Selasa, 16 Juni 2020

Dilema Belajar Online


Cuma begitu, aja?” begitu komentar netizen setelah menyimak siaran pers resmi Kemendikbud tentang pembelajaran tahun ajaran baru di masa pandemi. Diputuskan, sekolah-sekolah di 94% daerah dalam zona kuning, orange dan merah melanjutkan pembelajaran online. Apabila daerah tempat sekolah  bersangkutan telah menjadi zona hijau (bebas covid), barulah boleh dilakukan pembelajaran tatap muka. Sisanya sebanyak 6% sekolah di daerah berzona hijau diperbolehkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka. Namun ada syaratnya. Meskipun sekolah bersangkutan telah berada di zona hijau, tetap diperlukan persetujuan dari pemerintah daerah setempat, sekolah dan orang tua siswa untuk mulai membuka sekolah dan melakukan pembelajaran tatap muka.

sumber; sumeks.co

Banyak yang kecewa karena menurut mereka tak ada yang baru dari keterangan Pak Menteri soal bagaimana kebijakan pemerintah tentang belajar di masa pandemi.  Banyak hal detail yang luput dari pembahasan, misalnya soal bagaimana penerapan pembelajaran online  di daerah yang belum terjangkau internet, apakah tarif internet mendapat potongan dari pemerintah, bagaimana kebijakan pemotongan biaya SPP bagi siswa sekolah dan universitas dan seterusnya.
Sayangnya, saat siaran langsung itu, saya tak banyak mendapat jawaban yang jelas dari kementrian terkait mengenai apa dan bagaimana pembelajaran anak di tahun ajaran baru ini. Rasanya jawaban yang diberikan terlalu teoritis.
Perlu Bimbingan Orang Tua
Sejak diharuskan belajar di rumah, dalam waktu amat singkat orang tua dan anak harus melakukan banyak penyesuaian. Bagi anak, lingkungan sekolah dan rumah sebagai tempat belajar tentu berbeda. Kondisi dan situasi rumah tak selalu sekondusif di sekolah. Belum lagi di rumah, anak tak dapat bertemu dan berinteraksi langsung dengan guru dan teman-temannya. Bagi sebagian anak, hal ini dapat memengaruhi kondisi psikologis dan semangat mereka.
Bagi orang tua, pembelajaran online berarti belajar hal baru! Banyak orang tua yang gaptek. Belum atau tidak familiar dengan kirim mengirim email, google classroom, virtual meeting, mengirim tugas dengan aplikasi tertentu dan seterusnya. Tentu tak selalu mudah bagi para orang tua untuk mempelajari hal baru ini dalam waktu singkat. Saya ingat, di awal pembelajaran, ada saja orang tua yang bolak balik bertanya pada para guru soal bagaimana membuka file tugas yang dikirim ke google classroom, bagaimana cara mengisi dan mengirimkan file itu kembali, bagaimana men-download file dokumen ke laptop dan sebagainya. Kalau anaknya sudah cukup besar misalnya kelas 5 ke atas, orang tua bisa saja meminta mereka mengerjakannya sendiri tanpa banyak didampingi. Namun bagi mereka yang anaknya masih usia SD apalagi tingkat awal, tentu orang tua harus full membimbing dan mengawasi.
Kerepotan makin bertambah ketika orang tua masih harus bekerja ke luar hingga tidak bisa mengawasi langsung pembelajaran anak di rumah. Terutama para ibu ya. Banyak yang harus bolak balik menelepon ke rumah untuk menyampaikan apa yang harus dilakukan anak hari itu karena informasi dari sekolah dikirimkan ke nomor ibunya, sementara ia harus  ke kantor. Belum lagi jika anak ada lebih dari 1 dan harus melakukan pembelajaran streaming secara bersamaan. Orang tua harus menyiapkan fasilitas berupa gadget pendukung seperti laptop, ipad atau handphone, menyiapkan kuota juga menyiapkan tempat yang berbeda agar setiap anak fokus dengan pembelajarannya. Jangan tanya pusingnya emak yang masih punya anak bayi dan batita. Rasanya hari para emak semakin padat saja. Di hari biasa saja sudah sulit mencari waktu me-time, setelah belajar online bisa sekedar duduk sebentar saja sudah luar biasa J
Kendala lain, tentu saja berhubungan dengan kuota dan sinyal. Orang tua harus merogoh kocek lumayan untuk menyediakan paket data yang cukup. Sekali virtual learning secara online dengan durasi minimal 1 jam saja membutuhkan kuota lumayan. Kalikan dengan kuantitas pertemuan dalam seminggu plus jumlah anak. Sinyal juga dapat jadi penghambat. Pernah terjadi, beberapa kali teman anak saya tak bisa join meeting online karena terkendala sinyal yang byar pet padahal gurunya hendak memberikan materi cukup penting. Untuk soal ini, kadang memang tak bisa selalu kita kendalikan.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana anak-anak di daerah pedalaman yang tak terjangkau internet. Saya menonton di TV, mereka harus mencari tempat yang lumayan jauh agar dapat sinyal. Bagaimana pula anak-anak di sekolah dengan orang tua berpenghasilan kurang memadai yang boro-boro punya handphone android? Banyak sekolah yang lalu hanya menugaskan siswa mereka mengerjakan Lembar Kerja Siswa sekedar agar anak ada kegiatan belajarnya. Malah, ada pula guru yang sukarela berkeliling rumah murid-muridnya untuk mengajar karena tak mungkin melakukan pmebelajaran online.

Butuh Aturan Teknis
Jika pemerintah menetapkan pembelajaran online terus berlanjut, menurut saya, perlu dibuat aturan teknis agar semua sekolah dan universitas serta instansi pendidikan lainnya punya gambaran pasti apa yang harus dilakukan. Misalnya:
1.       Apakah sekolah harus menyediakan dana tambahan untuk para guru agar mereka dapat membeli kuota internet? Saya banyak mendengar dan membaca, para guru ini ada yang harus menyisihkan dana dari gaji mereka untuk membeli kuota demi keperluan mengajar. Sekolah tak menyediakan dana untuk men-support mereka. Padahal, tak selalu gaji guru cukup untuk memenuhi pos tambahan pengeluaran.

2.      Bagaimana dengan para murid - mayoritas bersekolah di sekolah negeri- yang tak punya fasilitas gadget atau ekonomi yang memadai namun belum memungkinkan untuk belajar tatap muka? Apakah ada alternatif pembelajaran lain atau kah pemerintah mengharuskan sekolah membantu penyediaan fasilitasnya dst?

3.      Apakah beban kurikulum yang diberikan untuk pembelajaran online masih sama dengan pembelajaran tatap muka? Mengingat waktu pembelajaran online di rumah tidak bisa disamakan dengan watu di sekolah. Selain itu,tidak semua orang tua punya waktu dan kemampuan yang sama untuk mendampingi dan membimbing anak mereka selama belajar di rumah.

4.      Bagaimana juklak untuk anak-anak PAUD, TK dan Sekolah Dasar yang baru masuk kelas 1 di tahun ajaran ini? Jika biasanya para guru yang dapat membimbing mereka di sekolah untuk pengenalan materi pembelajaran, bagaimana dengan di rumah? Sejauh mana peran yang perlu orang tua lakukan untuk mendukung anak-anak baru ini?

5.      Apakah ada pengurangan biaya internet- bekerjasama dengan Kominfo- selama pembelajaran ini, atau bahkan digratiskan sementara?

6.      Bagaimana kebijakan pengurangan SPP dan sebagainya bagi para siswa yang kurang mampu, mengingat banyak pula orang tua yang tak lagi berpenghasilan saat pandemi ini?

Saya yakin, masih banyak daftar pertanyaan yang belum terjawab oleh pemerintah mengenai pembelajaran online ini. Saya hanya berharap, jangan sampai semua hal dibebankan ke sekolah hingga sekolah kesulitan dan kebijakan bisa jadi berbeda di tiap sekolah. Ini malah menimbulkan masalah baru antara sekolah dan orang tua. Kita tentu ingin anak-anak Indonesia tetap meperoleh haknya untuk mendapat pendidikan dan mereka tetap tak kehilangan momen berharga selama masa pandemi ini. (opini ibu satu anak)




Senin, 15 Juni 2020

Percaya Tak Percaya Soal Corona

gambar: tempo.co.id

Sejak kasus positif Corona terkonfirmasi pertama kali pada Maret lalu- Anies Baswedan malah menenggarai kasus pertama sudah ada di Januari 2020- banyak sudah informasi yang kita dengar atau dapatkan mengenai penyakit ini.   Mulai dari soal rimpang penguat imun tubuh, jam paling baik untuk berjemur agar beragam jenis virus yang nempel di badan kita mati, sampai soal berita yang beredar tentang Corona itu sendiri.

Pernah dapat broadcast di whatssup grup tentang kecurigaan kalau virus Covid ini buatan negara tertentu atau virus ini sebenarnya cuma “mainan” elite politik? Informasi-informasi macam ini hanya dua dari sekian banyak informasi yang beredar di media sosial, membuat masyarakat kebingungan bahkan menjadi ragu: benarkah virus ini ada atau cuma mengada-ada? Belum lagi rumor kalau penyakit ini sebenarnya tidak berbahaya. Ada publik figur yang menampilkan wawancara dengan tokoh tertentu, untuk meyakinkan bahwa virus ini tak ubahnya flu biasa dan bisa sembuh sendiri hingga masyarakat tak perlu terlalu panik apalagi parno.

Sebelumnya, sebagian masyarakat kita sudah ada yang tak peduli soal penyakit ini dan tak mengindahkan peraturan pemerintah untuk mencegah covid makin meluas. Umumnya mereka adalah masyarakat yang kurang memperoleh pengetahuan ,berpendidikan rendah atau sebab lainnya meskipun ada pula yang penulis lihat tidak termasuk ke dalam kategori-kategori itu.  Dengan beredarnya informasi yang simpang siur tentang covid di atas, tak urung membuat masyarakat terbagi lagi menjadi 2 kubu: percaya dan tidak percaya. Kubu yang percaya lalu menganggap tidak perlu lagi mengikuti protokol kesehatan, mengabaikan aturan-aturan yang dibuat pemerintah dan menganggapnya angin lalu. Sama dengan kubu yang sejak awal sudah tak peduli, orang-orang yang tak percaya ini lalu menjadi apatis dengan berita apapun tentang covid.

Digital Literasi

Masyarakat kita bukan lah masyarakat yang sudah memiliki digital literacy alias kecerdasan literasi digital yang baik. Kecerdasan ini berhubungan dengan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat dan tepat.   Seseorang yang memiliki kecerdasan digital akan mampu memilah dan  mengonfirmasi suatu informasi dan tidak menelan bulat-bulat berita apapun yang ia terima. Ia tak hanya menjadi konsumen informasi pasif namun dapat menjadi produsen aktif.

Faktanya, walaupun jumlah pengguna internet di negara kita termasuk nomor 3 terbesar di dunia, ada 171 juta jiwa berdasarkan data dari detik.com, namun tak sebanding dengan kecerdasan literasi kita yang hanya menduduki  peringkat nomor 56 dari 63 negara.  Artinya, kita tergolong masyarakat yang mudah memercayai suatu informasi yang beredar di sosial media tanpa merasa harus mencaritahu kebenarannya. Itulah sebabnya begitu mudahnya berita hoax beredar dan dipercayai sebagian besar kita. Bahkan konon, ada orang-orang yang kerjanya membuat dan menyebarkan berita bohong serta mendapat penghasilan dari aksinya itu.

Contoh termudah, cobalah sekali-kali kita mengamati ketika satu link berita dibagikan di sosial media. Bacalah komentar-komentarnya. Sangat banyak orang yang tanpa membuka dan membaca berita itu secara utuh lalu berkomentar ini itu padahal isi beritanya tidak seperti yang ia komentari. Nampak nyata kalau mereka hanya membaca headline atau judul beritanya saja lalu membuat kesimpulan sendiri.

Hal yang sama juga terjadi ketika ada satu informasi yang beredar di grup whatssup. Tanpa mau bersusah payah mengecek kebenarannya, kita langsung menyebarkan info itu kepada teman atau grup-grup lain. Apalagi jika kita melihat, informasi yang beredar nampak meyakinkan bahkan mengklaim nama tokoh atau lembaga tertentu yang kita anggap kredibel hingga kita percaya seratus persen kalau itu benar.

Kendali Di Tangan Kita

Kita memang tak bisa mencegah orang untuk membuat berita bohong tapi kita punya kendali untuk memilah informasi apapun yang sampai kepada kita. Jangan sampai karena kita tak mau capek-capek mengecek kebenaran suatu informasi, kita jadi rugi sendiri. Apalagi jika itu menyangkut soal kesehatan dan keselamatan kita.  Karena itu, kita dapat melakukan hal-hal berikut agar tak termakan berita hoax  tentang covid atau lainnya:

1.      Ketika mendapat satu broadcast, amati dan baca baik-baik isinya. Seringkali, berita hoax mudah dideteksi dari ketidarapihan pengetikan kata dan kalimat, pemilihan kata dan kalimat yang kurang baik atau bahkan tidak baku, penyingkatan kata atau kalimat dan seterusnya. Apalagi jika broadcast itu mengklaim sebagai informasi resmi dari lembaga atau tokoh tertentu. Rasanya tidak mungkin jika tokoh atau lembaga resmi menggunakan pemilihan kata atau penyingkatan kalimat, tak ubahnya seperti isi pesan dari anak ABG kepada teman-temannya. Tidak resmi dan nampak dibuat asal saja.

2.      Jangan mudah terpengaruh oleh isi broadcast yang nampak meyakinkan, misalnya mengutip isi berita dari media nasional atau internasional, mengutip ucapan tokoh tertentu atau menyertakan isi penelitian si ini dan itu. Ingat, kita tidak tahu darimana sesungguhnya broadcast yang kita terima bermula. Benarkah dari lembaga atau tokoh terpercaya lalu disebarkan hingga sampai kepada kita?. Kita dapat mengecek ulang melalui internet benarkah isi broadcast tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, biasanya berita bohong itu dapat terkonfirmasi di internet atau bisa juga mengonfirmasi melalui fanpage antihoax.

3.      Ketika mendapat informasi dari sebuah situs berita, selalu lihat nama situs berita yang memuat informasi itu. Jika berasal dari situs dengan nama tak dikenal, lebih baik abaikan karena bisa jadi informasi yang disampaikan tidak benar. Apalagi jika informasi dimuat di blog gratisan, hendaknya kita lebih waspada. Kominfo mencatat, ada 43.000 situs yang mengklaim sebagai situs berita namun tak sampai 300 situs yang telah terverifikasi sebagai situs berita resmi. Artinya, ada puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu.

4.      Jangan pula mudah terpengaruh ketika ada broadcast berupa surat edaran dan sebagainya. Ini amat sering terjadi. Kita mudah terpana dengan logo dan tanda tangan hingga kita anggap surat yang beredar benar adanya. Padahal, sering pula terungkap kalau surat itu palsu. Untuk mengeceknya, bisa kita lalukan melalui internet. Biasanya, lembaga-lembaga terkait akan melakukan konfirmasi resmi benar tidaknya berita yang beredar.

5.      Karena berita tentang covid berhubungan dengan kesehatan maka konfirmasi kebenarannya kepada orang atau lembaga terkait misalnya dokter atau tenaga medis yang turun langsung ke lapangan, mengeceknya di situs resmi Kemenkes RI atau laman resmi WHO. Bahkan, di Kompas TV seringkali ada segmen khusus-biasanya di pagi hari- yang membahas tentang berita hoax seputar covid atau tanya jawab seputar covid dengan para dokter. Kita dapat mengajukan pertanyaan melalui email jika merasa ada yang perlu dikomfirmasi. Jika memiliki kerabat atau kenalan yang juga merupakan tenaga kesehatan, kita pun bisa langsung tanyakan kepada mereka.

Jangan abaikan cek dan ricek informasi karena ini menyangkut kesehatan kita dan banyak orang lainnya. Ada blog dokter yang bisa kita baca sebagai informasi awal tentang covid https://dewinaisyah.wordpress.com/2020/03/20/kenapa-harus-pusing-dengan-corona/ atau bisa pula dicek akun Facebook dokter Tifauzia Tyassuma yang biasanya memuat info-info tentang covid. Pada akhirnya, semua memang berpulang kepada kita sendiri, mau percaya atau tidak percaya. Apapun, pasti akan ada konsekuensi dari setiap hal yang kita pilih.

 

 

 

 

 

 


Kamis, 14 Februari 2019

Belajar Bersyukur Dengan Menonton Bedah Rumah


source: www.youtube.com

Salah satu reality show yang lumayan sering saya tonton adalah Bedah Rumah, sebuah acara yang menawarkan bantuan untuk membedah dan merenovasi rumah yang dianggap tidak layak huni kemudian dijadikan rumah sederhana yang indah dan menawan. Program yang digagas oleh Helmy Yahya ini tayang sejak 2004, seingat saya dulu disiarkan di RCTI dengan host Ratna Listy. Lama tak menonton TV, saya bahkan nyaris lupa dan sempat mengira acara ini sudah tak tayang lagi. Sampai saat saya nonton Panasonic Gobel Award 2018, Bedah Rumah diganjar penghargaan sebagai reality show terfavorit. Sejak itu lah saya tahu kalau program ini masih ada dan saya mulai menontonnya lagi, kini tayang di GTV.
Agen Dan Target
Acara ini biasanya diawali dengan perkenalan penonton dengan target penerima berkah Bedah Rumah. Biasanya, akan dikirim seorang “agen” yang akan berpura-pura menjadi mahasiwi- saya baru sadar kalau agennya selalu perempuan- dan mengaku sedang mencari bahan untuk melengkapi tugas kampus atau skripsi. Si agen ini akan ditemani beberapa orang yang diperkenalkan sebagai teman-teman satu tim, ada yang menjadi pemegang kamera, lighting dan sebagainya.
Setelah itu, agen akan meminta izin untuk mengikuti kegiatan si target sesuai dengan pekerjaannya dan akhirnya ia akan minta untuk ikut menginap di rumah target. Selama berinteraksi dengan target dan keluarganya ini lah, agen akan memperoleh informasi tambahan tentang keinginan, harapan atau kesulitan lain yang dialami target. Biasanya, di akhir acara, tim Bedah Rumah akan memberikan bantuan tambahan sesuai kebutuhan target selain renovasi rumah.
Setelah menerima kertas surprise berisi informasi bahwa rumahnya akan dibedah, target dan keluarganya akan diajak untuk bersenang-senang sambil menunggu renovasi rumahnya selesai. Mereka akan dibawa berjalan-jalan, berenang, makan di restoran, kadang sampai menginap di hotel. Sementara, tim pembedah akan bekerja merenovasi rumah agar selesai sesuai target waktu yang telah ditentukan. Segmen klimaksnya tentu saja saat target dan keluarganya dibawa pulang kembali untuk melihat rumah hasil pembedahan. Reaksi kaget, sedih dan haru mereka terekam seksama oleh kamera tim Bedah Rumah

Jendela Tanpa Kaca
Seperti halnya sebuah program reality show, mungkin acara ini memang telah mengalami rekayasa sebagai bagian dari dramatisasi cerita. Misalnya, tiba-tiba dimunculkan tetangga target yang ngotot menagih hutang dan harus dibayar saat itu juga,  anak tetangga yang menendang bola dan mengenai dada target hingga sakit dan sebagainya. Semuanya nampak disengaja terjadi karena kemudian masalah yang ditimbulkan pemeran dadakan ini berhubungan dengan apa yang dialami target di satu segmen atau di akhir acara. Namun bagi saya, acara ini tetap memiliki sisi positif karena mampu menumbuhkan rasa syukur dan empati.
Melihat rumah target yang sangat memprihatinkan misalnya dapat membuat kita terhenyak dan bersyukur berkali-kali. Rumah target penerima berkah umumnya terbuat dari bilik bambu – ada yang nyaris roboh- dengan dinding dan atap yang kebanyakan telah berlubang. Terbayang kan bagaimana jika hujan datang, rumah pun pasti akan bocor bahkan kebanjiran. Meskipun mayoritas rumahnya berjendela, namun nyaris semua tak berkaca karena harga kaca terlalu mahal buat pemilik rumah yang umumnya berpenghasilan tak sampai 50 ribu per hari.
Kamar mandi target sangat seadanya, umumnya tanpa septitanc atau tempat buang air besar. Jika ingin buang air, mereka biasa menumpang di toilet tetangga atau pergi ke sungai. Beberapa kamar mandi dibuat di luar rumah dengan penutup dari karung bekas atau seng serta bak air dari kaleng atau bak bekas. Saya yakin, jika tak terbiasa, kita akan segan membersihkan diri di situ karena tempat yang kotor dan terbuka.
source: www.detik.com
 Tak ada perabotan mewah di dalam rumah target. Untuk tidur, target dan keluarganya umumnya hanya beralas kasur tipis yang digelar begitu saja dengan bantal, guling dan selimut dekil. Lemari penyimpan pakaian nampak sudah lapuk dan pecah kacanya. Untuk memasak, umumnya mereka menggunakan tungku api yang tentunya amat rentan kebakaran karena kompor gas tak terjangkau harganya. Menonton itu semua membuat saya mengurungkan niat membeli lemari pakaian untuk sementara waktu karena lemari lama masih bisa dipakai dan  mensyukuri rumah yang saya tempati meskipun kadang masih bocor. Apa yang saya miliki jauh lebih banyak dari apa yang mereka punya.
Masih sering mengeluh tak bisa makan di resto yang sedang viral karena tak ada budget atau mengeluh saat harus berhemat karena uang menipis? Yakin deh setelah menonton acara ini kita akan lebih mensyukuri apapun makanan yang ada di meja makan.  Bayangkan saja, untuk makan sehari-hari, umumnya target hanya makan nasi dengan lauk seadanya. Masih beruntung jika ada lauk tempe, tahu, ikan atau sayur. Ada pula yang makan hanya dengan sayur rebus dan garam, sayur rebung, bakwan tiga buah-masing-masing satu, mie rebus 2 bungkus untuk 5 orang, bahkan ada yang harus mencari sayur untuk lauk makan dengan memunguti sayur yang jatuh di pasar.. hiks...
Dalam satu episode, saya terharu saat ada anak target yang berterusterang ingin sekali makan ayam atau daging karena tak pernah makan dengan lauk itu, ada yang ingin sekali membeli jersey agar diajak teman-temannya bermain dalam tim sepak bola kampung atau ada yang ingin membeli sepatu karena setiap hari harus bergantian dengan adiknya Keinginan-keinginan yang nampak sederhana bagi kita, namun nyaris tak mungkin terwujud bagi mereka karena ketiadaan materi.
Mewujudkan Mimpi
Terlepas dari ada tidaknya rekayasa, menurut saya program Bedah Rumah  tetap bermanfaat untuk membantu mewujudkan mimpi mereka yang tak mampu untuk memiliki rumah layak. Program yang konon telah berhasil membedah ribuan rumah ini tetap mampu memperlihatkan sisi humanis target secara apa adanya. Geli rasanya saat target dan keluarganya dibawa ke hotel dan terkagum-kagum melihat bath tub atau mesin pengering tangan. Kadang memang seperti sengaja “kenorakan” mereka itu dieksploitasi. Penonton pun akan ikut terharu dan bahagia saat melihat target menangis melihat rumah baru mereka yang tak hanya berubah penampakannya namun juga isinya. 
Program ini juga memberi bonus lain seperti membelikan baju dan alat sekolah, membayarkan uang SPP, membelikan kambing atau peralatan berdagang hingga memberi modal usaha. Ibaratnya, target tak hanya diberi ikan namun juga kail agar kelak mereka bisa melanjutkan usaha untuk mencari nafkahnya sendiri. Two thumbs up untuk Helmy Yahya dan tim yang berhasil membuat program ini bertahan amat panjang bahkan menginspirasi rumah produksi lain untuk membuat acara serupa. Tentunya tetap dibutuhkan variasi dan penyegaran agar Bedah Rumah tetap disukai dan  tak jadi membosankan. Apalagi kini acara ini tayang lebih dari tiga kali seminggu.

Selasa, 31 Juli 2018

Apalah Arti Sebuah Angka



 
www.productpackagingsupplies.com
Setiap kali ada yang hendak ke rumah entah teman atau pesanan ojek online, mereka nyaris selalu kebingungan atau tersasar ke rumah sebelah dan bukan ke rumah saya. Maklum rumah kami masih belum bernomor. Rumah di samping saya bernomor 3. Pastilah orang mengira nomor rumah saya adalah 4 dan rumah setelahnya baru lah nomor 5. Padahal, rumah saya lah yang bernomor 5. Lalu, kemana nomor 4 nya?.
Iseng saya tanyakan hal ini pada Pak RT di lingkungan rumah. Katanya, “Tidak ada nomor 4 atau yang berhubungan dengan nomor itu di sini. Entahlah.. Mungkin berhubungan dengan mitos soal angka tertentu yang dipercayai developer.” Saya pun lalu teringat saat menginap di sebuah hotel dan menaiki lift. Saya baru sadar kalau tidak ada lantai 4 atau kamar bernomor 4 di hotel itu.
Bagi sebagian orang dari etnis atau negara tertentu, angka bukan hanya sekedar angka tak bermakna. Mereka percaya, angka tertentu akan membawa kesialan atau nasib buruk maupun sebaliknya. Seperti halnya angka 13 bagi orang barat yang dianggap sebagai bad luck, ada beberapa angka lain yang dianggap tidak baik dan karenanya selalu dihindari. 
www.attractchina.com


1.      4 (Empat) - Cina
Dalam kepercayaan masyarakat Cina, 4 dianggap sama sekali tidak menguntungkan. Dalam bahasa Cina, kata “empat” dilafalkan dengan nada yang nyaris sama dengan kata “kematian”. Tak heran jika angka ini menjadi satu angka yang paling dihindari di masyarakat Cina. Tak hanya rumah bernomor 4 seperti kasus saya di atas yang dihindari, namun semua angka berelemen 4 pun dipastikan tak akan ada jika bangunan itu berada di Cina atau milik orang Cina. Misalnya, jika terdapat 50 lantai di suatu gedung, maka dipastikan tidak akan ada lantai 40 hingga 49 namun langsung ke lantai 50. Lucunya, angka 54 yang juga ber-elemen angka 4 pun biasanya tidak ada. Padahal, angka 5  nadanya sama dengan kata yang berarti “tidak” yang jika digabung dengan pelafalan angka 4, artinya bisa menjadi “tidak ada kematian”.  Malah berarti "baik" ,kan?

2.      9 (Sembilan)- Jepang
Takhayul lain yang disebabkan oleh homophone – satu kata dengan pelafalan sama atau nyaris sama namun berbeda arti- adalah nomor 9 di Jepang. Angka ini pengucapannya sama dengan kata bermakna “penyiksaan” dalam bahasa Jepang. Akibatnya, rumah sakit dan bandar udara menghilangkan angka 9 untuk penomorannya agar tidak mengundang kesialan.

3.      17 (Tujuh belas) – Italia
Sebagian orang Itali percaya mitos “Jumat tanggal 17” seperti halnya “Jumat tanggal 13” bagi orang barat. Sebabnya, angka romawi dari 17 adalah XVII yang jika dibolak-balik dapat tersusun menjadi VIXI. Angka itu dapat membentuk kata yang berarti “hidupku berakhir” dalam bahasa Latin.

4.      26 (Dua enam)- India
Kombinasi dari numerologi dan kejadian tragis membuat nomor ini dianggap dapat membawa ketidakberuntungan di India. Nomor 8 dianggap sebagai pertanda kerusakan dan jika dijumlah, 2 plus 6 adalah 8. Agak maksa ya... haha... Alasan lain adalah fakta bahwa peristiwa gempa bumi, tsunami dan beberapa serangan teroris terjadi pada tanggal 26 di bulan yang berbeda pada kurun waktu 15 tahun. Akhirnya, orang India percaya kalau 26 memang merupakan angka sial.

5.      39 (Tiga sembilan)- Afganistan
Nomor 39 bermakna buruk bagi masyarakat Afganistan. Nomor tersebut jika diterjemahkan berarti “morda-gow” yang secara bahasa artinya “sapi mati”. Kata itu juga dalam bahasa slang lazim digunakan untuk menyebut “germo” yang berhubungan dengan prostitusi. Jadi, jika orang Afganistan melihat mobil berplat nomor 39, mereka memilih menghindarinya dan mencari jalan lain.

6.   191 (Seratus sembilan satu) - Amerika
Angka ini dianggap bad luck dalam dunia penerbangan Amerika. Lima penerbangan yang berbeda dengan angka 191, seluruhnya  mengalami kecelakaan. Kecelakaan terbesar terjadi di tahun 1979, saat American Airlines dengan penerbangan bernomor 191 mengalami kecelakaan di  Chicago’s O’Hare Airport, menewaskan seluruh penumpang yang berjumlah 258 orang dan 13 orang kru nya. Penerbangan bernomor sama dari Delta Airlines juga mengalami kecelakaan di Dallas/Fort Worth International dan menewaskan 136 penumpang dari 152 orang, 11 kru nya. 
 
 Sebagai seorang muslim, tentunya kita tidak boleh memercayai takhayul macam ini. Bukan angka yang menentukan peristiwa yang kita alami, namun Allah lah yang maha menentukan semuanya dan apa yang telah Allah tetapkan pastilah itu yang terbaik untuk kita. Ini sekedar menambah pengetahuan saja ya.... (sumber; diolah dan diterjemahkan dari www.smosh.com & www.nationalgeographic.com)