sumber: jatim times |
Mei lalu, jagat maya sempat ramai soal koran
harian The Jakarta Post yang akan berhenti terbit. Rumor berjudul Sayonara The Jakarta Post itu muncul setelah
surat internal koran tersebut bocor ke publik. Tanpa menjelaskan detail isi
surat tersebut, Pemimpin Redaksi The
Jakarta Post, Nizar Patria menyebutkan judul surat itu telah diubah
dan kemudian beredar di media sosial.
Walaupun memastikan koran berbahasa Inggris ini tetap terbit, Nizar mengakui
kondisi perusahaan memang sedang tak baik. Selain preferensi pembaca yang lebih
condong pada media online saat ini, situasi
tak menentu karena pandemi juga membuat perusahaan harus melakukan efesiensi
untuk menekan biaya operasional. Mereka pun hendak melakukan transformasi ke
format digital yang saat ini dianggap lebih menjanjikan (Tempo.co.id)
The Jakarta Post bukan lah satu-satunya media cetak yang
mulai kembang kempis menghadapi situasi ekonomi yang tak menentu akibat
pandemi. Apalagi sejak sebelumnya, media cetak memang telah lama terpuruk
akibat gerusan zaman. Penyebabnya, kecenderungan orang saat ini yang lebih suka
mengakses informasi melalui media online
atau media lain selain media cetak.
Tahun
2014, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pernah melakukan survei dengan pertanyaan:
“Dari mana Anda mendapatkan berita dan
informasi?” Survei itu menunjukkan 79% responden menjawab televisi, 8% internet,
2 % radio dan 11% membaca koran. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada
responden yang hanya terdiri dari Generasi Z- generasi yang lahir di rentang
waktu tahun 1998-2010. Hasil yang ditunjukkan ternyata sedikit berbeda. Hanya
14,4% yang menjawab televisi sebagai sumber akses utama informasi. 83,6% memperoleh
informasi dari internet dan hanya 1,7 % yang membaca koran (tirto.id).
Preferensi
khalayak yang berubah itu memaksa banyak media cetak untuk beralih ke format online, tetap terbit 2 versi- online dan cetak - namun edisi cetaknya
dibuat terbatas atau malah tutup sama sekali. Majalah wanita Femina misalnya yang semula
terbit seminggu sekali, sejak 2017 terbit 2 mingguan bahkan kini terbit hanya
sebulan sekali dengan oplah terbatas. Koran
Tempo berhenti terbit di daerah dan hanya terbit di Jabodetabek. Mereka pun menghentikan penerbitan Koran Tempo Edisi Minggu dan kini lebih fokus pada media online. Koran Sindo yang
bernaung di bawah MNC Grup menutup kantornya di Yogyakarta. Media lain yang
juga memutuskan untuk berhenti terbit atau beralih ke media online selama kurun waktu 5 tahun terakhir
ini di antaranya adalah Sinar Harapan, Tabloid
Bola, Reader’s Digest, Tabloid Cek & Ricek, The Rolling Stone Indonesia, Jakarta Globe, majalah Kawanku dan majalah HAI.
Agen Koran Hidup Makmur
Menarik cerita ke belakang, media cetak
sempat mengalami masa jaya terutama di tahun 80-90an. Saat itu, agen koran
sangat makmur. Satu koran harian bisa beroplah sampai ratusan ribu eksemplar
begitu pun majalah berita atau hiburan. Agen koran dan majalah bisa hidup berkecukupan
begitu pun para pedagang dan loper bisa mencari nafkah dari berjualan koran dan
majalah saja.
Kini, jika kita mampir ke agen koran,
situasinya tak seramai dulu. Para agen mengakui oplah koran- media cetak yang
paling banyak diakses selama ini- menurun drastis dan tentunya berpengaruh pada
penghasilan mereka. Begitupun para loper atau pedagang koran dan majalah. Coba
saja iseng menghitung, ada berapa penjual koran yang masih bertahan di sekitar
rumah kita. Bisa jadi, keberadaannya kini semakin sulit ditemukan.
Para ahli teori komunikasi sesungguhnya
sudah memprediksi ini akan terjadi meskipun tak menyangka akan terjadi secepat
ini. Namun menurut para pengamat, kecenderungan masyarakat yang berubah untuk
mengakses informasi adalah konsekuensi logis dari kemajuan teknologi. Kini,
orang tak lagi mau bersusah payah mencari penjual koran atau menunggu koran datang, lalu membacanya di
atas kursi sambil membolak baliknya. Generasi kini lebih suka sesuatu yang
cepat dan mudah. Cukup membuka gadget,
lalu mengakses informasi sambil rebahan di atas kasur atau bermalasan di sofa.
Bagi sebagian orang, media cetak mungkin
masih menjadi andalan untuk memperoleh informasi. Namun jika ingin tetap
bertahan, media memang mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan tuntutan
zaman. Mereka yang bertahan adalah yang mampu dengan tanggap melakukan adaptasi
itu selain media-media yang berafiliasi pada perusahaan besar dan memiliki
modal mapan.
Sayonara media cetak? Mungkin saja. Namun
sejatinya, informasi akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Apapun bentuknya,
hendaknya para pelaku media dapat belajar dan bergerak cepat untuk
menyediakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar