Rabu, 14 November 2012

Ketika Ingin Memberi ASI...



Sumber: www.blomada.com

Banyak ibu yang tahu betapa pentingnya ASI bagi bayi terutama pada 6 bulan pertama. Namun tak selalu para Ibu berhasil memberi ASI karena berbagai alasan entah karena memang ASI-nya tak keluar atau karena hal lain. Alhamdulillah saya dapat memberikan ASI ekslusif untuk anak saya, Ihsan, bahkan sampai usianya 2 tahun lebih. Saya melihat Ihsan memiliki daya tahan yang lebih baik dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang tak diberi ASI. Ini beberapa tips yang saya tulis berdasarkan pengalaman saya, jika ibu memang ingin memberikan ASI:
a.    Cari Informasi. Apa yang diberikan kepada bayi pertama kali akan amat mempengaruhi apakah program pemberian ASI (eksklusif) bisa berjalan atau tidak. Banyak bidan dan rumah sakit yang langsung memberikan susu formula (sufor) pada bayi baru lahir meskipun alasannya sebenarnya tak dapat dibenarkan. Setahu saya, banyak produsen susu sengaja mendekati rumah sakit atau bidan agar mereka “membantu” memasarkan produknya, salah satunya ya dengan mempekenalkan sufor produk mereka ke bayi yang baru lahir. Tentu saja rumah sakit atau bidan itu akan mendapat imbalan. Mama saya yang mantan PNS di Dinas Kesehatan bercerita, ada bidan teman kerjanya yang bisa umrah atas biaya produsen sufor karena dianggap berhasil “memasarkan” produk mereka. Padahalj ika bayi sudah telanjur diberi sufor di awal harinya, bisa dipastikan ia bakal menolak ASI ibunya.

Saya beruntung karena di bidan tempat saya melahirkan saya didukung untuk memberi ASI ekslusif. Bahkan kalaupun ASI ibu belum keluar hingga hari kedua, bidan itu tetap tak memberikan sufor. Selama itu, ibu disarankan untuk terus mencoba memberikan ASI ke bayi agar produksi ASI dapat terangsang. Karena itu jika memungkinkan sejak sebelum hamil cari informasi mengenai rumah sakit atau bidan mana yang dapat mendukung niat kita memberikan ASI.

b.    Dukungan Suami. Suami berperan amat penting dalam mendukung program ASI. Dukungan itu berpengaruh terhadap ibu secara psikologis. Jika ibu nyaman secara psikologis, ini pun dapat mempengaruhi produksi ASInya. Karenanya, selalu sosialisasikan tentang pentingnya ASI pada suami. Syukur-syukur jika suami sudah teredukasi sebelumnya. Dukungan suami juga berguna saat anggota keluarga lain kurang mendukung karena ketidaktahuan mereka. Misalnya, ibu atau ibu mertua kita.

c.    Update Pengetahuan. Banyak mitos seputar ASI yang bukan tak mungkin akan menyurutkan niat kita untuk memberi ASI. ASI basi lah..ASI tak mengenyangkan lah..Karenanya, terus update pengetahuan kita tentang ASI atau apa pun yang berhubungan dengan bayi. Maksudnya, tentu saja agar kita tak “tersesat” dan mengambil keputusan yang salah. Sekarang, banyak narasumber yang dapat kita andalkan. Internet, buku, majalah atau melalui milis misalnya.

d.    Doa. Adalah hal yang terakhir yang tak boleh dilupakan. Minta pada Allah agar niat kita memberi ASI dikuatkan, dimudahkan dan dilancarkan. Bisa saja kita telah berusaha mencari rumah sakit yang mendukung program kita, tapi ternyata kita tak dapat melahirkan di sana. Jadi, doa mutlak perlu ya..

Rabu, 07 November 2012

Memutuskan Menikah Muda..



Foto : duniaislammodern.blogspot.com

Saya selalu salut dengan mereka yang memilih untuk menikah di usia muda. Maksudnya mereka yang berani menikah di bawah umur 25 tahun, selepas SMU atau di masa kuliah misalnya. Saya salut karena saya pribadi dulu tidak bercita-cita untuk menikah muda. Cita-cita saya dulu, menikah minimal setelah skripsi he..he..
Buat saya, menikah adalah tambahan tanggungjawab. Orang boleh tidak setuju. Tapi itulah yang saya pahami tentang pernikahan dulu. Jadi, terbayang kalau saya harus jadi istri dan ibu-dengan seabreg tugas-tugasnya- dan di saat yang sama saya pun menjadi mahasiswi-dengan seabreg kewajibannya juga. Berat..
Tambahan lagi, gambaran tentang pernikahan selepas sekolah atau saat kuliah yang saya lihat, tak selalu bagus menurut saya. Saya punya teman yang menikah di tingkat 2. Tak lama setelah menikah, ia pun hamil. Hamilnya ternyata agak bermasalah. Saat hamil muda, ia masih memaksakan diri kuliah. Tapi akibatnya dia kena flek dan dokter mengharuskannnya bedrest..Mungkin karena kelamaan bedrest, akhirnya kuliah teman saya ini terhenti di tingkat 2. Sayang memang..Tapi itulah pilihan..
Teman saya yang lain menikah saat masih kuliah juga. Padahal tinggal skripsi saja. Akhirnya, skripsinya tak sempat selesai karena keburu punya anak. Saya amat sayangkan juga karena ibaratnya tinggal selangkah lagi dia mengakhiri “perjuangannya”.
Tentu saja, tak semua pernikahan muda usia seperti itu. Banyak figur lain yang sukses menyeimbangkan perannya di rumah tangga dan di kampus. Meskipun memang perjuangan dan godaan untuk menyelesaikan kuliah bagi mereka yang sudah menikah, konon lebih berat. Adanya tambahan kewajiban, mencari nafkah untuk laki-laki dan di rumah tangga untuk perempuan, membuat waktu untuk memperhatikan perannya sebagai mahasiswa/i agak berkurang. Tapi toh banyak juga yang berhasil melewati itu semua. Kuliah kelar, rumah tangga lancar..
Saya tak antipati pada mereka yang menikah selepas sekolah atau saat kuliah. Tapi, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Di antaranya, jangan memutuskan menikah karena keburu nafsu. Tanyakan pada diri sendiri, apakah benar saya siap untuk menikah?. Ini bukan semata masalah maisyah atau nafkah ya..karena rezeki bisa dicari. Tapi lebih ke siap secara mental.
Jangan bilang, kalau teman saya bisa kenapa saya enggak? Menurut saya, setiap orang memiliki kesiapan dan kematangan kepribadian yang berbeda. Tak bisa dipukul rata semua orang pasti bisa. Saya misalnya, pas kuliah tingkat 2 lagi semangat-semangatnya berorganisasi, cari pengalaman dan jalan-jalan ke sana-kemari. Nggak kepikiran buat menikah. Kayaknya bakal beban banget kalau saya menikah saat itu. Tapi teman saya di usia yang sama dengan saya sudah lebih matang hingga saat menikah pun dia sudah  lebih siap.
 Jika secara mental memang telah siap, saya yakin sesulit apapun situasi yang dihadapi pasca menikah, keluhan atau rasa berat saat menjalani pernikahan akan dapat diminimalkan. Kita pun akan lebih lapang menjalaninya karena kita sadar itulah konsekuensi, tanggung jawab dari sebuah pernikahan.
Lalu, jangan lupa menyosialisasikan keputusan itu kepada orang tua. Mungkin orang tua punya keinginan dan harapan sendiri pada anaknya. Misalnya, ingin anak lulus dulu baru menikah. Jika orang tua tidak setuju tapi kita tetap ingin menikah karena ingin menjaga diri, berusahalah untuk membicarakan hal ini dengan  cara yang baik. Terus berusaha dan berdoa agar hati orang tua terbuka dan izin pun keluar.
Menikah muda atau tidak, kadang hanyalah sebuah pilihan. Tapi, saya percaya bahwa Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita. Saya diberi Allah jodoh saat telah lulus kuliah dan sudah bekerja. Ya..karena saya sendiri memang sudah siap saat itu. Intinya, ketika kita memutuskan sesuatu, jalani dengan penuh tanggung jawab. Wallahua’lam.





