Selasa, 07 Oktober 2014

Mungkin Bukan Karena Malas...



Beberapa tahun lalu, saya punya murid di level Intermediate. Namanya Bayu. Bayu ini kayaknya suka sekali menggambar. Setiap kali les, saat di kelas, bahkan saat saya menjelaskan pelajaran, dia selalu asyik dengan buku sketsanya. Saya pernah melihat hasil karyanya. Wow..!Luar biasa. Saya melihat sepertinya dia berbakat jadi animator atau semacam itu.
Jujur saja. Awalnya saya sempat berpikir kalau si Bayu ini tipe audio yang lebih banyak mengandalkan telinga ketimbang mata untuk menyerap pelajaran. Sebabnya, tak sekalipun dia memperhatikan saya saat mengajar. Dia hanya berkutat dengan buku sketsanya, menggambar apapun yang ia mau. Tapi, saat saya mencoba bertanya, sekedar mengetes apakah dia mendengarkan penjelasan saya atau tidak, jawabannya ternyata mengecewakan. Tandanya, dia memang tak memperhatikan saya.
Dia juga jarang berinteraksi dengan teman-temannya di kelas kecuali kalau saya minta bekerja kelompok atau dengan partner. Yang dia minati cuma menggambar. Selain itu, dia juga sering absen tanpa alasan yang jelas. Di akhir term, jumlah absennya ada 8. Padahal syarat untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat absennya tidak boleh lebih dari 6.
Saya lalu coba bertanya kenapa dia kursus bahasa Inggris. Jawabannya, “Disuruh Om saya, Miss. “ Dia bercerita kalau setelah lulus dia ingin melanjutkan ke sekolah seni di Yogyakarta. Seolah ingin menegaskan kalau dia memang tidak berminat belajar bahasa dan hanya disuruh pamannya saja.
Melihat sikapnya itu, saya punya feeling kalau dia nggak bakal melanjutkan les-nya. Benar saja, di term berikutnya dia tidak ada. Padahal saya sudah berbaik hati memperbolehkannya ikut ujian dengan syarat mengumpulkan tugas.
Saya sering menemukan murid-murid seperti Bayu. Mereka nampak “malas” mengikuti pelajaran tertentu tapi akan excited ketika menekuni hal yang mereka sukai. Sebagai guru, kadang terselip rasa sebal dengan sikap malas-malasan mereka itu.
Tapi jika saya mau berempati, sepertinya apa yang mereka lakukan adalah hal yang wajar. Kata Ayah Edi dalam sebuah bukunya, sebenarnya tidak ada anak yang malas. Perlu digali lebih jauh kenapa anak itu malas. Kalau ternyata dia malas karena dipaksa mempelajari hal yang tak ia minati, pantaslah dia bersikap begitu.
Sama dengan seorang ibu yang nggak suka masak tapi disuruh ikutan kursus masak atau seorang ayah yang nggak suka otomotif tapi disuruh ngotak-ngatik mobil. Pasti bakal tersiksa banget rasanya.
Masalahnya, sistem pendidikan kita memang mengharuskan siswa menguasai semua pelajaran tanpa kecuali. Ada nilai KKM sebagai batas “kelulusan” siswa dalam satu pelajaran yang kalau tidak terpenuhi dia akan dianggap “belum tuntas” alias “belum lulus”. Nilai KKM ini menurut saya lumayan tinggi. Untuk kurikulum 2013 misalnya, nilai KKM-nya rata-rata 75. Lumayan tinggi dan sulit dicapai. Apalagi oleh siswa dengan kemampuan minim, pas-pasan atau memang tak suka pelajaran tertentu.
Saya bayangkan, kalau saya yang tak suka Matematika harus mendapat nilai rata-rata minimal 75 untuk mata pelajaran itu, pastilah bukan hal mudah bagi saya. Jangan untuk dapat nilai segitu, belajarnya aja bikin males...
Tapi inilah yang terjadi.  Sistem pendidikan di negara ini memang tidak mengarahkan murid untuk menekuni hal yang mereka minati saja. Mereka harus menjadi anak-anak super yang mau tak mau juga harus jago di semua bidang dengan dapat nilai bagus.
Maka-nya, melihat murid-murid saya yang malas-malasan saat belajar saya mencoba untuk berpikir positif dan mencari tahu kenapa mereka malas. Jika mereka malas karena memang tidak suka pelajaran tertentu, saya tetap menyemangati,
“Dear, kamu memang nggak harus menjadi expert di pelajaran ini. Tapi setidaknya kamu tetap bersungguh-sungguh. Insya Allah kamu tetap dapat pahalanya meskipun mungkin nggak dapet nilainya...”
Sambil berharap kalau di masa datang sistem pendidikan kita bisa lebih baik lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar