Kamis, 25 Oktober 2012

Yang Nggak Perlu Ada Lagi Di Sekolah..


Sumber:gustavharefa.wordpress.com

Boleh dibilang, saya ini produk sekolah Indonesia banget. Konon, kurikulum sekolah di Indonesia lebih menekankan pada otak kiri dibandingkan dengan otak kanan. Salah satu akibatnya, saya tidak berani berpikir out of the box – keluar dari pakem atau “rumus” yang sudah ada. Sesuatu yang bisa muncul jika otak kanan distimulasi dengan baik. Mungkin itu sebabnya, mayoritas produk pendidikan Indonesia, termasuk saya, cenderung kurang kreatif ya..
Selain nggak kreatif, saya juga merasa kurang kritis. Sikap ini seingat saya memang kurang ditumbuhkan saat sekolah dulu. Guru hanya menerangkan tapi sangat jarang memfasilitasi murid untuk melatih kekritisan mereka. Murid kurang dilatih untuk mengemukakan pendapat dan bertukar pikiran. Ketika ada murid yang kritis, malah sering dianggap “aneh” dan “melawan”.
Saya lalu menggali lagi ingatan saya tentang masa sekolah. Hal-hal apa saja yang saya alami dan kayaknya tidak perlu lagi diterapkan dalam kurikulum pendidikan kita sekarang:

a.    Text Book. Hampir semua guru semasa saya sekolah adalah tipe text book. Untuk mata pelajaran eksak yang ada rumus sih mungkin agak bisa dimengerti. Tapi ada juga menurut saya pelajaran yang sebenarnya dapat memungkinkan murid untuk menjawab tidak sama dengan di buku. Contoh nya ada pertanyaan: “Apakah fungsi angin?”. Jawabannya kan bisa bermacam-macam ya.. Misalnya untuk membantu nelayan berlayar di laut, menggerakkan kincir penggerak turbin air, menyegarkan badan yang berkeringat..Selama memang masih masuk akal, boleh-boleh saja kan..jawabannya bermacam-macam. Tapi guru cenderung akan membenarkan satu jawaban saja yaitu jawaban yang sesuai dengan isi buku. Akhirnya, murid tidak terstimulasi untuk mencari kemungkinan jawaban sesuai dengan pendapatnya. Dulu, saya malah akan menghapal sampai ke titik komanya karena ada juga tipe guru yang menuntut kita menjawab sama persis dengan buku teks.

b.    Tidak Aplikatif. Contohnya, dalam pelajaran bahasa Inggris. Seingat saya, guru lebih sering mengharuskan kami menghapal tenses tanpa tahu kapan dan pada situasi apa tenses itu bisa dipakai, bagaimana menggunakannya dalam kalimat dan sebagainya. Jadinya rumus itu hanya sebatas nempel sebentar tapi nggak terpahami  otak. Kosakata yang diajarkan pun seringkali kurang bermanfaat jika dipakai dalam kehidupan sehari-hari misalnya kosakata bidang pertanian..Ya..kalau kita bakal diarahkan buat jadi petani sih mungkin bakal bermanfaat. Tapi kami kan nggak sekolah di sekolah pertanian...Padahal kenapa nggak diajarkan nama benda-benda di rumah atau di sekolah misalnya. Kan lebih terpakai kalau memang ingin muridnya bisa berbicara dalam bahasa Inggris.
c.    Soal Multiple Choice. Dulu..saya dan teman-teman seneng..banget kalau ujian nggak ada soal essai-nya. Soalnya gampang kan..Nggak perlu terlalu banyak mikir, ngitung kancing pun bisa lah buat ketemu jawabannya. Padahal kalau dipikir, justru itu kali yang bikin otak kita jadi nggak terangsang untuk berpikir. Jawaban kan sudah tersedia gitu..Memang buat guru, memeriksa soal essai pastinya membutuhkan tenaga dan waktu ekstra. Makanya mungkin mereka pun lebih suka membuat soal pilihan ganda saja. 

d.    Pilihan JawabanRagu-Ragu”. Saat SD, ada pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa disingkat PSPB. Isinya tentang pelajaran sejarah Indonesia. Yang bikin aneh soal latihan atau ujiannya. Misalnya ada statement :Bangsa Indonesia berjuang melawan Belanda dengan gagah berani. Maka akan ada pilihan jawaban: Setuju, Tidak Setuju, Ragu-Ragu. Yang lucu, tidak ada jawaban benar dan salah bahkan ketika kita menjawab “ragu-ragu” sekalipun. Jadinya, saya dan teman-teman sering jail. Karena malas mikir, kami pun memilih “Ragu-Ragu” saja..Bakal bener ini..gitu pikir kami. Kayaknya, seharusnya sih guru bertanya lebih lanjut kenapa murid menjawab Setuju, Tidak Setuju atau Ragu-Ragu. Tapi seringnya sih kami nggak ditanya lagi tuh.. (Untuk Disambung Lagi..)

Senin, 22 Oktober 2012

Batal Jadi Wartawan



Sebenarnya, saya sempat bercita-cita jadi wartawan. Sebabnya saya suka menulis. Saya juga suka pekerjaan yang mobile dan nggak mengharuskan saya berada di belakang meja terus menerus. Makanya, saya mantap belajar Jurnalistik setelah lulus D3.
Tapi setelah merasakan jadi wartawan beneran selama magang di Harian Umum Republika, saya jadi mikir-mikir lagi apakah benar saya bisa jadi wartawan. Saat magang, saya ditugaskan untuk membantu redaksi Suplemen Ahad- lembaran khusus Republika yang hanya terbit setiap hari Minggu. Dulu, rubrik-rubrik yang ada di Suplemen Ahad adalah rubrik Mode, Kecantikan, Keluarga, Kesehatan, dan liputan lain yang berbentuk soft news.
Jadi, tak seperti teman-teman saya yang sering nongkrong di Pengadilan, Kantor Kementrian  atau kantor pemerintahan lain, saya malah banyak melakukan liputan ke hotel atau mall untuk mengikuti grand launching produk, menonton fashion show atau sekedar meliput seminar. Pernah juga saya ke butik-butik untuk mewawancarai pemiliknya dan ngejar dokter A atau B untuk wawancara tentang satu topik kesehatan sampai ke cafe segala.
Keuntungannya, karena saya sering meliput ke tempat-tempat itu saya jadi bisa sekalian jalan-jalan juga. Sambil menunggu- biasanya saya sampai ke tempat acara minimal setengah jam sebelumnya- saya akan keliling mall sambil cuci mata. Kadang jika beruntung saya berpapasan dengan seleb A atau B yang kebetulan lagi jalan-jalan juga he..he.. Jika saya meliput launching produk biasanya panitia akan memberi goodie bag berupa produk bersangkutan untuk wartawan atau tamu yang hadir. Lumayan kan bisa dapat produk baru secara gratis?.
Enjoykah saya? Ternyata tidak juga. Jadi wartawan ternyata tak cukup bermodal pintar menulis atau berbahasa asing tapi juga pintar berkomunikasi. That’s the problem!. Saya itu pada dasarnya nggak suka ngobrol, malas berbasa-basi dan kurang suka keramaian. Sementara, dalam aktivitas peliputan pastilah saya harus berhubungan dan bertemu dengan banyak orang. Saya harus luwes menjalin komunikasi dengan narasumber demi informasi yang saya butuhkan dan dengan sesama wartawan sebagai partner liputan. Kadang dari sesama wartawan juga saya mendapatkan informasi penting yang mungkin belum saya dapatkan.
Masalahnya saya sering sungkan untuk say hello pada wartawan lain untuk memulai percakapan. Jadilah saya sering bengong sendiri karena tak tahu harus ngobrol dengan siapa. Setiap ada acara saya pun bakal membujuk teman sesama magang untuk menemani saya. Tak selalu berhasil karena kadang dia dapat tugas liputan juga.
Problem lain, saya juga nggak tahan dengan jam kerja wartawan yang serba tak pasti. Saat deadline saya bisa sampai kosan jam 11 malam padahal besoknya saya liputan pagi. Akhirnya saya putuskan, batal jadi wartawan. Kalau hanya menulis freelance sih masih mau. Tapi full sebagai wartawan saya bakal mikir-mikir lagi.

Minggu, 21 Oktober 2012

HIdup Yang Lain Di Sitoko



Inilah tempat dimana Facebook dan Twitter tak berguna dan listrik jadi hal mahal serta langka.

Welcome To Sitoko!

Saat saya diajak suami mampir ke Sitoko setelah menghadiri sebuah acara di kota Serang, sebenarnya saya cukup antusias. Saya memang penyuka suasana pedesaan. Dalam bayangan saya, desa yang terletak di Kabupaten Lebak Banten ini tak bakal jauh berbeda dengan desa-desa lainnya yang pernah saya kunjungi. Suami saya pernah sekali ke desa ini mengunjungi rumah penjaga sekolah di tempat suami saya bekerja. Di rumahnya pula kami berencana menginap selama kunjungan singkat kami. Tapi suami tak terlalu banyak bercerita tentang situasi Sitoko secara detail. Tak terbayangkan kalau ternyata desa ini lebih ndeso dari bayangan saya. 

Karena acara di Serang baru selesai sekitar jam setengah 8 malam, rombongan kecil kami-saya, suami, anak dan adik ipar yang menjadi sopir-tiba di pasar Gajrug-pasar terdekat dari Sitoko- sekitar jam 11 malam. Saya sudah girang karena awalnya saya menduka kalau desa Sitoko tak jauh dari pasar itu. Tapi saya salah besar. 

Kondisi Jalan di Sitoko (foto:dokpri)

Jika saja jalan yang kami lewati adalah jalan “normal”, sebenarnya jarak Gajrug-Sitoko tak terlalu jauh. Masalahnya, satu-satunya akses jalan ke Sitoko adalah jalan berkelok dan berbatu. Ada sih yang sudah "kenal" aspal, tapi mayoritas belum. Listrik pun-saat itu-belum masuk ke Sitoko. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya sopir mengendalikan mobil di jalan kecil, berbatu dan gelap dengan jurang di kiri kanan!. Kontur jalan pun tak selalu datar. Adakalanya menanjak atau bahkan menurun. Karena ngeri, sepanjang jalan saya tak henti berdoa dalam hati. Saya ngeri membayangkan bagaimana jika mobil kami selip dan terguling..

Sulitnya medan membuat perjalanan terasa amat lama. Tepat jam 12 malam kami pun sampai di sebuah tempat yang lumayan landai. Saya bersorak dalam hati, mengira bahwa kami benar-benar telah sampai. Soalnya, saya tak melihat ada jalan lagi yang dapat kami lewati. Mentok sampai disitu. 

"Terminal" Tempat Kami Memarkir Mobil. (foto:dokpri)

 “Ini “terminal”nya. Semua kendaraan biasanya diparkir disini.” Kata suami.


Melalui kaca mobil, saya mencoba melihat ke atas bukit. Rumah-rumah- sebagian terbuat dari kayu- nampak berderet. Semua nampak gelap. 


“Sudah sampai, nih?. Rumah Bang Udin dimana?” tanya saya.


“Belum sampe, Sayang. Rumahnya di atas.”


Saya pun lemas lagi.  Itu artinya, dari tempat parkir mobil kami masih harus berjalan mendaki. Duh.. badan saya masih terasa pegal-pegal setelah terombang-ambing di dalam mobil akibat jalan berbatu yang kami lalui. Sekarang masih harus mendaki bukit.

Suami lalu pergi lebih dulu. Maksudnya memberitahu tuan rumah jika kami sudah sampai. Jalan itu terpaksa ditempuh karena handphone Bang Udin si pemilik rumah tak bisa dihubungi. Believe it or not, suami saya saat itu hanya berbekal cahaya dari handphonenya. Padahal suasana desa amat gelap gulita dan tengah malam pula. Diam-diam saya menyesali kenapa suami tak cerita kalau di sini kami bakal butuh senter. 
Sepeninggal suami, rasa sepi mulai menyergap. Jujur saya ngeri dan agak merinding. Bayangkan saja...Saat itu kami berada di daerah asing. Kami tak tahu situasi desa itu secara pasti. Saya takut jika ada orang asing mendekat dan melakukan tindak kekerasan. Adik ipar saya mencoba mengusir rasa sepi dengan memutar kaset dan mengajak saya mengobrol sementara anak saya tertidur pulas.

Semenit..dua menit..Saya mulai gelisah karena suami saya tak kunjung muncul. Lebih dari 15 menit kemudian, barulah saya lega saat melihat beberapa pemuda termasuk suami saya datang menuruni bukit sambil membawa senter. Rupanya, karena hanya berbekal cahaya seadanya suami harus berjalan menaiki bukit sambil meraba-raba. Pantaslah lama sekali.
Saya lalu turun dari mobil dan berjalan menaiki bukit. Nafas saya serasa mau putus karena saya berkali-kali harus menaiki undakan tangga berbatu yang lumayan tinggi. Beberapa penduduk desa keluar rumah demi mendengar suara “ramai” kami di luar. Saya menarik nafas lega saat kami benar-benar sampai di rumah tempat menginap. Satu-satunya rumah yang terang benderang di desa itu. Ya..demi menyambut kami, tuan rumah menyalakan genset agar bisa menyalakan lampu. (Next: Menahan Dingin di Sitoko)