Selasa, 16 April 2013

Bahasa Arab..Oh..Bahasa Arab



 
Gambar: www.cintaqur'an.com
Sudah lama saya ingin belajar Bahasa Arab. Niat awalnya sih karena saya ingin menghapal qur’an. Saya rasakan, ketika saya tahu sedikit artinya terasa lebih mudah pula bagi saya untuk menghapalnya.
Sebenarnya saya pernah belajar bahasa Arab di madrasah dulu. Dulu...banget saat saya masih sekolah dasar. Tapi karena tak terpakai, kosakata dan grammar bahasa Arab yang dulu sempat saya kuasai jadi hilang.
Alhamdulillah saya berkesempatan untuk belajar bahasa Arab lagi sekarang. Bersama beberapa beberapa ibu-ibu, saya belajar setiap Kamis pagi. Sebenarnya saya termasuk murid baru karena beberapa ibu itu sudah belajar lebih dari setahun.
Bengong-bengong sih sok pasti. Apalagi karena mereka sudah belajar lama, kosakata mereka juga sudah lumayan. Tapi saya tak pantang menyerah. Pokoknya belajar dulu lah..Bingung-bingung sedikit tak apa..
Sebenarnya saya sudah tahu kunci menguasai satu bahasa asing. Saya sudah pernah belajar bahasa Jerman yang dulu juga sama sekali baru buat saya. Pada dasarnya, setiap bahasa punya ciri khas sekaligus punya persamaan dengan bahasa lain. Persamaan itulah yang memudahkan saya untuk menguasai bahasa itu. Selain itu, jika kita ingin bisa berbicara dalam bahasa asing itu, mau tak mau kita harus menambah kosakata kita selain tak segan mempraktekkan bahasa itu dalam percakapan sehari-hari.
Masalahnya, saya tidak-tepatnya belum- bisa mempraktekkan hal yang sama seperti saat saya belajar Bahasa Jerman dulu. Pertama, mungkin karena situasinya. Sekarang saya memiliki waktu yang lebih terbatas untuk memfokuskan diri belajar bahasa asing ini. Bahkan untuk sekedar mengerjakan PR yang cuma beberapa nomor saja, saya harus mencuri-curi waktu di sela kegiatan di rumah dan di tempat kerja. Tak heran juga kalau saya susah bisa. Soalnya saya hanya membuka buku bahasa Arab seminggu sekali, sebelum jam kursus dimulai ha..ha..
Kedua, mungkin juga karena faktor U hiks..Rasanya kemampuan saya mengingat sudah sangat jauh berkurang dibandingkan dulu. Makanya, saat ada kata-kata baru yang saya dapat dari guru, tak selalu saya cepat mengingatnya meskipun sudah saya tulis dan hapalkan berkali-kali.
 Belum lagi soal lain. Saat saya luang, tiba-tiba anak saya tak bisa ditinggal. Kadang jika tak bisa ditinggalkan saya pun harus membawanya ke tempat belajar. Jika sudah begitu, bawaan saya pasti lebih banyak. Selain buku les, saya harus membawa mainan, persediaan makanan dan minuman, buku cerita atau apapun yang bisa membuatnya tak bosa selama menunggui saya belajar.
Kalau soal anak teratasi, artinya dia bisa saya tinggal bersama neneknya, hambatan bisa muncul dari diri saya sendiri. Entah saya sakit atau ada pekerjaan rumah yang tak bisa saya tinggalkan. Itulah lika-likunya belajar setelah jadi ibu-ibu..Perjuangannya luar biasa..
Tapi, saya tak boleh mundur. Kalaupun tak sampai mahir, setidaknya saya bisa memahami percakapan sederhana. Keinginan yang tak terlalu muluk untuk seorang ibu yang jadi murid lagi kan?


Senin, 15 April 2013

Siapa Peduli Budaya Kita?



Seorang Bapak yang bekerja sebagai Dosen di sebuah Universitas negeri di Aceh sedang resah. Tak ada lagi orang Aceh yang mau membaca hikayat Aceh. Padahal, hikayat yang ditulis dalam aksara Arab Melayu/Jawi, berbahasa Aceh dalam bentuk sanjak itu  telah ia terjemahkan, ia cetak dan pasarkan dengan harga amat murah.

Di toko buku ia jual buku-buku hikayat itu dengan harga RP.1400 per buah. Toko kemudian menjualnya Rp.3000. Dengan harga itu, penjualannya ternyata tetap saja seret. TA Sakti, begitu nama Bapak ini, merasa masa keemasan hikayat memang telah berakhir,
“Orang lebih suka menonton televisi.” Katanya. 
Padahal dulu, hikayat biasa dibacakan di mushala-mushala, di pesta kenduri hingga saat kelahiran dan kematian. Rumah-rumah pun biasa menyimpan hikayat sebagai warisan turun temurun. Ia memang sebuah warisan budaya tak terhingga. Tak hanya berupa puji-pujian, hikayat pun dapat berisi nasehat bahkan kritik terhadap pemerintahan saat hikayat itu dibuat. 
Hikayat juga merupakan catatan sejarah karena banyak diantaranya yang menceritakan keadaan Aceh di masa lalu seperti soal kondisi masyarakat Aceh yang mengalami dekadensi moral.Karenanya, hikayat menurut TA Sakti lagi, dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Ada kearifan yang bisa diperoleh disana. 
Tak heran jika Bapak ini amat galau melihat ketidakpedulian masyarakat Aceh saat ini terhadap hikayat,
 “Padahal, masyarakat Aceh akan kehilangan besar jika hikayat benar-benar hilang.” Kata TA Sakti seperti yang diceritakannya kepada KOMPAS, Minggu 7 April 2013.
Kegalauan yang sama juga saya rasakan saat suatu hari saya membaca sebuah majalah berbahasa Sunda yang dibeli Mama. Jujur saya sempat kaget sekaligus bersyukur karena MANGLE-majalah itu- ternyata masih hidup. Meskipun sungguh membaca isinya membuat saya prihatin lagi karena terlihat sekali betapa majalah ini begitu terengah-engah menghidupi dirinya.
Sayembara Teka Teki Silang misalnya “hanya” berhadiah Rp.10.000 rupiah per orang untuk 3 orang pemenang. Bahkan mungkin ongkos untuk mengirim jawabannya ke kantor pos pun bisa lebih dari itu. Jikapun ada hadiah untuk Sayembara Lomba Mengarang Cerita Sunda yang berhadiah lumayan besar, itupun “sumbangan” dari perorangan.
Saya tak tahu berapa honor yang diterima para penulis untuk setiap tulisannya yang dimuat di majalah itu atau gaji yang diterima redaksi. Atau malah mungkin tak dibayar sama sekali? Mama saya bilang, nampaknya MANGLE bisa tetap hidup karena masih adanya orang-orang yang mencintai bahasa dan sastra Sunda. Ibaratnya, merekalah yang menjadi penyemangat redaksi MANGLE untuk terus menerbitkan majalah yang hanya berharga 10.000 rupiah ini. 
Sedih..jika mengingat betapa harga satu porsi bakso pun bisa lebih mahal dari harga satu eksemplar majalah ini. Bahkan, untuk mendapatkan MANGLE pun saya harus pergi ke agen. Tak semua lapak koran menjualnya.
Melihat ini, rasanya tak salah jika saya segalau TA Sakti. Saya khawatir jika ini terus berlangsung lama-lama MANGLE akan mati dan tak terbit lagi. Padahal, MANGLE bisa dibilang menjadi salah satu pelestari bahasa Sunda. Saya ingat, betapa dulu saya mendapat materi dan kosakata bahasa Sunda lewat majalah ini karena di sekolah saya mempelajari bahasa Sunda. 
Kini saat bahasa Sunda sudah jarang digunakan, saya makin tak yakin kalau majalah MANGLE dibaca anak-anak muda. Jangan-jangan, pembacanya malah hanya generasi Mama atau paling muda generasi saya..?. Lalu, apakah bahasa Sunda akan ikut punah seperti nasib ratusan bahasa daerah lain yang telah hilang karena tak lagi dipelajari dan dipakai masyarakatnya? 
Saya pun galau lagi..Segalau Bapak TA Sakti yang tertatih sendiri menjaga hikayat Aceh...

Jumat, 29 Maret 2013

Tak Bakat Jualan?



Berkali-kali saya diajak teman untuk mengikuti MLM atau semacamnya. Pekerjaan yang kalau saya ingin terus memperoleh pemasukan maka saya harus mencari downline atau anak buah. Berkali-kali pula saya menolak secara halus atau pun menolak langsung.

Terakhir saya ditawari teman sebuah pekerjaan part time yang konon sangat mudah dan bisa dikerjakan sambil momong anak di rumah. Saya tinggal bayar beberapa puluh ribu rupiah plus fotocopy KTP untuk menjadi anggota. Setelah ia menerangkan lebih jauh ternyata pekerjaan yang ditawarkan itu menurut saya semacam MLM juga. Meskipun aktivitasnya disebut bisnis online dan kita mengontrolnya lebih banyak secara online juga.

Caranya, setelah membayar sejumlah uang tadi kita akan memperoleh produk. Kemudian kita akan belajar bisnis online dan produk yang dipasarkan adalah produk itu. Kalau saya tak bisa jualan, kata teman saya lagi, saya bisa membeli produk itu sendiri, 

 “Temanku ada yang keluar dari pekerjaan untuk fokus di sini, lho. Lumayan kok penghasilannya bisa diandalkan.” Katanya meyakinkan.
 Jujur, bukan besar kecilnya penghasilan yang semata jadi pertimbangan saya. Tak tahu kenapa, saya kok merasa kurang pas kalau harus jadi “marketer”, yang harus “berjualan” atau mempromosikan suatu produk agar orang tertarik membelinya. Saya tipe orang yang tak pintar membujuk. Saya juga tak ngotot agar orang mau melakukan apa yang saya mau. Kalau mau silahkan, kalau tidak, ya sudah ha..ha..

Dalam beberapa hal, sikap saya yang terlalu lempeng itu memang terkesan tanpa ambisi. Apalagi mungkin jika saya terjun ke dunia marketing. Dalam bayangan saya, sifat dasar seorang “marketer” adalah pantang menyerah mempromosikan produknya agar menarik minat konsumen, pintra bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan orang lain. Dan itu bukan saya banget..! 
 Bahkan saya membayangkan kalau misalnya saya bergabung dalam sebuah produk MLM, mungkin saya bakal terus berada di level bawah karena jumlah downline saya nggak nambah-nambah..!. 

Karena itu, saya salut jika menemukan orang yang pintar membangun “hierarki” dengan downline amat banyak sampai ke level Gold. Saya pernah membaca kisah para agen asuransi sukses termasuk seorang ibu muda yang mampu memperoleh penghasilan amat besar dari kepiawaiannya “menjual” berbagai produk asuransi. Ibu ini telah mulai menjadi agen sejak tahun 90-an saat orang belum terlalu familiar dengan asuransi apalagi dengan agen asuransi. Karena keuletannya, ia berhasil mencapai super top level dan dinobatkan sebagai agen terbai

Saya salut karena saya tak yakin bisa sepiawai itu. Jangankan dapat downline. Untuk jualan produk sederhana saja yang tak mewajibkan saya mendapat “bawahan”, saya masih merasa sungkan. Pernah saya ingin mencoba bisnis dengan berjualan kue pia. Maksudnya ingin menjajal hal baru yang berbeda dengan  pekerjaan dan hobi saya selama ini. Belum-belum, suami saya malah bilang,

“Udahlah..Ummi nulis aja..” katanya saat saya minta dimodali.

Sudahlah..Akhirnya saya jadi berpikir kalau jualan memang bukan jalan saya. Tapi jika dipikir lagi, seperti apapun keberhasilan orang, jika saya merasa tak sreg di bidang itu, kenapa saya harus memaksakan diri?. Saya percaya, suatu pekerjaan yang dijalani dengan hati dan passion akan lebih membahagiakan pekerjaan yang dijalani dengan setengah hati saja. Naifkah?