Senin, 05 November 2012

5 Metode Mengajar Yang Bikin Fun



Karena pernah merasakan jadi murid, saya merasa lebih memiliki empati saat saya mengajar di depan kelas. Dulu, seingat saya, hal yang membuat saya malas belajar bahasa Inggris adalah faktor gurunya. Entah karena cara mengajarnya yang boring, monoton, atau gurunya nggak bisa menerangkan. Saat saya ternyata jadi guru bahasa Inggris, saya mencoba untuk melakukan metode mengajar yang lebih menarik minimal membuat murid-murid saya nggak ngantuk di dalam kelas. Metode-metode ini saya gunakan di bagian assesment untuk menguji apakah murid sudah paham atau belum mengenai materi yang telah diajarkan:
A.  Nonton Film atau Video. Bisa film secara utuh atau cuma cuplikan video, iklan, rekaman konser dan visual lain yang saya ambil dari Youtube. Cara ini lumayan efektif untuk menarik perhatian anak. Pastinya, pilih film atau video yang nyambung dengan materi. Misalnya, saya pernah memutar cuplikan video konser Super Junior lalu saya minta murid menulis komentar mereka tentang konser itu dengan menggunakan adverb yang saya ajarkan sebelumnya.
Sumber:lirik-indonesia.blogspot.com
B.  Mendengarkan Lagu. Biasanya digunakan saat saya mengajarkan kosakata, tenses atau part of speech. Saya berikan teks lagunya tapi ada beberapa bagian yang dikosongkan sesuai dengan materi yang telah diajarkan. Kalau bisa, pilih lagu yang tak terlalu familiar di telinga murid. Kalau tidak, biasanya mereka sudah tahu teksnya. Mainkan kaset atau CD lagu itu sampai maksimal 3 kali. Setelah itu, baru dicek apakah jawaban mereka benar atau tidak.
C.  Observasi. Yaitu meminta murid, biasanya berkelompok, melakukan pengamatan secara langsung berhubungan dengan ,materi yang diajarkan. Misalnya saat mereka belajar memberi petunjuk arah atau belajar tenses tertentu. Misalnya, saya pernah meminta murid bermain peran. Salah satu dari mereka adalah orang asing di daerah itu. Saya meminta mereka menanyakan satu lokasi pada temannya yang berperan sebagai pemukim. Lokasi itu benar-benar ada di sekitar tempat saya mengajar. Tapi, jika ingin menggunakan metode ini, pastikan situasi tempat observasi aman dan murid yang diberi tugas sudah cukup besar untuk dapat menjaga dirinya. Kalau tiba-tiba mereka kesenggol mobil kan repot juga..
D.  Wawancara. Temanya bisa bervariasi misalnya tentang hobi, cita-cita atau pekerjaan. Ini menarik karena biasanya anak senang jika bisa jalan-jalan keluar kelas. Saya meminta mereka mewawancarai teman sekelas, guru-guru lain atau bahkan pegawai di tempat saya mengajar. Konsekuensinya, kita gurunya harus mau keliling untuk mngecek apakah mereka benar-benar menggunakan bahasa Inggris atau tidak saat wawancara. Kalaupun tidak, saya selalu meminta mereka membuat laporan hasil wawancaranya. 
sumber: voice.yahoo.com
E.  Games. Ini metode yang paling fun meskipun kadang ada saja murid yang protes karena games-nya “berhubungan dengan pelajaran”. Misalnya, saya pernah tebak-tebakan tentang nama pekerjaan, nama binatang atau nama negara. Sesuaikan saja dengan materi yang diajarkan. Tak ada salahnya melibatkan murid untuk membuat tebakan mereka sendiri dan teman-temannya yang menebak. Wah..mereka pasti seneng banget deh..

Minggu, 04 November 2012

Bukan Sebuah Dosa




Setiap kali ngobrol dengan teman yang kini sudah menikah dan punya anak, keluhan yang hampir selalu muncul adalah tentang makin kurangnya waktu untuk diri sendiri,
“Boro-boro sempet ke Bandung..Mau jalan ke mall deket rumah aja susah..Kalaupun bisa, bawaannya sekoper..”
“Punya anak 4 gimana mau ke salon..Anakku siapa yang ngurus..?”
Lucunya, keluhan itu nggak hanya dari ibu rumah tangga full tapi juga dari ibu bekerja yang notabene ada aktivitas keluar rumahnya.
Setiap kali saya mendengar curhatan itu, saya seringkali menyarankan teman saya itu untuk rehat sejenak. Sekedar untuk keluar sebentar dari rutinitas yang mungkin saja tanpa disadari bisa bikin stress. Tak selalu saran saya itu ditanggapi positif. Rata-rata mengaku tak tega jika harus meninggalkan anak “hanya” demi kesenangan sendiri. Mereka merasa “berdosa” melakukannya.
Padahal, me time atau (meluangkan) waktu untuk diri sendiri bukan sebuah “dosa”. Tidak salah jika seorang ibu sesekali meluangkan waktu untuk dirinya tanpa melibatkan anak atau suami. Justru me time adalah aktivitas yang dapat me-recharge jiwa dan semangat ibu. Me time  dapat mengurangi bahkan menghilangkan stress yang konon rentan menyerang para ibu. Setelah aktivitas me time itu, diharapkan ibu dapat beraktivitas kembali dengan semangat baru.
Ini bukan sekedar teori yang saya baca dari majalah atau buku. Saya sudah mempraktekkannya sendiri. So, ini beberapa hal tentang me time berdasarkan pengalaman saya:
a.    Paradigma. Ubah paradigma bahwa meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas yang kita senangi adalah sebuah kesalahan atau “dosa”. Justru niatkan ini sebagai salah satu cara untuk men-charge ulang diri kita. Dengan begitu, setelah aktivitas itu kita dapat bersemangat kembali dan rasa stress pun terkurangi. Kalau sudah begitu, efek positifnya pasti akan terasakan oleh keluarga. Kita jadi nggak gampang marah kalau anak berulah misalnya.
b.    Kapan Waktu Me Time?. Biasanya, kita punya sistem tubuh yang bisa memberikan warning saat diri kita mulai stress atau jenuh. Asalkan kita peka memahaminya. Saya sendiri saat mulai sering ngomel atau marah-marah nggak jelas sama anak, itulah waktunya saya rehat sejenak. Sebenarnya, tak perlu juga menunggu sampai stress baru kita melakukan me time. Bagusnya malah stress itu bisa kita cegah melalui aktivitas me time.
c.    Aktivitas. Tidak ada batasan apa saja aktivitas yang dapat dilakukan karena setiap orang memiliki kesenangan berbeda-beda. Saya misalnya suka jalan-jalan. Jadi, jika waktunya memungkinkan saya selalu menyempatkan diri jalan ke toko buku sekedar untuk melihat-lihat atau membeli buku dan majalah yang saya suka. Tapi, ada kalanya saya hanya membaca saja di rumah sambil rebahan atau sekedar makan bakso. Apapun asalkan kegiatan itu dapat membuat relaks dan terlepas dari stress.
d.    Durasi. Tidak ada batasan berapa lama me time yang ideal. Yang pasti, para ibu hendaknya selalu berusaha meluangkan waktu untuk diri sendiri meskipun hanya 15 menit seminggu sekali. Lagipula, aktivitas ibu juga berbeda-beda, kan. Jadi waktu luang yang dimiliki mungkin juga berbeda. Saya sendiri jika ingin agak lama melakukan aktivitas yang saya sukai, saya pilih waktu saat anak tidur malam.
e.    Kerja Sama dan Pengertian. Tak bisa dipungkiri, kerja sama dan pengertian dari suami atau anggota keluarga lain amat penting jika kita ingin melakukan me time. Terutama jika kita ingin melakukan aktivitas yang membuat kita meninggalkan anak. Jalan-jalan misalnya, pergi ke salon, nonton di bioskop dengan teman dan sebagainya. Jika tak ada pembantu yang bisa dititipi misalnya, pastilah anak akan dijaga suami, ibu mertua atau anggota keluarga lain. Karenanya, komunikasikan dengan baik agar tak terjadi salah paham apalagi sampai pasangan merasa dicuekin. Pastikan semua pekerjaan rumah seperti makanan untuk anak dan suami sudah tersedia atau tugas untuk pembantu juga sudah terkomunikasikan dengan baik. Dengan begitu, tak ada yang terbengkalai karena aktivitas kita.

sumber: api.ning.com

f.   Enjoy Your Time. Jika ingin efektif, saat melakukan me time lupakan semua rutinitas sejenak termasuk anak-(anak). Percayalah, anak kita akan baik-baik saja. Kalau ibunya bebas stress, anak-anak pun pasti akan senang karena jarang kena omel nggak jelas lagi..:)