Jumat, 01 Februari 2013

Menjaga Kata Menjaga Lidah




Petinggi sebuah partai Islam dicokok KPK. Konon karena ia menerima suap satu milyar. Serentak dunia maya gonjang-ganjing. Setelah beritanya dimuat di sebuah situs online, berbagai komentar pun bermunculan. Rata-rata bernada sinis dan memojokkan. Ada yang menuduh partainya sebagai partai munafik, partai sok alim, sampai kata-kata bernada hinaan pada si petinggi.
Saya tak ingin membahas siapa salah siapa benar atau bercerita tentang keberpihakan saya. Yang saya “takjubi” adalah komentar-komentar itu. Saya tak tahu bagaimana rupa si pemberi komentar-karena memang tak berfoto- dan apa latar belakang pendidikannya. Tapi jika dilihat pilihan kata-katanya, saya jadi berpikir “kok bisa?”. Kok bisa, kata-kata yang terucap dan terketik begitu kasarnya. Kok bisa kepikiran mengeluarkan kalimat-kalimat itu?. Kalaupun si petinggi partai ini memang bersalah, pantaskah kita menghina, menghujat atau mencaci maki?. Rasa marah dan kecewa bukan alasan kita boleh menghardik. Saya merasa seperti membaca komentar dari para preman pasar saja. Membacanya sungguh tak mengenakkan hingga saya memutuskan untuk tidak meneruskan membaca komentar-komentar itu.  
Saya pikir, kebebasan di dunia maya bukanlah alasan kata-kata kita menjadi tak terarah. Banyak sudah contoh mereka yang diperkarakan karena tak menjaga lidahnya, entah di televisi , lebih banyak lagi di ranah online. Mungkin karena di dunia maya orang bisa sembarang memasukkan identitas, palsu sekalipun tak masalah, hingga mereka merasa lebih bisa bebas berbicara. Orang mungkin tak bakal tahu siapa kita. Tapi, bukankah ada yang Maha Tahu Segalanya?
Pantaslah kalau Islam sampai mengatur bagaimana umatnya harus bertutur dalam berbagai keadaan. Mendengar petir mengucap ‘audzubillahiminasyaithonirajiim-aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk, melihat sesuatu yang indah mengucap subhanallah-Maha Suci Allah-, mendapat musibah atau terkejut mengucap Masya Allah. Allah..Allah..Allah selalu yang disertakan dalam setiap ucapan, dalam setiap keadaan. Setiap ucapan-ucapan baik itu bahkan dinilai sebagai pahala.
Saya pun teringat kata-kata KH Abdullah Gymnastiar: “Ucapan adalah cerminan hati. Lihatlah teko. Apa yang keluar sesuai dengan isi di dalamnya. Isinya kopi yang keluar kopi. Isinya teh, keluar teh. Isinya air bening, keluar air bening pula.”
Menjaga lidah memang tak mudah. Sekali terucap, sulit dihapus efeknya. Tapi mejaga ucapan bukanlah hal niscaya. Biasakan diri membasahi lisan dengan mengingat-Nya dan melakukan hal-hal positif agar lidah tak terdorong mengucap kata-kata tak bermanfaat.
Sungguh saya bukan manusia yang sudah bebas dari kata-kata buruk. Saya pun masih terus belajar untuk mengendalikan dan menjaga ucapan saya. Biasanya. Dorongan untuk berkata tak baik muncul saat hati dikuasai amarah. Karenanya, saat marah saya memilih menenangkan diri. Menarik nafas dan berdiam atau berwudhu. Saya tak ingin menyesal di kemudian hari karena kata-kata kotor dan menyakitkan yang saya ucapkan sendiri.
Karena itu, ketika berita tentang si petinggi itu muncul serempak di situs online, saya hanya mengucap: Masya Allah..Masya Allah..
Itu lebih baik ketimbang menghujat dan mencaci maki. Karena kata-kata menunjukkan siapa kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar