Rabu, 19 Desember 2012

Mimpi-Mimpi Tahun Baru



Foto: 123rf.com

Dari dulu, saya tak menganggap tahun baru sebagai momen istimewa. Saya tak suka pesta-pesta. Seingat saya, setiap tahun baru saya malah lebih suka nonton di rumah sambil menunggu detik-detik pergantian tahun. Saya tak suka keramaian. Jadi keluar rumah saat tahun baru sama sekali tak menarik buat saya. Ya..karena jalanan biasanya lebih ramai saat tahun baru dan saya tak terlalu suka suasana itu.
Saya juga tak menganggap tahun baru adalah saat untuk beresolusi. Mungkin saya tipe “go with the flow” yang lebih suka membiarkan hidup mengalir apa adanya. Cuma lagi-lagi, belakangan saya jadi merenung. Saya berpikir apa sih yang sudah saya capai selama hidup saya?. Rasanya saya tak punya pencapaian berarti. Padahal jatah hidup saya pastinya makin berkurang seiring dengan pertambahan usia. Jadi, inilah mimpi-mimpi saya di tahun 2013. Mudah-mudahan Allah memudahkan saya untuk mewujudkannya:
1.     Memperbaiki amalan harian terutama tilawah dan hapalan qur’an. Sebenarnya, kalau dipaksakan saya bisa tilawah 1 juz per hari. Sibuk bukan alasan karena ada yang lebih sibuk dari saya tapi tilawahnya lebih dari 1 juz sehari. It’s about discipline and how to manage your time. Begitu juga hapalan. Dulu, saya biasa menambah dan mengulang hapalan sehabis shubuh. Sekarang mungkin agak susah karena ada anak. Tapi bisa dicari waktu lain asalkan niat saja. Jadi, BIASAKAN TILAWAH MINIMAL 1 LEMBAR SEHABIS SHALAT dan MENGULANG ATAU MENAMBAH HAPALAN MINIMAL 5 AYAT SEMINGGU.

2.    Menambah wawasan keislaman. Saya merasa wawasan saya amat kurang untuk yang satu ini. Misalnya tentang sejarah islam. Padahal kan penting banget ya..minimal untuk mengajari anak. Jadi, RUTINKAN MEMBACA BUKU ATAU MEDIA ISLAM SETIDAKNYA SEMINGGU SEKALI.

3.    Merintis jalan jadi penulis. Cita-cita saya sebenarnya adalah bekerja di rumah. Jadi penulis bisa jadi pilihan profesi. Hanya saja, saat ini saya belum bisa mengandalkan hobi saya ini karena sifatnya masih temporer. Masih tergantung job dari orang lain, belum jadi job rutin yang bisa menghasilkan. Tapi, saya tetap bermimpi satu hari nanti saya bisa menulis buku!. Jadi, saya rintis dulu mimpi itu dengan RAJIN MENULIS DAN MENGIRIMKAN TULISAN KE MEDIA MINIMAL 1 TULISAN SEBULAN dan MENG-UPDATE BLOG MINIMAL SEMINGGU SEKALI. Pokoknya, tetap semangat!

4.    Persiapan anak kedua baik secara finansial, wawasan, fisik dan mental. Tentunya, saya ingin persiapannya lebih baik dari anak pertama. Banyak sih yang bisa dilakukan. Misalnya, MENYELESAIKAN KLIPING KESEHATAN TENTANG IBU DAN ANAK untuk menambah wawasan dan RAJIN MENABUNG untuk persiapan biaya.

Minggu, 09 Desember 2012

Dua Jenis Koran Setiap Minggu Pagi*


Foto :stat.kompasiana.com


Saya lupa tepatnya. Mungkin sekitar 2 tahun belakangan, saya punya rutinitas setiap Minggu pagi: membeli dan membaca satu koran nasional dan satu tabloid wanita. Entahlah..Rasanya ada yang hilang ketika rutinitas itu tidak saya lakukan. Ada yang kurang jika saya melewatkan Minggu tanpa membaca kedua koran itu.
Karenanya, sepadat apapun acara saya di hari Minggu saya selalu usahakan untuk mampir ke tukang koran dan membeli 2 jenis koran itu. Kalau tak sempat membeli sendiri, saya akan titip pada suami atau siapapun yang kebetulan akan keluar rumah. Pernah beberapa kali saya gagal membeli koran nasional kesukaan saya karena sudah terlalu siang hingga saya kehabisan. Rasanya menyesal..
Yang agak susah kalau kebetulan saya sedang di luar kota dan saya tak tahu dimana tukang koran terdekat. Atau kalau hari Minggu bertepatan dengan hari raya nasional hingga dua koran itu atau salah satunya tak terbit. Anehnya, saya nggak berniat untuk berlangganan. Soalnya, mubazir. Saya lebih suka membaca koran nasional edisi Minggu saja tapi jarang membaca edisi hariannya. Lagipula, rasanya lebih enak membeli eceran.
Lucunya, saking niatnya membeli 2 koran itu kadang saya sampai rela mengeluarkan ongkos demi mencari tukang koran. Soalnya, pernah 2 tukang koran yang biasa mangkal di sekitar rumah saya tak berjualan. Sementara, suami saya tak bisa mengantar saya berburu koran karena ada acara lain. Akhirnya saya harus naik angkot demi koran impian. Kalau dihitung, jumlah uang yang saya keluarkan untuk ongkos bolak-balik hampir sama dengan harga total kedua koran itu..

Foto : www.google.co.id

Kenapa saya sangat suka membaca dua koran tadi? Karena jika dibandingkan media lain informasinya lebih padat, menghibur tapi tetap menambah wawasan. Karena itu, saya rela merogoh kocek 9500 rupiah setiap minggu untuk 2 koran itu. Bahkan saat saya tak punya uang, membeli koran tetap prioritas. Soalnya, membaca itu hiburan buat saya. Sama dengan menonton film buat yang film mania atau main games buat penyuka games misalnya. Saya merasa bisa lepas dari stress dan beban pekerjaan sehari-hari setelah membaca.
Pernah suatu hari, saya nggak bisa keluar rumah karena anak saya tak mau ditinggal. Akhirnya saya meminta suami untuk membelikan 2 koran langganan saya itu. Saya tunggu-tunggu, kok suami saya nggak nongol-nongol. Saat akhirnya dia muncul, saya merasa lega. Tapi..kok tabloidnya tabloid terbitan minggu kemarin?Kan saya sudah baca..
Emang cuma itu yang ada. Mana Abi tau yang baru atau lama...” kilah suami saya saat saya protes keras.
Iya juga sih..Dia kan tak tahu kalau tabloid itu terbitan minggu lalu. Masalahnya, saya bingung mau dikemanakan tabloid yang sudah telanjur dibeli itu? Akhirnya saya gunting beberapa artikel di tabloid itu untuk kliping saja.
Setelah tak ada pembantu, waktu saya untuk membaca koran memang agak berkurang. Malah seringnya saya tak habis membaca koran itu sampai 2 minggu setelahnya. Tapi sungguh hal ini nggak menyurutkan saya untuk tetap membeli koran setiap Minggu pagi. Kalau perlu keluar ongkos lah..
*nama koran tidak disebutkan biar nggak disangka promosi..he..he..he..




Kamis, 06 Desember 2012

Bermimpi Menulis Buku



“Menulis membuat kita abadi. Satu buku sebelum mati, bisa! Jadikan salah satu cita-cita hidup.”
(Asma Nadia dalam Twitografi Asma Nadia)
Saya selalu “iri” pada para penulis yang bisa menerbitkan buku. Saya membayangkan betapa menyenangkannya kalau tulisan kita dibaca banyak orang, syukur-syukur kalau bisa menginspirasi dan membawa kebaikan.
Keinginan untuk menulis buku sebenarnya sudah ada sejak saya kuliah di Jurnalistik dulu. Suatu hari, saya membaca buku Catatan Pinggir Goenawan Muhammad. Saya melihat tulisan-tulisan beliau sebenarnya bertema sederhana malah kadang bercerita tentang peristiwa sehari-hari. Tapi tulisannya sama sekali nggak sederhana. Tulisan beliau justru amat kaya dan bermakna. Terlihat benar betapa luasnya wawasan beliau. Saya sampai berpikir, Goenawan Muhammad ini bacaannya apa aja ya..sampai bisa menghasilkan tulisan bagus begitu..?
Foto : penerbitanbuku.files.wordpress.com

Sejak itu saya tertarik untuk menulis juga. Buku itu menginspirasi saya bahwa hal-hal simpel sekalipun bisa kita olah menjadi tulisan menarik. Tak selalu harus tema-tema ilmiah dan njelimet. Masalahnya adalah bagaimana mengolahnya ke dalam tulisan hingga ide sederhana itu jadi tak sederhana. Ini yang perlu latihan terus menerus sambil terus meng-update wawasan untuk menambah kekayaan ilmu dan kosakata.
Sayangnya, karena kurang usaha mimpi saya untuk menulis buku hanya tinggal mimpi. Baru beberapa bulan terakhir saya mulai “teringat” lagi mimpi saya itu. Buku-buku dan kisah Asma Nadia, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata misalnya banyak menginspirasi saya untuk menulis lagi dan mewujudkan mimpi menulis buku. Ada penulis yang melalui jalan berliku sampai bukunya benar-benar terbit. Ada yang memilih menerbitkan sendiri sebelum akhirnya diterbitkan penerbit besar. Ada juga yang beruntung karena justru langsung ditawari penerbit untuk menerbitkan tulisannya.
Saya tak tahu jalan mana yang akan saya lalui. Tapi saya tahu, kalaupun jalan itu tak mulus saya harus bisa melewatinya. Saya berusaha dengan mulai bergabung di sebuah agen penulisan yang dikelola adik angkatan saya di kampus, menulis lepas dengan bayaran tak terlalu besar, menulis di blog yang seringkali sepi pengunjung he..he..Tak apa..Saya tahu Allah melihat sekeras apa usaha saya.
Seperti kata Asma Nadia di atas, jadikan saja menulis buku sebagai cita-cita hidup. Dan cita-cita saya, bisa menulis buku sebelum berumur 35 tahun!. Semoga..






Rabu, 05 Desember 2012

Takut Kehilangan



Gambar : medanmagazine.com
Tiba-tiba saja, uang 100 ribu saya raib dari dompet. Padahal seingat saya, setelah membeli beberapa kebutuhan saya langsung memasukkan sisa uang itu ke dompet besar dan menyimpannya di tas. Tapi sekarang..yang tersisa hanya beberapa puluh ribu saja. Anehnya, yang hilang hanya uang yang seratus ribu itu. Sementara HP yang saya simpan di dompet itu juga malah masih ada.
Saya lalu mencoba mengingat-ingat. Siapa tahu saya hanya lupa menyimpan. Saya cari lagi di tempat lain, dalam tas, di lipatan buku, tetap tak ada. Berarti..hilang? Kalau hilang, siapa yang mengambilnya? Seingat saya, selama ini tempat kerja saya termasuk aman dari tangan-tangan jahil. Ruangan tempat saya menyimpan tas juga tak kosong. Ada supervisor dan seorang anak teman saya yang duduk-duduk sambil main komputer di sana. Rasanya tak mungkin jika salah satu dari mereka yang mengambil. Jangan-jangan..office Boy atau satpam yang mengambil? Biasanya mereka keluar masuk ruangan itu sekedar untuk membuat kopi atau menyiapkan properti mengajar.
Saya beristighfar. Ah..saya tak mau berprasangka. Gimana kalau saya salah kira?. Kan dosa..Akhirnya, saya ikhlaskan saja. Mungkin kehilangan ini teguran dari Allah karena saya enggan bersedekah atau lupa berzakat. Sulit pastinya. Apalagi uang itu rencananya akan saya pakai untuk membayar keperluan lain. Lagipula, siapa sih yang mau kehilangan sesuatu? Bahkan ketika yang hilang itu barang yang  selama ini tak kita pakai lagi, perasaan kehilangan mungkin akan tetap ada.
Makanya, ada orang yang memiliki banyak harta lalu menggunakan berbagai cara untuk memprotek hartanya itu agar tak hilang. Menyimpannya dalam brankas berkode rahasia, menitipkan di bank bahkan menyewa penjaga keamanan atau memelihara anjing. Saya yakin semua itu dilakukan karena manusia cenderung untuk takut kehilangan apa pun yang dimilikinya.
Pantaslah jika Ali Bin Abi Thalib pernah berkata” “tempatkan harta di tanganmu, bukan dalam hatimu.” Ya..karena ketika harta sudah kita tempatkan dalam hati, akan terasa amat berat ketika suatu saat Allah mengambilnya dari kita. Karena kecopetan misalnya, kena banjir, atau sebab-sebab lain yang menyebabkannya hilang. Padahal pada hakikatnya semua yang kita miliki saat ini adalah amanah, titipan dari Allah. Jika si pemilik hendak mengambilnya suatu hari, tak pantas kita menolak atau marah berlebihan.
Karenanya ketika kehilangan sesuatu, saya selalu berusaha mengintrospeksi diri. Saya yakin tak semata Allah menimpakan suatu musibah jika tak ada hikmahnya. Saat saya kehilangan uang saya akan berpikir: “apakah saya mengalaminya karena saya jarang sedekah?atau saya terlalu ceroboh menyimpan uang atau barang apa pun hingga Allah menegur saya dengan cara itu?. Berpikiran postitif membantu saya ikhlas menerima, tak lantas “marah” karena kehilangan itu. Mungkin orang yang mengambil uang itu jauh lebih membutuhakan dibandingkan saya.
Saya berdoa saja semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Amiin..




