Berkali-kali
saya diajak teman untuk mengikuti MLM atau semacamnya. Pekerjaan yang kalau
saya ingin terus memperoleh pemasukan maka saya harus mencari downline atau anak buah. Berkali-kali
pula saya menolak secara halus atau pun menolak langsung.
Terakhir
saya ditawari teman sebuah pekerjaan part
time yang konon sangat mudah dan bisa
dikerjakan sambil momong anak di rumah. Saya tinggal bayar beberapa puluh ribu
rupiah plus fotocopy KTP untuk menjadi anggota. Setelah ia menerangkan lebih
jauh ternyata pekerjaan yang ditawarkan itu menurut saya semacam MLM juga. Meskipun
aktivitasnya disebut bisnis online
dan kita mengontrolnya lebih banyak secara online
juga.
Caranya,
setelah membayar sejumlah uang tadi kita akan memperoleh produk. Kemudian kita akan
belajar bisnis online dan produk yang
dipasarkan adalah produk itu. Kalau saya tak bisa jualan, kata teman saya lagi,
saya bisa membeli produk itu sendiri,
“Temanku ada yang keluar dari pekerjaan untuk
fokus di sini, lho. Lumayan kok penghasilannya bisa diandalkan.” Katanya
meyakinkan.
Jujur,
bukan besar kecilnya penghasilan yang semata jadi pertimbangan saya. Tak tahu
kenapa, saya kok merasa kurang pas kalau harus jadi “marketer”, yang harus “berjualan” atau mempromosikan suatu produk
agar orang tertarik membelinya. Saya tipe orang yang tak pintar membujuk. Saya
juga tak ngotot agar orang mau melakukan apa yang saya mau. Kalau mau silahkan,
kalau tidak, ya sudah ha..ha..
Dalam beberapa
hal, sikap saya yang terlalu lempeng itu memang terkesan tanpa ambisi. Apalagi
mungkin jika saya terjun ke dunia marketing. Dalam bayangan saya, sifat dasar
seorang “marketer” adalah pantang
menyerah mempromosikan produknya agar menarik minat konsumen, pintra
bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan orang lain. Dan itu bukan saya
banget..!
Bahkan saya
membayangkan kalau misalnya saya bergabung dalam sebuah produk MLM, mungkin
saya bakal terus berada di level bawah karena jumlah downline saya nggak
nambah-nambah..!.
Karena
itu, saya salut jika menemukan orang yang pintar membangun “hierarki” dengan downline amat banyak sampai ke level
Gold. Saya pernah membaca kisah para agen asuransi sukses termasuk seorang ibu
muda yang mampu memperoleh penghasilan amat besar dari kepiawaiannya “menjual”
berbagai produk asuransi. Ibu ini telah mulai menjadi agen sejak tahun 90-an
saat orang belum terlalu familiar dengan asuransi apalagi dengan agen asuransi.
Karena keuletannya, ia berhasil mencapai super top level dan dinobatkan sebagai
agen terbai
Saya
salut karena saya tak yakin bisa sepiawai itu. Jangankan dapat downline. Untuk jualan produk sederhana
saja yang tak mewajibkan saya mendapat “bawahan”, saya masih merasa sungkan.
Pernah saya ingin mencoba bisnis dengan berjualan kue pia. Maksudnya ingin
menjajal hal baru yang berbeda dengan
pekerjaan dan hobi saya selama ini. Belum-belum, suami saya malah
bilang,
“Udahlah..Ummi
nulis aja..” katanya saat saya minta dimodali.
Sudahlah..Akhirnya
saya jadi berpikir kalau jualan memang bukan jalan saya. Tapi jika dipikir
lagi, seperti apapun keberhasilan orang, jika saya merasa tak sreg di bidang
itu, kenapa saya harus memaksakan diri?. Saya percaya, suatu pekerjaan yang
dijalani dengan hati dan passion akan
lebih membahagiakan pekerjaan yang dijalani dengan setengah hati saja. Naifkah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar