Rabu, 26 Maret 2014

Bukan Asal Sekolah..



Tahun ini, anak saya sudah mulai masuk TK. Proses hunting sekolah ini bahkan sudah saya mulai sejak 2 tahun lalu. Saya mulai mencari informasi, menimbang-nimbang, membandingkan lalu memutuskan untuk menyekolahkan anak dimana. Saya tak mau salah pilih karena sekolah. Menurut saya, sekolah, apalagi tingkat dasar, menyumbang peran cukup penting dalam pembentukan karakter anak. Jangan sampai pola pendidikan yang kita bangun di rumah sejak anak kecil, lalu berantakan karena tak sejalan dengan pola di sekolah.
Saya dan suami sepakat untuk memilih sekolah yang mengedepankan penanaman budi pekerti dan pendidikan agama. Bagi saya sebenarnya, tak masalah jika di TK anak tak diajari calistung. Tapi memang semua TK nampaknya mengajarkan calistung karena tuntutan orang tua dan sekolah dasar yang mayoritas mensyaratkan kemampuan calistung sebagai salah satu tes masuk.
Setelah mencari sana-sini, akhirnya pilihan saya jatuh ke TK X, sebuah TK islam yang lokasinya tak begitu jauh dari rumah. Jujur saja, informasi soal TK ini saya dapat dari seorang teman. Saya tertarik karena kata teman saya itu, TK ini mengajarkan pengetahuan agama kepada murid-muridnya. Tak hanya diajarkan membaca Alqur’an tetapi juga belajar shalat Dhuha.
Biayanya memang sedikit lebih mahal dibandingkan TK-TK lain di sekitar rumah, begitupun SPP-nya. Hampir 2 kali lipat. Tapi setelah saya membaca-baca informasinya, selain kelebihan soal pendidikan agama tadi, sekolah ini pun memiliki itikad baik untuk menyelaraskan pendidikan di sekolah dan rumah. Misalnya sebelum masuk sekolah, orang tua diberi formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bagaimana pola pengasuhan anak di rumah dan bagaimana orang tua menanamkan pola pendidikan itu. Sekolah jadi memiliki gambaran tentang pola pendidikan apa yang sudah diterapkan dan menyusun strategi mengenai pengajaran anak di sekolah nantinya. Selain itu, setiap 2 bulan akan ada seminar parenting untuk membekali orang tua mengenai ilmu pengasuhan.
Beberapa orang di sekitar rumah memang sempat mempertanyakan alasan kenapa saya memilih sekolah itu,
“Kan ada yang lebih murah?.” Begitu kata mereka.
Saya maklum kalau bagi sebagian orang biaya mungkin menjadi salah satu pertimbangan utama. Saya pun begitu. Tapi saya juga tak mau mengorbankan kualitas pendidikan anak dengan asal memilih sekolah.
Sekolah berkualitas memang tak selalu identik dengan biaya mahal. Tapi harus diakui, pendidikan berkualitas seringkali memang harus ditunjang oleh sarana memadai yang notabene memerlukan biaya lebih. Alhamdulillah, saya masih bisa menabung untuk menyiapkan dana pendidikan anak saya.
Satu hal yang juga penting. Jangan sampai kita, orang tua, memilih sekolah semata karena gengsi apalagi prestise pribadi. Sebelum memilih, hendaknya kita tahu anak kita ingin dibentuk seperti apa. Ini sama dengan visi dan misi pendidikan orang tua untuk anak. Setelah itu, cari informasi sebanyak-banyaknya mengenai sekolah yang sejalan dengan visi dan misi kita itu. Pastinya, akan lebih baik jika sekolah itu biayanya terjangkau.
Lupakan komentar tak perlu dari orang lain. Komentar bisa jadi merupakan masukan. Tapi jika kita sudah yakin dengan pilihan sekolah untuk anak, kenapa harus mendengarkan apa kata orang?. Jadi, selamat memilih sekolah!







Jumat, 28 Februari 2014

Menanti Surga Bagi Pejalan Kaki



 
Source:thebestyoumagazine.com
Sebenarnya, saya ini suka berjalan kaki. Berawal saat SMP dulu, saya terbiasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah atau menuju ke tempat les begitupun sebaliknya. Alasannya untuk berhemat. Maklumlah, uang saku saya nggak seberapa padahal sebagai remaja keinginan saya banyak. Sementara, orang tua saya tak selalu mampu mewujudkan keinginan saya membeli ini-itu. Jadilah saya mengandalkan uang saku untuk membelinya. Pernah juga saya berjalan kaki karena memang uang saya telanjur habis. Kebiasaan ini terus berlanjut saat saya SMU.
Di Sukabumi, kota kelahiran saya, berjalan kaki bisa menjadi aktivitas yang lumayan nyaman. Setidaknya, sebagai pejalan kaki saya masih menemukan trotoar yang lumayan lebar meskipun di beberapa tempat sudah “dikuasai” pedagang kaki lima. Alhasil, saya tak perlu berjalan di pinggir jalan hingga tak terlalu merasa takut tertabrak mobil atau diganggu lalu lalang kendaraan bermotor.
Saat kuliah, kebiasaan berjalan kaki ini tidak tersalurkan karena memang tak memungkinkan. Jarak rumah tante, tempat saya menumpang, dan kampus lumayan jauh. Tidak mungkin saya tempuh dengan berjalan kaki. Tapi, saat saya pindah ke daerah Dago- Bandung – saya kembali menekuni “hobi” saya . Saat luang, pagi-pagi saya biasa berjalan kaki ke Dago atas atau sekedar “bertualang” mencari jalan alternatif yang jarang dilalui orang.
Pindah ke Tangerang untuk bekerja, saya kembali kehilangan kesempatan untuk berjalan kaki. Sebabnya, situasi memang tak memungkinkan. Saya sih mau-mau saja berjalan kaki. Tapi berjalan kaki di pinggir jalan Tangerang sangat tidak mengenakkan. Selain kadang tak tersedia trotoar, Tangerang yang panas dan penuh polusi bikin saya malas jalan kaki.
Yang paling memungkinkan hanyalah berjalan kaki di jalan-jalan kecil-bukan gang- yang boleh disebut sebagai semi jalan raya. Yang disebut semi jalan raya adalah jalan non-protokol, namun berukuran cukup lebar. Biasanya tak ada angkutan umum dan yang lewat umumnya hanya ojek saja.
Meskipun begitu, jalan ini tetap boleh dilewati mobil roda empat bahkan truk-truk besar karena memang cukup lebar. Jadi, meskipun bukan jalan raya, tetap saja tidak ideal untuk pejalan kaki seperti saya. Gimana tidak, sebentar-sebentar saya harus minggir, nggak ada trotoar pula. Kalau tak hati-hati, bisa-bisa saya tersenggol kendaraan bermotor atau kejeblos jalan rusak. Saya nggak tahu kenapa Tangerang punya banyak jalan macam ini karena seingat saya di Sukabumi atau Bandung tidak ada jalan semi protokol.
Tapi jujur, ada situasi yang mau tak mau membuat saya memilih berjalan kaki karena saya tak punya kendaraan kecuali jika saya dijemput atau diantar suami. Karena merasa sayang mengeluarkan uang untuk ojek, saya pun berjalan kaki. Tentunya sambil melihat-lihat situasi.
Sambil berjalan, saya membayangkan suatu hari nanti somewhere di Indonesia akan ada kota yang ramah untuk pejalan kaki dimana di dalamnya tersedia fasilitas memadai dan nyaman untuk mereka. Jalan kaki kan bisa jadi alternatif olahraga yang murah dan mudah dilakukan. Jika fasilitas itu tidak ada, jangan heran kalau orang lebih memilih naik motor atau mobil ketimbang berjalan kaki bahkan untuk jarak tempuh dekat sekalipun. Padahal, konon salah satu penyebab timbulnya banyak penyakit di usia muda adalah kurang bergerak. Kapan ya jadi kenyataan?








Rabu, 26 Februari 2014

Jepang Dalam Aroma Sake



Jepang nampaknya selalu memiliki daya tarik bagi banyak penulis. Banyak hal yang dapat dieksplorasi dari negeri Matahari terbit itu baik untuk karya fiksi maupun nonfiksi. Sebut saja Memoir of Geisha karya Arthur Golden yang sempat fenomenal pada awal 2000-an atau Musashi karya Eiji Yoshikawa. Dari ranah nonfiksi, ada buku yang mengupas tentang Yakuza maupun kehidupan Samurai.
 
The Scent of Sake adalah salah satu buku yang coba mengeksplorasi tradisi negara ini. Ditulis oleh Joyce Lebra, wanita Amerika yang ahli dalam sejarah Jepang, The Scent Sake bercerita tentang seluk beluk kehidupan pembuat sake di abad 18, yang diwakili oleh tokoh utamanya,Rie. Melalui Rie, wanita yang lahir di keluarga Omura, pembuat sake terkenal di Jepang, tergambar bagaimana tradisi dalam keluarga pebisnis sake itu sebenarnya termasuk seluk beluk persaingan bisnis tersebut.
Sebagai seorang wanita, Rie memiliki batas-batas yang tak boleh ia langkahi. Ia tak boleh memasuki gudang pembuatan sake bahkan tak berhak untuk memilih calon suami sendiri. Ia pun harus menikah dengan seorang laki-laki asing pilihan keluarga, Jihei, yang kelak akan menjadi pemimpin pengganti ayahnya. Padahal, diam-diam Rie menaruh hati pada Kaburo, seorang lelaki yang juga berasal dari keluarga pebisnis sake.
Jihei yang diharapkan dapat menjadi pemimpin dalam bisnis keluarga Rie, ternyata juga tak bisa diandalkan. Sejak awal, lelaki itu telah merasa tak nyaman dengan posisinya sebagai suami “adopsi”. Tambahan lagi, sikap Rei yang dingin membuat Jihei makin tersudut hingga ia memilih untuk melarikan kegalauannya ke rumah geisha dan menjalin hubungan istimewa dengan seorang geisha di sana.
Situasi terasa makin sulit bagi Rei karena ia tak kunjung memiliki keturunan. Kehamilan pertamanya gugur hingga terpaksa ia harus mau mengadopsi anak hasil hubungan gelas Jihei, suaminya, dan seorang geisha. Di sisi lain, kejelian dan kecerdasan Rei membuat bisnis keluarga Omura dapat tetap bertahan di tengah persaingan dan intrik.
Novel ini menggambarkan keteguhan seorang wanita Jepang dalam menjalani hidupnya. Hal ini terlihat istimewa karena pada zaman itu sehebat apapun seorang wanita, ia akan tetap terbatasi adat dan norma. Dengan segala keterbatasannya pula, Rei misalnya dengan cerdik menyampaikan idenya pada orang kepercayaan sang ayah untuk disampaikan ketimbang menyampaikan idenya langsung. Sebabnya, wanita tak diperkenankan untuk menghadiri pertemuan intern bisnis, hingga ia tak akan memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan ide-idenya itu.
 Bagi Anda penyuka novel berlatar sejarah, novel ini terasa istimewa. Selain dapat menikmati isi cerita, pengetahuan Anda tentang  sejarah Jepang kuno pun akan bertambah. Tak perlu khawatir jika Anda menemukan banyak stilah-istilah khusus berbahasa Jepang yang muncul di buku ini. Penulis dengan gamblang menyertakan catatan kaki, hingga Anda tak kesulitan memahami maknanya.

Selasa, 17 Desember 2013

Menikmati Vienna dan Paris di 99 Cahaya di Langit Eropa



Awalnya, Hanum (Acha Septriasa) membayangkan kalau hari-harinya di Vienna-Austria-dalam rangka menemani sang suami yang kuliah S3 akan amat menyenangkan. Setidaknya itulah yang ia rasakan di 3 bulan pertama. Selama itu pula, ia menikmati setiap sudut kota Vienna yang indah dan artistik untuk mengisi waktu, sementara suaminya Rangga Almahendra (Abimana Aryasatya) sibuk di kampus.

hot.detik.com

Namun tinggal di sebuah negara Eropa ternyata tak selalu indah. Sebagai pendatang ditambah identitas sebagai muslim, bukan hal mudah bagi pasangan ini untuk menjalani hari di negara tersebut. Rangga misalnya digambarkan kesulitan mencari makanan halal. Bersama Muhammad Khan (Alex Abbad) seorang Pakistan yang juga muslim, Rangga pun terpaksa harus shalat di sebuah ruangan kampus dimana penganut agama minoritas lain di kampus itu juga beribadah di sana.
Sementara Hanum mulai mengalami bosan dan kesepian. Tinggal jauh dari orang tua dan kerabat membuatnya tak punya tempat berbagi dan bercerita. Ia pun harus menghadapi sikap tetangga apartemennya yang doyan protes dan tak ramah pada pendatang sepertinya.
Namun pertemuan Hanum dengan Fatma Pasha (Raline Shah) seorang wanita berjilbab keturunan Turki yang sempat dilihatnya di sebuah toko mengubah hari dan hidupnya kemudian. Fatma, yang ternyata juga menjadi peserta kursus singkat bahasa Jerman seperti dirinya, mampu membuka mata Hanum tentang Islam dan kemuslimahannya. Bersama Fatma dan Ayesa-putri Fatma- Hanum melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Vienna. Berkat Fatma pula, Hanum dapat bertemu Profesor Marion (Dewi Sandra) seorang mualaf asal Prancis yang menemaninya menyusuri Paris dan menemukan sisi lain yang tak pernah terbayangkan dari kota itu.
Film yang diangkat dari kisah nyata Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ini  benar-benar memanjakan mata penonton dengan keindahan dua kota di Eropa-Vienna dan Paris. Film ini pun mampu merekam sudut-sudut menarik dan indah dari kedua kota itu hingga membuat mereka yang belum mengunjunginya akan berdecak kagum.
Sayangnya, keindahan visual tak  cukup membuat film ini terasa “nendang”. Jika di 15 menit pertama penonton tersihir dengan keindahan itu, di 15 menit berikutnya bisa jadi kita akan mulai merasa bosan. Kisah keseharian Hanum yang berkisar tentang kehidupan di apartemen, jalan-jalan dan kegiatannya berpetualang bersama Fatma, terasa datar dan biasa saja. Padahal, fakta yang diungkapkan Fatma tentang tempat-tempat di Vienna yang menunjukkan keagungan Islam  bisa jadi merupakan hal baru bagi penonton. Namun hampir tak ada suspense berarti yang membuat film ini terasa dinamis.
Untungnya, ada Stefan (Nino Fernandez)-teman Rangga di kampus yang mampu membuat film terasa “segar”. Stefan yang nonmuslim digambarkan sebagai mahasiswa yang terlihat cuek namun selalu ingin tahu. Ia misalnya keheranan saat melihat kerepotan Rangga mencari makanan halal-padahal daging babi menurutnya amat lezat. Saat melihat Rangga berpuasa dan bilang kalau puasa untuk mendapatkan pahala, Stefan pun sok-sokan ikut berpuasa. Kekocakan muncul saat Stefan sebenarnya sudah lemas tapi pura-pura kuat karena gengsi mengakuinya pada Rangga.
Toh kata-kata Stefan seringkali terasa menyentil. Stefan misalnya mempertanyakan kenapa Rangga selalu ngotot melakukan ini itu atas nama ketaatan pada agamanya, “Jika kamu sudah berpuasa, beribadah dan sebagainya tapi ternyata Tuhan nggak ada, kamu mau gimana?”. Sebuah pertanyaan yang sempat membuat Rangga tertegun barang sejenak. Atau saat Ayesa-gadis kecil itu mempertanyakan, mengapa Hanum tidak berjilbab padahal ia seorang muslimah. Pertanyaan ini pun sempat membuat Hanum kelabakan karena ia pun tak tahu jawabannya.
 Dialog-dialog seperti itulah yang dapat menjadi pesan penting dalam film ini.  Bisa jadi, selama ini kita merasa, menjadi muslim bukanlah hal istimewa. Ritual hanyalah sebatas pelaksanaan kewajiban namun kita gagal merasakan ruhnya. Mungkin justru saat kita menjadi minoritas lah kita dapat merasakan betapa berharganya kemusliman kita dan betapa mahalnya kesempatan melakukan ibadah perekat kita dengan Sang Khalik.
Sementara saudara kita di luar negeri sana bisa jadi mengalami berbagai hambatan untuk mempertahankan keyakinan mereka. Rangga misalnya, harus “mengemis” pada profesornya agar ia dapat mengikuti ujian setelah melaksanakan shalat Jumat. Ayesa harus mengalami ejekan karena jilbab yang dipakainya di sekolah, ataupun Fatma yang kerap ditolak bekerja lagi-lagi karena jilbabnya.
By the way, sebagai penonton saya mencoba berpikir positif. Jika sekarang film ini terasa monoton, saya berharap kejutan itu memang sengaja disimpan di sekuel keduanya. Mungkin di sekuel film ini nanti akan ada cerita menarik lain yang mampu menciptakan kedinamisan hingga keindahan Eropa yang ditampilkan di film ini terasa makin “nendang” dan bermakna...






Selasa, 19 November 2013

"Bumbu-Bumbu" Dalam Berita



Seorang artis muda mengumumkan kalau rencana pernikahannya akan ditunda. Sebabnya, calon ayah mertuanya sedang sakit dan tak memungkinkan Beliau hadir di pesta perrnikahannya itu. Ditemani pihak wedding organizer dan perwakilan keluarga calon suaminya, si artis menolak menjelaskan secara detail sakit yang diderita calon ayah mertuanya itu,
 
Gambar:1.bp.blogspot.com

“Mohon doanya saja.” Kata perwakilan pihak keluarga calon mempelai pria.
Itulah adegan yang saya tonton di sebuah acara infotainment suatu pagi. Sambil menunggu anak di kamar mandi, iseng saya meraih remote dan menemukan sebuah channel televisi. Jujur saya tak terlalu tertarik dengan berita itu. Tapi narasi untuk berita itu yang menarik perhatian saya.
Setelah menampilkan omongan si artis dan pihak terkait mengenai penundaan pernikahannya, narator kemudian mengomentarinya dengan kalimat berikut:
“Sebab penundaan pernikahan xxx telah disebutkan yaitu karena ayah calon suaminya sedang sakit keras. Namun adakah sebab lain di balik penundaan pernikahan xxx?. Entahlah..Yang jelas terdapat kejanggalan dalam konfrensi pers yang digelar itu. Pertama adalah ketidakhadiran Adam-calon suami xxx-. Dalam konfrensi pers tersebut, hanya tampak paman Adam yang mewakili pihak calon mempelai pria.”
 “Mas Adam harus mendampingi Papa yang sedang sakit karena Beliau memang sedang butuh support ya dari keluarganya.” jelas si artis menjawab rasa penasaran wartawan mengenai ketidakhadiran calon suaminya yang asal Malaysia itu.
Toh setelah adegan jawaban si artis mengenai ketidakhadiran calon mempelai pria dimunculkan, narasi berita tetap seolah ingin menggiring penonton untuk tetap bertanya-tanya,
“Yang juga janggal adalah xxx seolah ingin menyembunyikan perihal sakit yang diderita calon ayah mertuanya itu. Xxx pun menolak menjelaskan secara detail mengenai hal itu. Xxx hanya menjelaskan kalau ayah Adam sedang sakit keras di Arab Saudi.”
Saya tak melanjutkan menonton acara itu karena saya harus mengerjakan hal lain. Tapi ada hal yang menggelitik saya. Ini bukan pertama kalinya saya nonton  infotainment pagi itu  meskipun hanya sedikit-sedikit. Yang saya ingat, jika ada satu peristiwa yang ditampilkan, narasi berita seringkali mengundang penonton untuk bertanya-tanya lebih jauh. Membuat situasi yang sebenarnya adem-adem saja jadi keruh, semata karena pertanyaan “mengapa” tadi.
Misalnya, beberapa waktu lalu saya membaca di internet tentang makam almarhum ustadz Jeffry yang sudah diperbagus. Awalnya, saya tak berpikir apapun tentang berita itu dan tidak ingin mencari tahu lebih jauh. Tapi kemudian, program di sebuah televisi memperlebar peristiwa “biasa-biasa” itu dengan pertanyaan: “Mengapa Umi Tatu-Ibu Uje-memutuskan untuk memperbagus makam?Benarkah ia tak membicarakannya dengan istri Almarhum hingga Pipik merasa tersinggung?
Padahal setelah dikonfirmasi ulang, tidak ada masalah antara mereka mengenai pembagusan makam itu. Hanya ada kesalahpahaman yang bisa saja timbul karena wartawan pintar “memanas-manasi” saat mereka mewawancarai kedua belah pihak. Sepertinya, memang tidak seru kalau peristiwanya datar-datar saja. Dan mungkin memang itu prinsip sebuah berita? “bad news is good news” untuk media. Kalau bisa, telisik lebih jauh, ajukan pertanyaan yang bisa membuat narasumber akhirnya mengiyakan sebuah rumor-minimal membuat mereka terpaksa bilang “ya” atau bilang “mungkin saja.” 
Masih banyak contoh peristiwa lain yang saya tonton atau baca di tentang berbagai peristiwa. Betapa sebuah peristiwa yang tak "potensial" menimbulkan konflik bisa runyam akibat konflik yang timbul dari "bumbu-bumbu" berlebihan yang "ditaburkan" media. Ya..ya..seingat saya dalam teori yang saya baca dulu, wartawan memang bertugas untuk mencari tahu apa yang ingin khalayak  tahu. Apakah itu yang jadi alasan, hingga bumbu-bumbu itu muncul atas nama keingintahuan khalayak?. 
Sungguh ini hanya unek-unek saya. Saya tak hendak mengulasnya dari sisi teori Jurnalistik atau apapun.. Biarlah ahlinya saja yang berbicara..Ini hanya tulisan biasa dari seorang pengamat berita..