Jumat, 30 November 2012

Tetap Indah Tanpa Pacaran



Teman saya keheranan saat tahu saya nggak pernah punya pacar,
“Ya ampun, Fan..Temenku aja yang paling kalem sekalipun pernah pacaran. Masa kamu nggak?” katanya.
Saya cuma senyum-senyum saja. Untung teman saya itu nggak bilang kalau saya pantas masuk kategori langka karena nggak pernah punya pacar!Pacaran memang sudah menjadi hal lumrah di masyarakat kita terutama bagi remaja. Malah ada yang dengan bangga bercerita tentang berapa jumlah “koleksi” pacar sebelum menikah. Semakin banyak jumlah mantan, semakin hebat lah dia. Jujur, dulu saya pun pernah percaya kalau punya pacar itu wajib hukumnya. Ada perasaan tersisihkan saat melihat teman-teman saya saat SMP dulu pulang bareng pacar masing-masing. Merasa iri saat sahabat saya memperlihatkan surat cinta dari seorang cowok yang kemudian jadi pacarnya. 
Lucunya, biarpun belum punya pacar saya malah laris jadi tempat curhat teman-teman saya yang sudah berpengalaman dalam hal pacaran malah sampai minta saran segala. Tapi mungkin karena itu saya jadi lebih mikir-mikir untuk pacaran.


Saya misalnya nggak mau asal memilih calon pacar. Pertama, dia harus pintar. Karena saya paling lemot di pelajaran eksak, saya berharap kalau calon pacar saya itu jago Fisika atau Matematika biar bisa ngajarin saya nantinya. Kedua, saya pengen dia juga punya track record yang bagus. Biarpun pintar tapi dia suka bolos, suka ngerokok atau rada-rada kucel saya bakal nggak mau. 
Makanya, saya heran kalau ada teman saya yang mau saja pacaran sama cowok lola alias loading lama atau cowok yang suka ngerokok..Nggak bisa tuh saya pacaran hanya agar dianggap laku atau cuma karena kebetulan ada yang suka. Mungkin karena itu ya.. akhirnya saya malah nggak jadi-jadi punya pacar. Soalnya ada..saja kekurangannya di mata saja. Ada cowok pintar tapi playboy..Ada yang baik tapi lemot..Ada yang pintar dan baik tapi dianya nggak suka sama saya..


Tapi bukan karena nggak pernah pacaran lalu saya dianggap tak pernah jatuh cinta ya..Jatuh cinta sih pernah banget he..he..tapi karena dulu saya sudah punya kriteria di atas maka saya bisa tetap realistis saat saya menyukai seseorang. Belakangan saya malah amat bersyukur karena tak pernah merasakan punya pacar. Setidaknya saya tak perlu susah-susah berusaha menghapus kenangan manis dengan si A atau B di kemudian hari. Islam ternyata juga tak membenarkan pacaran sebagai jalan untuk mengenal calon pasangan hidup kita. Pacaran malah cenderung akan mendekatkan pelakunya pada zina. Alasan bahwa pacaran bisa membuat semangat belajar, sarana untuk belajar memahami karakter orang dan sebagainya, sesungguhnya hanyalah dalih. 





Coba tanya, benarkah pacaran bisa memompa semangat belajar atau semangat kerja? Kayaknya seringnya malah enggak ya..Justru kita malah nggak konsentrasi belajar karena selalu ingat si dia. Belum lagi akan ada aktivitas yang biasanya ingin kita lakukan dengan pacar entah jalan-jalan atau sekedar ngobrol berdua. Makin tersita lah waktu belajarnya.. Pacaran menurut saya juga merupakan bentuk keterikatan yang dasarnya nggak jelas. Belum nikah kok.. Jadi, tak ada kewajiban untuk melakukan ini atau itu. Tapi nyatanya, banyak orang yang memilih untuk terikat tanpa kejelasan ini lengkap dengan “kewajiban-kewajibannya”. 


Teman saya misalnya wajib lapor sama pacarnya tentang aktivitas apa yang dia lakukan saat itu dan si cowok bakal manyun kalau teman saya lupa laporan via sms. Masa sampai dia lagi sakit perut aja dilaporin?. Ribet kan?. Belum lagi kalau salah satu ada yang ketahuan jalan dengan orang lain yang bukan pacarnya. Pasti pasangannya bakal marah karena curiga atau cemburu. Sampai ada yang memilih menjaga jarak dengan teman-teman cowoknya untuk menjaga perasaan pasangannya itu.  Padahal kalau dipikir keterikatan seperti di atas nggak jelas juga dasarnya apa. Kalau baru pacar ada hak apa dia mengatur kita boleh atau nggak boleh jalan dengan siapa.
 Alhamdulillah sampai menikah saya dapat menjaga diri saya untuk tidak pacaran. Sebelum menikah saya dan suami melakukan ta’aruf yang pastinya lebih syar’i. Cara itu jauh lebih safe ketimbang pacaran. Saya malah merasa pacaran setelah menikah jauh lebih indah dan pastinya halal. Saya lebih bisa menerima suami apa adanya karena saya memilihnya bukan semata karena preferensi pribadi tetapi karena pilihan Allah. Dan Allah tidak pernah salah pilih..