Sumber:sukabumiupdate.com |
Wanita itu marah besar dan menangis,
melihat anak laki-lakinya mendadak bertato!. Sang ayah yang seorang selebriti
itu pun ikut marah dan tak kalah terkejutnya. Dengan mimik tak berdosa, sang
anak berkilah “Ini hanya ekpresi seni, Ma.”
katanya. Puncaknya, sang Mama mengusir si anak karena perbuatannya itu. Melihat
itu, sang anak akhirnya mengaku kalau tato itu hanya tempelan dan bisa hilang.
Sang Mama kena prank!
Adegan di atas menjadi salah satu konten channel YouTube anak seorang selebriti
terkenal, telah ditonton jutaan kali dan banyak yang memberi jempol tanda suka.
Jika diperhatikan, tak hanya dia yang pernah mengunggah konten serupa. Prank nampaknya menjadi salah satu ide
konten andalan. Mudah menarik penonton, kemungkinan besar akan disukai banyak
orang dan akhirnya menggiring mereka untuk meng-subscribe. Inilah yang dicari, popularitas dan follower yang banyak. Tak peduli isinya hanya mengekor atau
berakibat fatal, siapa peduli?
Masih ingat kasus sembako sampah yang
dilakukan Ferdian Paleka? Youtuber
muda ini membagikan “bingkisan” kepada para waria di sebuah jalan di Bandung.
Setelah dibuka, isinya ternyata sampah, yang salah satu pelapor sebutkan berisi
tauge busuk dan batu-batu. Ironisnya, Ferdian mengaku itu hanya prank yang diunggah untuk konten YouTube-nya. Walaupun sempat ditangkap
dan ditahan, Ferdian dan teman-temannya itu akhirnya dibebaskan.
Awal
Mula Prank
Jika ditelusuri, prank mulai ada di barat sana sejak tahun 70-an dalam bentuk prank call atau crank call, dilakukan dengan menelepon seseorang dengan maksud
mengerjai. Yang ditelepon bisa publik figur baik selebriti dan tokoh-tokoh
penting atau nonselebriti. Di Indonesia,
konsep ini diadopsi oleh sebuah radio swasta kemudian dibuat program TV-nya
dengan konsep serupa bernama Ups Salah.
Bertahan cukup lama, program ini berhasil mengerjai banyak orang juga selebriti
hingga tak jarang mereka menangis dan marah. Saat itulah para kru akan keluar
dari tempat persembunyian mereka dan menghampiri korban sambil berseru “Ups, salah!”
Sementara di televisi, program TV berkonsep
prank yang cukup digemari dibuat oleh
MTV dan Aston Kutcher sebagai host.
Program bernama Punk’d itu awalnya
hanya menyasar orang umum. Namun candaan mereka membuat salah satu korban tak
terima hingga mereka dituntut ke pengadilan. Konsep program kemudian berubah,
mengerjai selebriti sementara host
akan mengawasi melalui layar di satu tempat tersembunyi. Saat target mulai
marah, kesal dan bingung, host akan
muncul menghampiri sambil berseru, “You
got punked!”
Entah siapa yang memulai, prank kemudian mulai mengisi konten-konten
YouTube para selebriti atau YouTuber dengan banyak pengikut. Bentuk prank bisa bermacam-macam dengan
“korban” beragam. Umumnya mengerjai
orang-orang terdekat seperti anak, asisten, manager,
bahkan orang tua. Ada pula yang mengerjai namun dengan maksud memberi kejutan
misalnya memesan makanan melalui aplikasi, pura-pura tak memesan dan menolak
membayar hingga pengantar bingung dan kesal. Saat itulah pelaku prank memberitahu ia hanya berpura-pura,
membayar dan memberi uang lebih, bahkan memberikan makanan yang dipesan kepada
pengantar.
Aksi kejahilan ini juga merambah televisi kita.
Setelah prank call ala program Ups
Salah tak lagi tayang, Tim Kreatif program-program Tv mulai melakukan aksi prank yang “dikemas” lebih serius. Ada
yang bahkan bekerja sama dengan pihak
kepolisian, berpura-pura menginspeksi tas para pemain dan menuduh salah satu
dari mereka sebagai pemakai narkoba!. Padahal sebelumnya, bubuk yang sebenarnya
garam itu memang telah dimasukkan ke tas yang bersangkutan. Aksi ini bahkan
dilakukan saat program tayang secara live.
Cuma
Bercanda?
Walaupun dimaksudkan sebagai bentuk candaan,
mengerjai dan sekedar lucu-lucuan,
menurut saya prank jadi condong pada
sebuah kebohongan bahkan banyak yang lepas kontrol tanpa memikirkan akibatnya. Yang
penting menghibur, tak peduli walaupun korban yang dikerjai sedih, kaget, marah
atau sampai pucat pasi.
Tapi, pernahkah terpikir akibat aksi itu
pada korban? Maksudnya hanya bergurau kalau “kamu bukan anak mama papa”. Namun
saat si anak sudah merasa terpukul dan sedih, sejurus kemudian orang tuanya
bilang, “cuma prank”. Pernahkah
terpikir bagaimana perasaan si anak dikerjai seperti itu? Belum lagi anak akan
berpikir kalau membohongi dengan maksud bercanda adalah syah-syah saja.
Saya pernah menonton konten YouTube seorang selebriti yang bermaksud
menge-prank anaknya, mengabarkan
kalau anaknya itu hanya anak pungut. Lucunya si anak tak percaya bahkan
berkata, “Papa mama kan selama ini
dikenal suka nge-prank. Aku nggak percaya, Jangan-jangan ini juga cuma prank.”
Saya membayangkan, betapa tak
berwibawanya orang tua jika sudah dicap anak seperti itu. Bahkan ketika kita
nampak serius dan berbicara hal yang juga serius, anak sendiri tak percaya
karena menganggap itu hanya prank
atau candaan!
Ketika aksi kejahilan ini diunggah ke
sosial media atau televisi dan ditonton banyak orang, siapa menjamin kalau tak
ada anak-anak dan remaja yang menontonnya? Ini malah menjadi inspirasi
keburukan bagi mereka, menganggap kalau mengerjai atau membohongi siapapun
tidak masalah. Tercatat aksi-aksi prank
yang dilakukan masyarakat umum, tentunya karena terinspirasi oleh apa yang
mereka lihat di media. Seorang wanita di
Bone Makasar misalnya berpura-pura sesak nafas dan kejang-kejang, mengaku
terkena covid 19. Karuan saja para tenaga medis di rumah sakit panik.
Belakangan, wanita itu mengaku kalau itu hanya prank!. Malang, akibat
perbuatannya mengerjai orang itu, ia harus berurusan dengan polisi. Kalau sudah
begini, apakah masih bisa disebut bercanda dan menghibur?
Tidak
Kebablasan
Walaupun hanya bermaksud untuk bercanda,
hendaknya konten prank tidak kebablasan.
Hindari ide prank yang terkesan menghina,
melecehkan, merendahkan atau menakuti. Bahkan jika bisa, lebih baik cari saja
ide konten yang lebih kreatif dan bermanfaat. Jangan sekedar mencari jempol dan
pengikut karena apapun yang kita lakukan tentu harus bisa kita
pertanggungjawabkan kepada yang Maha Kuasa.
Lebih jauh lagi, pelaku dan media yang
melakukan aksi ini sebenarnya tengah membangun budaya gemar dibohongi dalam masyarakat
lalu menganggapnya sebagai hiburan semata. Tahu bahwa itu bohong, tapi kita
malah menikmati bahkan memberi like
dan subscribe.
Saya yakin, prank bukan satu-satunya ide konten yang bisa menarik penonton dan
disukai. Banyak YouTuber yang
digemari karena konten positif mereka bukan semata karena sensasi apalagi aksi
jahil semata. Jika pun hendak memberi kejutan positif, apakah harus selalu
didahului aksi prank?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar