Minggu, 20 Oktober 2013

5 Ide Mengajarkan Tenses



Belajar tenses  seringkali jadi amat membosankan bagi siswa, termasuk saya saat masa sekolah dulu. Mungkin karena metode mengajarnya yang seringkali bikin ngantuk. Biasanya,  metode yang dipakai guru tak jauh dari menjawab soal atau menghapalkan rumus tenses dalam bahasa Inggris yang banyak banget itu. 
Gambar: www.uni.edu

Karena terasa membosankan, kita pun malas mempelajarinya. Padahal, tenses termasuk penting untuk dipahami meskipun ada juga yang menganggap tenses tak perlu dipelajari.
Berbekal pengalaman pribadi, saya mencari cara agar materi tentang tenses bisa lebih menarik saat dipelajari hingga mudah dipahami. Beberapa ide berikut, mudah-mudahan , bisa membantu guru saat mengajar tenses. Bisa diaplikasikan dengan modifikasi pribadi.

Moving Interview. Teknik ini dapat dilakukan misalnya saat mengajarkan Present Perfect Tense. Caranya, buat 5 sampai 10 pertanyaan menggunakan have you ever. Tulis dalam bentuk tabel seperti ini:
Questions
Yes
No
1.     Have you ever ridden a horse?
2.    Have you ever watched horror movie?
3.    Have you ever been to Bali?
4.    Have you ever treated your friend?
5.    Free question from student


Kemudian, minta siswa mengajukan pertanyaan itu satu persatu kepada sebanyak mungkin temannya di dalam kelas dalam waktu 3-5 menit. Jumlah pertanyaan dan waktu “wawancara” disesuaikan dengan jumlah siswa yang ada. Jika ada yang menjawab yes, siswa harus memberi tanda pada tabel “yes” begitupun sebaliknya tanpa harus menuliskan nama siswa yang ia wawancarai. Setelah selesai, minta siswa melaporkan hasilnya. Misalnya: Two students have ever been to Bali, one student has ever ridden a horse dan seterusnya. Ide ini amat membantu terutama untuk melatih kemampuan berbicara siswa sekaligus mempraktekkan penggunaan Present Perfect Tense dalam kalimat.

Pertanyaan Konyol. Ide ini juga dapat dilakukan saat belajar Present Perfect Tense meskipun bisa juga untuk tenses lain jika mungkin. Idenya agak mirip dengan ide di atas. Bedanya, siswa diminta membuat 5 atau lebih pertanyaan konyol. Misalnya: have you ever been ridden an elephant?, have you ever been seen ghost? dan sebagainya. Biasanya, siswa amat antusias saat diminta membuat pertanyaan macam ini. Buat tabel yang sama seperti di atas, kemudian minta siswa secara bergantian saling mewawancarai dengan satu orang teman yang ditunjuk oleh guru. Kadang, siswa yang diwawancarai akan menjawab Yes untuk satu pertanyaan konyol meskipun ia hanya pernah melakukannya dalam mimpi. Hal ini boleh-boleh saja karena tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempraktekkan tenses yang telah dipelajari. Agar bisa berjalan efektif, bisa saja guru meminta mereka melakukan wawancara ini di depan guru untuk diberi nilai.

Lagu-Lagu. Lagu bisa menjadi metode pembelajaran yang selalu menarik bagi siswa karena umumnya mereka suka mendengarkan musik. Pilih satu lagu yang sesuai dengan tenses yang sudah dipelajari. Buat teks lagunya dan kosongkan sebagian. Jika tenses yang dipelajari adalah Present Tense misalnya, tentu saja bagian yang dikosongkan adalah kata kerja atau hal-hal lain yang berhubungan dengan tenses tersebut. Putarkan lagu maksimal 3 kali. Cek isinya bersama-sama. Bisa pula mengajarkan Present Perfect Tense melalui lagu dengan men-download lagunya dari internet. Tentunya, pilih video liriknya saja. Contohnya lagu U2 berikut:

Cara ini juga dapat dilakukan untuk mempelajari materi lain misalnya saat belajar Kata Kerja (Verb), Kata Sifat (Adjective) dan sebagainya. Guru dapat mencari lagu yang cocok dari internet atau dari referensi pribadi. Sebisa mungkin, pilih lagu yang tak terlalu familiar bagi siswa. Jika tidak, bisa saja mereka malah sudah hapal teks lagu itu hingga mereka merasa tak perlu lagi mendengarkan lagunya untuk melengkapi bagian yang kosong. Ini dapat membuat proses pembelajaran menjadi sia-sia.

Action Games. Ide ini dapat dilakukan saat mempelajari Present Continous Tense. Caranya, bagi siswa ke dalam beberapa grup. Jumlah grup maupun anggotanya tergantung dari jumlah siswa yang ada. Beri 5 kata kerja, harus berbentuk action verbs, pada satu orang di grup pertama. Misalnya kata-katanya adalah:drinking, swimming, painting, touching dan peeping. Minta perwakilan kelompok itu memperagakan kata kerja yang ada. Dalam waktu 2 setengah menit, teman-teman dalam grupnya harus menebak apa yang sedang ia lakukan. Pemeraga dilarang menanyakan arti kata yang diberikan. Untuk menciptakan konteks kalimat, di setiap awal permainan guru dapat mengatakan: “what is she doing now?”. Di babak kedua, guru dapat memberikan lebih banyak kata kerja, misalnya 10, dengan waktu lebih panjang, misalnya 3 menit. 
Permainan ini biasanya amat menarik karena siswa yang memperagakan seringkali tak tahu arti kata yang diberikan hingga teman-temannya merasa gemas. Belum lagi jika siswa memperagakannya dengan gerakan yang aneh hingga mengundang tawa. Modifikasi lain, bisa saja guru kemudian meminta siswa berdiskusi untuk mencari kata-kata kerja yang akan ditebak oleh kelompok lain.  
Nonton Video. Dalam kegiatan ini, guru memutarkan sebuah video berbentuk film pendek atau lainnya. Siswa diminta memperhatikan video yang diputar dengan seksama. Setelah selesai, barulah guru memberikan tugas misalnya menjawab pertanyaan secara lengkap atau membuat kalimat. Tenses yang mungkin dipelajari adalah Past Tense, Present atau Present Continous Tense. Selain variatif, menonton video juga dapat mengajarkan konteks kepada siswa.



5 Ide Mengajarkan Tentang Jobs (Pekerjaan)

Gambar:2.bp.blogspot.com 


Salah satu materi yang diajarkan dalam pelajaran bahasa Inggris adalah tentang jobs. Di tempat saya mengajar, materi ini diajarkan di level SD kelas 2,kelas 4 dan kelas 6. Bahkan untuk level Intermediate dan Conversation Class pun, materi ini kembali dipelajari tentunya dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda.
Kalau merasa stuck saat mengajarkan materi ini, berikut beberapa ide mengajar tentang jobs yang pernah saya lakukan:

Tebak Nama Pekerjaan. Tebak-tebakan ini termasuk ampuh sebagai ice breaking di sela-sela materi. Caranya, guru mendeskripsikan satu jenis pekerjaan, kemudian siswa menebaknya. Untuk level SD, deskripsi yang diberikan dapat singkat saja terdiri dari 2 kalimat. Sedangkan untuk level siswa menengah atas, deskripsinya bisa lebih panjang dan kompleks. Jika ingin sekalian melatih kemampuan siswa, bisa juga meminta mereka membuat tebak-tebakan sendiri, baik secara individual ataupun berkelompok. Minta siswa lain menebaknya. Jika perlu, guru dapat memeriksa deskripsi yang ditulis siswa untuk mengoreksi kalimatnya.

Isi Teks Lagu. Ini dapat dilakukan untuk me-review materi untuk mengetes kosakata siswa tentang jobs sekaligus melatih kemampuan listening mereka. Salah satu lagu yang dapat dijadikan “soal” adalah lagu Shania Twain She is Not  Just A Pretty Face. Print out teks lagu itu dari internet di link http://www.englishexercises.org/makeagame/viewgame.asp?id=3292. Kemudian putarkan lagunya 2-3 kali dengan menggunakan bantuan kaset audio atau loud speaker. Secara berpasangan, minta siswa melengkapi teks lagu itu. Jika siswa merasa sedikit kesulitan, bisa saja guru memberikan clue dengan menuliskan huruf pertama dari jobs yang dimaksud. 

Bermain Games Jobs di Internet. Ide ini dapat dipakai terutama untuk anak-anak dan jika terdapat koneksi internet yang baik di tempat mengajar. Caranya, cari link di internet mengenai games jobs dengan kata kunci “games jobs for kids”. Setelah itu, pilih games yang sesuai dengan level yang kita ajar. Siswa dapat langsung bermain dengan menggunakan laptop yang ada .Ada beberapa website yang bagus untuk dijadikan referensi misalnya http://learnenglishkids.britishcouncil.org/en/category/topics/jobs.

Jumbled Words. Ide ini juga dapat digunakan untuk me-review materi untuk mengetahui apakah siswa sudah cukup mengenal nama-nama pekerjaan yang telah diajarkan atau tidak. Lebih cocok untuk siswa SD level rendah seperti kelas 2. Caranya, acak huruf dari satu pekerjaan misalnya axti ridver (taxi driver). Tulis huruf acak itu di selembar kertas atau karton. Kemudian, perlihatkan kertas atau karton itu kepada siswa dan minta mereka berkompetisi untuk menebak nama pekerjaan yang dimaksud. Bisa juga dengan mengetik jumbled words di laptop. Dengan bantuan in-focus, perlihatkan jumbled words itu dan minta siswa menebaknya. Jika kemampuan siswa agak kurang, bisa saja guru menulis soal tentang jumled words ini dan minta siswa menjawabnya secara tertulis pula. Misalnya : axti ridver _ _ _ _    _ _ _ _ _ _

Puzzle Time. Ide lain yang cukup menarik adalah dengan memberikan soal dalam bentuk puzzle. Soal dapat terdiri dari 10 nomor. Kemudian, minta siswa menulis nama jobs yang dimaksud. Jika dapat menjawab secara tepat, siswa akan dapat menebak mystery job yang tersembunyi dari huruf-huruf yang ditebalkan di setiap jobs.
Selamat Mencoba!

Sebagian ide dari New Parade 6 Longman 2005

Rabu, 14 Agustus 2013

Lebaran Sama, Lebaran Beda



 Meskipun sama-sama merayakan lebaran, ternyata tradisi merayakan hari raya dapat berbeda-beda di setiap daerah. Sebenarnya ini hanya masalah kebiasaan. Tapi karena sudah rutin dilaksanakn, kebiasaan itu dianggap “wajib” dan dianggap tidak afdhol jika tak dilakukan. 

Di keluarga saya, saat hari raya biasanya kami akan berkeliling dulu untuk menyalami tetangga sekitar rumah. Setelah itu kami akan berkumpul di satu rumah. Biasanya di rumah orang yang paling dituakan. Kebetulan, rumah kakek saya selalu dijadikan tempat berkumpul. Meskipun kakek bukan yang paling tua,  rumah kakek terhitung yang paling besar dan mudah dijangkau oleh saudara-sudara yang lain hingga tempat tinggal kakeklah yang dipilih sebagai tempat ngumpul
Karenanya, di hari lebaran semua anggota keluarga, sanak famili dan handai taulan akan datang ke rumah kakek untuk bersilaturahmi. Saya pun tak perlu capek-capek mengunjungi saudara satu persatu karena bisa dipastikan kami akan bertemu di rumah kakek pada hari pertama atau kedua lebaran. Paling-paling kami tinggal mengunjungi saudara yang tak sempat kami temui saat itu. Biasanya kami hanya punya waktu 2 sampai 3 hari di rumah karena setelah itu saya akan diajak orang tua mudik ke Sumedang tempat tinggal nenek saya dari pihak ibu. 
Setelah menikah, gambaran saya tentang lebaran sebenarnya tak jauh berbeda. Dalam bayangan saya, lebaran bersama keluarga suami yang asli Betawi pastilah tak jauh dari berkeliling untuk salaman dan berkumpul di satu rumah seperti halnya kebiasaan di keluarga saya. 
Namun semuanya tak seperti yang saya bayangkan. Lebaran pertama bersama suami malah membuat saya shock. Bagaimana tidak. Sejak pagi hingga malam saya diajak berkunjung ke rumah saudara. Bahkan kalaupun siang harinya kami sudah bertemu di satu rumah, malam hari atau esok harinya kami harus gantian mengunjungi kerabat itu.
Terbayang kan, jika ada 5 encing (sebutan untuk adik ibu atau bapak) dan 5 encang (sebutan untuk kakak ibu atau bapak) maka saya harus kembali mengunjungi ke –sepuluh encang dan encing itu meskipun kami sudah bertemu sebelumnya. Padahal yang disebut kerabat itu tak sedikit jumlahnya.
Sebenarnya, bisa saja kami tak balik mengunjungi. Tapi idealnya, kunjungan itu harus berbalas. Biasanya, saudara yang tidak sempat dikunjungi pun akan merasa kurang senang. Mungkin itu sebabnya, lebaran ala keluarga Betawi di tempat tinggal suami saya bisa berlangsung sebulan penuh karena tradisi saling balas kunjungan itu. 
Awalnya, saya pun sempat mutung karena kecapekan dan kaget. Apalagi, karena besoknya saya akan mudik ke rumah orang tua, ibu mertua "memaksa" kami untuk mengunjungi hampir semua kerabat yang dianggap penting dari jam 9 pagi sampai jam setengah sepuluh malam!. Beda sekali dengan tradisi Lebaran di keluarga saya yang sore saja sudah selesai.
Saya pikir kebiasaan saling balas kunjungan itu agak tak efektif dan terlalu memakan waktu. Untuk mayoritas masyarakat Betawi di tempat suami, mungkin tak masalah melakukan kebiasaan itu. Rata-rata mereka-terutama generasi tua-bekerja tak terikat. Misalnya, punya toko atau menggarap kebun. Tapi untuk mereka yang bekerja di perusahaan, kebiasaan ini nampaknya akan sulit dilakukan karena keterbatasan waktu. Apalagi jika harus mudik juga. 
Tapi saya tak bisa banyak protes. Itulah kebiasaan yang harus saya hormati. Setidaknya, sekarang saya sudah lebih siap mental saat Lebaran tiba dan tak mutung lagi.

Selasa, 13 Agustus 2013

Kapan Nikah?





Mayoritas orang Indonesia memang pintar berbasa-basi dan mengakrabkan diri bahkan pada orang yang baru dikenal sekalipun. Sebagian kita bisa dengan mudahnya membuka pembicaraan dan mengobrol ngalor-ngidul dengan orang baru. Apalagi dengan saudara atau sanak famili. Lihat saja  arisan atau halal bihalal pasca Lebaran. Semua orang nampak akrab dan hangat. 
Bisa jadi, sikap ramah dan welcome yang ditunjukkan itu dapat membuat orang merasa diakui, dihargai dan diterima . Tapi menurut saya, kadang sikap ramah dan suka berbasa-basi itu kadang malah jadi menyebalkan kalau tak boleh dibilang menganggu. Terutama jika pertanyaan yang diajukan tak hanya sekedar soal kabar. Saat masih lajang dulu misalnya, saya seringkali ditanya soal “kapan nikah?”. Ok lah mungkin itu bentuk perhatian. Masalahnya, saya mau jawab apa?. Bukankah jodoh itu Allah yang menentukan? Kalaupun saya sudah punya calon, apakah ada jaminan kalau kami akan sampai ke pelaminan?. Mendapat pertanyaan seperti itu, biasanya saya hanya jawab dengan , “Insya Allah doain aja..” atau cukup dengan senyum saja, beres. 
Meskipun agak sebal, saya bisa menghadapi situasi itu dengan cuek. Tepatnya berusaha untuk tak ambil pusing.  Toh banyak orang termasuk teman-teman saya yang merasa terganggu tapi tak bisa secuek saya menghadapi situasi itu. Akhirnya mereka pun memilih tak ikut acara keluarga untuk menghindari pertanyaan soal pernikahan. Kalaupun terpaksa ikut, mereka akan berusaha untuk tak membuka obrolan. Takut ditanya-tanya..! 
Setelah menikah, saya merasa sedikit “lega”. Tadinya, saya pikir saya tak bakal ditanya-tanya lagi tentang soal “kapan nikah?”. Kan sudah?. Eh..ternyata tidak juga. Setelah masa lajang terlewati, pertanyaan selanjutnya adalah “kapan punya anak?”. Kebetulan setelah menikah saya tak langsung hamil. Sebenarnya, orang tua dan mertua tak terlalu banyak tanya. Tapi tak begitu dengan yang lain. Lagi-lagi saya tak tahu harus menjawab apa. Ya..soal anak kan memang ditentukan oleh Allah juga. Saya dan suami sudah berusaha, saya pun tak menggunakan alat kontrasepsi apa pun. Kalau belum jadi juga, apa saya bisa memaksa?. 
 Yang saya sebal, kadang tanpa menunggu penjelasan, orang yang bertanya sudah bikin kesimpulan sendiri, “emang ditunda dulu ya?”. Alhamdulillah saya bisa menghadapi “ujian” pertanyaan itu dengan muka lempeng. Tapi tak urung saya pun jadi berpikir. Tak semua orang bisa bersikap sama seperti saya. Bisa jadi malah kesal atau malah jadi khawatir. Jangan-jangan memang ada apa-apanya sampai saya belum “isi” juga?. 
Saya teringat saudara saya yang sampai ngotot ingin memeriksakan diri ke dokter karena sudah 7 bulan menikah belum kunjung hamil. Padahal baru 7 bulan lho..Belum setahun. Menurut teori, kita baru boleh curiga kalau ada masalah jika sudah setahun menikah tapi belum memiliki keturunan juga. Padahal tak memakai kontrasepsi. Penyebab kengototan itu, apa lagi kalau bukan karena pertanyaan orang-orang yang “peduli”.
Sekarang, saya sudah punya satu anak. Apakah saya tak ditanya-tanya lagi?. Tidak juga. Pertanyaan yang sering saya terima sekarang adalah,“kapan nambah?”. “Masa anak udah besar masih satu aja?”. “Mumpung masih muda, nambah lagi dong..”.  Saya jadi membayangkan. Bagaimana jika misalnya, kita melontarkan pertanyaan serupa pada orang lain. Padahal, orang yang ditanya itu bukannya tak mau punya anak lagi. Misalnya, dia atau pasangannya mengidap sakit tertentu yang menyebabkannya tak lagi bisa punya keturunan atau sulit punya momongan lagi. Apakah dia harus menjelaskan ke setiap orang sebab dia belum punya anak padahal mengingatnya saja mungkin sudah membuatnya enggan?
Saya pun belajar satu hal. Kadang, kita merasa apa yang kita tanyakan dalam sebuah obrolan adalah bentuk kepedulian dan keakraban. Tapi, alangkah baiknya jika kita memilah dulu pertanyaan apa yang akan kita lontarkan. Apalagi jika orang yang kita ajak bicara belum terlalu akrab dengan kita.
Saya ingat budaya barat yang bahasanya saya pelajari. Saat saya belajar bahasa Jerman dan Bahasa Inggris, dosen dan pengajar saya mewanti-wanti untuk tidak menanyakan soal “berapa jumlah anak Anda?” pada orang yang kita ajak bicara. Itu dianggap tidak sopan. Pertanyaan itu baru bisa diajukan saat kita sudah sangat akrab. Itupun bukan wajib ditanyakan, lho. Boleh ditanyakan. Artinya jika tak perlu, tak usah dilontarkan.
Lalu, apa jawaban saya saat ditanya “kapan nambah anak?”. Cukup jawab dengan “Insya Allah.” Atau dengan tersenyum saja. Meskipun sebenarnya, tak dijawab pun tak apa-apa. Saya yakin deh, setelah saya punya dua anak bukan berarti tak bakal ada lagi pertanyaan buat saya. Bisa jadi pertanyaannya menjadi: “Anaknya dua doang?Ngirit banget?. Nambah dong..”..Bahkan setelah anak dewasa, pertanyaan nya pun masih ada saja:” Kapan anaknya nikah?”..Kapan selesainya?