“Cuma begitu, aja?” begitu komentar netizen setelah menyimak siaran
pers resmi Kemendikbud tentang pembelajaran tahun ajaran baru di masa pandemi. Diputuskan,
sekolah-sekolah di 94% daerah dalam zona kuning, orange dan merah melanjutkan pembelajaran
online. Apabila daerah tempat
sekolah bersangkutan telah menjadi zona
hijau (bebas covid), barulah boleh dilakukan pembelajaran tatap muka. Sisanya
sebanyak 6% sekolah di daerah berzona hijau diperbolehkan untuk melakukan
pembelajaran tatap muka. Namun ada syaratnya. Meskipun sekolah bersangkutan telah
berada di zona hijau, tetap diperlukan persetujuan dari pemerintah daerah
setempat, sekolah dan orang tua siswa untuk mulai membuka sekolah dan melakukan
pembelajaran tatap muka.
sumber; sumeks.co |
Banyak yang kecewa
karena menurut mereka tak ada yang baru dari keterangan Pak Menteri soal
bagaimana kebijakan pemerintah tentang belajar di masa pandemi. Banyak hal detail yang luput dari pembahasan,
misalnya soal bagaimana penerapan pembelajaran online di daerah yang belum
terjangkau internet, apakah tarif internet mendapat potongan dari pemerintah,
bagaimana kebijakan pemotongan biaya SPP bagi siswa sekolah dan universitas dan
seterusnya.
Sayangnya, saat siaran
langsung itu, saya tak banyak mendapat jawaban yang jelas dari kementrian
terkait mengenai apa dan bagaimana pembelajaran anak di tahun ajaran baru ini.
Rasanya jawaban yang diberikan terlalu teoritis.
Perlu
Bimbingan Orang Tua
Sejak diharuskan belajar
di rumah, dalam waktu amat singkat orang tua dan anak harus melakukan banyak
penyesuaian. Bagi anak, lingkungan sekolah dan rumah sebagai tempat belajar
tentu berbeda. Kondisi dan situasi rumah tak selalu sekondusif di sekolah. Belum
lagi di rumah, anak tak dapat bertemu dan berinteraksi langsung dengan guru dan
teman-temannya. Bagi sebagian anak, hal ini dapat memengaruhi kondisi
psikologis dan semangat mereka.
Bagi orang tua,
pembelajaran online berarti belajar
hal baru! Banyak orang tua yang gaptek.
Belum atau tidak familiar dengan kirim mengirim email, google classroom, virtual
meeting, mengirim tugas dengan
aplikasi tertentu dan seterusnya. Tentu tak selalu mudah bagi para orang tua
untuk mempelajari hal baru ini dalam waktu singkat. Saya ingat, di awal
pembelajaran, ada saja orang tua yang bolak balik bertanya pada para guru soal
bagaimana membuka file tugas yang
dikirim ke google classroom, bagaimana
cara mengisi dan mengirimkan file itu
kembali, bagaimana men-download file dokumen ke laptop dan sebagainya. Kalau
anaknya sudah cukup besar misalnya kelas 5 ke atas, orang tua bisa saja meminta
mereka mengerjakannya sendiri tanpa banyak didampingi. Namun bagi mereka yang
anaknya masih usia SD apalagi tingkat awal, tentu orang tua harus full membimbing dan mengawasi.
Kerepotan makin
bertambah ketika orang tua masih harus bekerja ke luar hingga tidak bisa
mengawasi langsung pembelajaran anak di rumah. Terutama para ibu ya. Banyak
yang harus bolak balik menelepon ke rumah untuk menyampaikan apa yang harus
dilakukan anak hari itu karena informasi dari sekolah dikirimkan ke nomor
ibunya, sementara ia harus ke kantor. Belum
lagi jika anak ada lebih dari 1 dan harus melakukan pembelajaran streaming secara bersamaan. Orang tua
harus menyiapkan fasilitas berupa gadget
pendukung seperti laptop, ipad atau handphone, menyiapkan kuota juga menyiapkan
tempat yang berbeda agar setiap anak fokus dengan pembelajarannya. Jangan tanya
pusingnya emak yang masih punya anak bayi dan batita. Rasanya hari para emak semakin
padat saja. Di hari biasa saja sudah sulit mencari waktu me-time, setelah belajar online
bisa sekedar duduk sebentar saja sudah luar biasa J
Kendala lain, tentu saja
berhubungan dengan kuota dan sinyal. Orang tua harus merogoh kocek lumayan
untuk menyediakan paket data yang cukup. Sekali virtual learning secara online
dengan durasi minimal 1 jam saja membutuhkan kuota lumayan. Kalikan dengan kuantitas
pertemuan dalam seminggu plus jumlah anak. Sinyal juga dapat jadi penghambat.
Pernah terjadi, beberapa kali teman anak saya tak bisa join meeting online karena terkendala sinyal yang byar pet padahal gurunya hendak
memberikan materi cukup penting. Untuk soal ini, kadang memang tak bisa selalu
kita kendalikan.
Saya tak bisa
membayangkan bagaimana anak-anak di daerah pedalaman yang tak terjangkau
internet. Saya menonton di TV, mereka harus mencari tempat yang lumayan jauh
agar dapat sinyal. Bagaimana pula anak-anak di sekolah dengan orang tua
berpenghasilan kurang memadai yang boro-boro punya handphone android? Banyak sekolah yang lalu hanya menugaskan siswa
mereka mengerjakan Lembar Kerja Siswa sekedar agar anak ada kegiatan
belajarnya. Malah, ada pula guru yang sukarela berkeliling rumah murid-muridnya
untuk mengajar karena tak mungkin melakukan pmebelajaran online.
Butuh
Aturan Teknis
Jika pemerintah menetapkan
pembelajaran online terus berlanjut, menurut
saya, perlu dibuat aturan teknis agar semua sekolah dan universitas serta
instansi pendidikan lainnya punya gambaran pasti apa yang harus dilakukan.
Misalnya:
1. Apakah sekolah
harus menyediakan dana tambahan untuk para guru agar mereka dapat membeli kuota
internet? Saya banyak mendengar dan membaca, para guru ini ada yang harus
menyisihkan dana dari gaji mereka untuk membeli kuota demi keperluan mengajar.
Sekolah tak menyediakan dana untuk men-support
mereka. Padahal, tak selalu gaji guru cukup untuk memenuhi pos tambahan
pengeluaran.
2. Bagaimana dengan para murid -
mayoritas bersekolah di sekolah negeri- yang tak punya fasilitas gadget atau ekonomi yang memadai namun
belum memungkinkan untuk belajar tatap muka? Apakah ada alternatif pembelajaran
lain atau kah pemerintah mengharuskan sekolah membantu penyediaan fasilitasnya
dst?
3. Apakah beban kurikulum yang
diberikan untuk pembelajaran online
masih sama dengan pembelajaran tatap muka? Mengingat waktu pembelajaran online di rumah tidak bisa disamakan dengan
watu di sekolah. Selain itu,tidak semua orang tua punya waktu dan kemampuan
yang sama untuk mendampingi dan membimbing anak mereka selama belajar di rumah.
4. Bagaimana juklak untuk anak-anak PAUD,
TK dan Sekolah Dasar yang baru masuk kelas 1 di tahun ajaran ini? Jika biasanya
para guru yang dapat membimbing mereka di sekolah untuk pengenalan materi pembelajaran,
bagaimana dengan di rumah? Sejauh mana peran yang perlu orang tua lakukan untuk
mendukung anak-anak baru ini?
5. Apakah ada pengurangan biaya
internet- bekerjasama dengan Kominfo- selama pembelajaran ini, atau bahkan
digratiskan sementara?
6. Bagaimana kebijakan pengurangan SPP
dan sebagainya bagi para siswa yang kurang mampu, mengingat banyak pula orang
tua yang tak lagi berpenghasilan saat pandemi ini?
Saya yakin, masih banyak
daftar pertanyaan yang belum terjawab oleh pemerintah mengenai pembelajaran online ini. Saya hanya berharap, jangan
sampai semua hal dibebankan ke sekolah hingga sekolah kesulitan dan kebijakan
bisa jadi berbeda di tiap sekolah. Ini malah menimbulkan masalah baru antara
sekolah dan orang tua. Kita tentu ingin anak-anak Indonesia tetap meperoleh haknya
untuk mendapat pendidikan dan mereka tetap tak kehilangan momen berharga selama
masa pandemi ini. (opini ibu satu anak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar