Senin, 15 April 2013

Siapa Peduli Budaya Kita?



Seorang Bapak yang bekerja sebagai Dosen di sebuah Universitas negeri di Aceh sedang resah. Tak ada lagi orang Aceh yang mau membaca hikayat Aceh. Padahal, hikayat yang ditulis dalam aksara Arab Melayu/Jawi, berbahasa Aceh dalam bentuk sanjak itu  telah ia terjemahkan, ia cetak dan pasarkan dengan harga amat murah.

Di toko buku ia jual buku-buku hikayat itu dengan harga RP.1400 per buah. Toko kemudian menjualnya Rp.3000. Dengan harga itu, penjualannya ternyata tetap saja seret. TA Sakti, begitu nama Bapak ini, merasa masa keemasan hikayat memang telah berakhir,
“Orang lebih suka menonton televisi.” Katanya. 
Padahal dulu, hikayat biasa dibacakan di mushala-mushala, di pesta kenduri hingga saat kelahiran dan kematian. Rumah-rumah pun biasa menyimpan hikayat sebagai warisan turun temurun. Ia memang sebuah warisan budaya tak terhingga. Tak hanya berupa puji-pujian, hikayat pun dapat berisi nasehat bahkan kritik terhadap pemerintahan saat hikayat itu dibuat. 
Hikayat juga merupakan catatan sejarah karena banyak diantaranya yang menceritakan keadaan Aceh di masa lalu seperti soal kondisi masyarakat Aceh yang mengalami dekadensi moral.Karenanya, hikayat menurut TA Sakti lagi, dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Ada kearifan yang bisa diperoleh disana. 
Tak heran jika Bapak ini amat galau melihat ketidakpedulian masyarakat Aceh saat ini terhadap hikayat,
 “Padahal, masyarakat Aceh akan kehilangan besar jika hikayat benar-benar hilang.” Kata TA Sakti seperti yang diceritakannya kepada KOMPAS, Minggu 7 April 2013.
Kegalauan yang sama juga saya rasakan saat suatu hari saya membaca sebuah majalah berbahasa Sunda yang dibeli Mama. Jujur saya sempat kaget sekaligus bersyukur karena MANGLE-majalah itu- ternyata masih hidup. Meskipun sungguh membaca isinya membuat saya prihatin lagi karena terlihat sekali betapa majalah ini begitu terengah-engah menghidupi dirinya.
Sayembara Teka Teki Silang misalnya “hanya” berhadiah Rp.10.000 rupiah per orang untuk 3 orang pemenang. Bahkan mungkin ongkos untuk mengirim jawabannya ke kantor pos pun bisa lebih dari itu. Jikapun ada hadiah untuk Sayembara Lomba Mengarang Cerita Sunda yang berhadiah lumayan besar, itupun “sumbangan” dari perorangan.
Saya tak tahu berapa honor yang diterima para penulis untuk setiap tulisannya yang dimuat di majalah itu atau gaji yang diterima redaksi. Atau malah mungkin tak dibayar sama sekali? Mama saya bilang, nampaknya MANGLE bisa tetap hidup karena masih adanya orang-orang yang mencintai bahasa dan sastra Sunda. Ibaratnya, merekalah yang menjadi penyemangat redaksi MANGLE untuk terus menerbitkan majalah yang hanya berharga 10.000 rupiah ini. 
Sedih..jika mengingat betapa harga satu porsi bakso pun bisa lebih mahal dari harga satu eksemplar majalah ini. Bahkan, untuk mendapatkan MANGLE pun saya harus pergi ke agen. Tak semua lapak koran menjualnya.
Melihat ini, rasanya tak salah jika saya segalau TA Sakti. Saya khawatir jika ini terus berlangsung lama-lama MANGLE akan mati dan tak terbit lagi. Padahal, MANGLE bisa dibilang menjadi salah satu pelestari bahasa Sunda. Saya ingat, betapa dulu saya mendapat materi dan kosakata bahasa Sunda lewat majalah ini karena di sekolah saya mempelajari bahasa Sunda. 
Kini saat bahasa Sunda sudah jarang digunakan, saya makin tak yakin kalau majalah MANGLE dibaca anak-anak muda. Jangan-jangan, pembacanya malah hanya generasi Mama atau paling muda generasi saya..?. Lalu, apakah bahasa Sunda akan ikut punah seperti nasib ratusan bahasa daerah lain yang telah hilang karena tak lagi dipelajari dan dipakai masyarakatnya? 
Saya pun galau lagi..Segalau Bapak TA Sakti yang tertatih sendiri menjaga hikayat Aceh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar