Rabu, 26 Februari 2014

Jepang Dalam Aroma Sake



Jepang nampaknya selalu memiliki daya tarik bagi banyak penulis. Banyak hal yang dapat dieksplorasi dari negeri Matahari terbit itu baik untuk karya fiksi maupun nonfiksi. Sebut saja Memoir of Geisha karya Arthur Golden yang sempat fenomenal pada awal 2000-an atau Musashi karya Eiji Yoshikawa. Dari ranah nonfiksi, ada buku yang mengupas tentang Yakuza maupun kehidupan Samurai.
 
The Scent of Sake adalah salah satu buku yang coba mengeksplorasi tradisi negara ini. Ditulis oleh Joyce Lebra, wanita Amerika yang ahli dalam sejarah Jepang, The Scent Sake bercerita tentang seluk beluk kehidupan pembuat sake di abad 18, yang diwakili oleh tokoh utamanya,Rie. Melalui Rie, wanita yang lahir di keluarga Omura, pembuat sake terkenal di Jepang, tergambar bagaimana tradisi dalam keluarga pebisnis sake itu sebenarnya termasuk seluk beluk persaingan bisnis tersebut.
Sebagai seorang wanita, Rie memiliki batas-batas yang tak boleh ia langkahi. Ia tak boleh memasuki gudang pembuatan sake bahkan tak berhak untuk memilih calon suami sendiri. Ia pun harus menikah dengan seorang laki-laki asing pilihan keluarga, Jihei, yang kelak akan menjadi pemimpin pengganti ayahnya. Padahal, diam-diam Rie menaruh hati pada Kaburo, seorang lelaki yang juga berasal dari keluarga pebisnis sake.
Jihei yang diharapkan dapat menjadi pemimpin dalam bisnis keluarga Rie, ternyata juga tak bisa diandalkan. Sejak awal, lelaki itu telah merasa tak nyaman dengan posisinya sebagai suami “adopsi”. Tambahan lagi, sikap Rei yang dingin membuat Jihei makin tersudut hingga ia memilih untuk melarikan kegalauannya ke rumah geisha dan menjalin hubungan istimewa dengan seorang geisha di sana.
Situasi terasa makin sulit bagi Rei karena ia tak kunjung memiliki keturunan. Kehamilan pertamanya gugur hingga terpaksa ia harus mau mengadopsi anak hasil hubungan gelas Jihei, suaminya, dan seorang geisha. Di sisi lain, kejelian dan kecerdasan Rei membuat bisnis keluarga Omura dapat tetap bertahan di tengah persaingan dan intrik.
Novel ini menggambarkan keteguhan seorang wanita Jepang dalam menjalani hidupnya. Hal ini terlihat istimewa karena pada zaman itu sehebat apapun seorang wanita, ia akan tetap terbatasi adat dan norma. Dengan segala keterbatasannya pula, Rei misalnya dengan cerdik menyampaikan idenya pada orang kepercayaan sang ayah untuk disampaikan ketimbang menyampaikan idenya langsung. Sebabnya, wanita tak diperkenankan untuk menghadiri pertemuan intern bisnis, hingga ia tak akan memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan ide-idenya itu.
 Bagi Anda penyuka novel berlatar sejarah, novel ini terasa istimewa. Selain dapat menikmati isi cerita, pengetahuan Anda tentang  sejarah Jepang kuno pun akan bertambah. Tak perlu khawatir jika Anda menemukan banyak stilah-istilah khusus berbahasa Jepang yang muncul di buku ini. Penulis dengan gamblang menyertakan catatan kaki, hingga Anda tak kesulitan memahami maknanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar