara bekerja dan keluarga. Pergi pagi-kadang saat anak masih terlelap- dan pulang saat hari mulai gelap. Otomatis waktu dengan anak dan suami menjadi amat terbatas. Bahkan waktu untuk diri sendiri pun nyaris tak ada. Ada yang bahkan waktu akhir pekannya pun harus diisi dengan pekerjaan, entah untuk bertemu klien, rapat, atau acara ke luar kota.
Sedangkan saya, alhamdulillah tak harus pergi pagi pulang malam. Hanya sesekali saja saya pulang larut, itupun saya mulai kerja siang hari bukan pagi hari. Weekend bisa saya habiskan untuk menemani anak bermain, jalan-jalan bareng suami dan anak, atau melakukan aktivitas sosial. Saya pun jadi punya lebih banyak waktu untuk memperbaiki ibadah harian dan melakukan hobi. Hal-hal tadi belum tentu bisa saya lakukan kalau saya tetap ngotot ingin jadi wanita karier berjabatan tinggi.
Akhirnya semua adalah pilihan. Saya selalu salut dengan para ibu yang bisa sukses di pekerjaan namun tetap bisa meluangkan waktu untuk keluarganya. Saya pun salut pada para ibu rumah tangga “saja” yang begitu tekun mengurus rumah tangganya nyaris tanpa istirahat. Intinya, syukuri apa yang telah Allah berikan. Jangan pernah membandingkan apalagi iri dengan rezeki dan raihan orang lain karena belum tentu kita bisa lebih bahagia saat berada di posisi itu.
Selintas, saya teringat cicilan utang saya yang belum lunas..Ah..sudahlah..Para bos wanita itu mungkin juga punya hutang seperti saya ha..ha..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar