Seorang
Bapak yang bekerja sebagai Dosen di sebuah Universitas negeri di Aceh sedang resah.
Tak ada lagi orang Aceh yang mau membaca hikayat Aceh. Padahal, hikayat yang
ditulis dalam aksara Arab Melayu/Jawi, berbahasa Aceh dalam bentuk sanjak
itu telah ia terjemahkan, ia cetak dan
pasarkan dengan harga amat murah.
Di toko
buku ia jual buku-buku hikayat itu dengan harga RP.1400 per buah. Toko kemudian
menjualnya Rp.3000. Dengan harga itu, penjualannya ternyata tetap saja seret. TA Sakti, begitu nama Bapak ini,
merasa masa keemasan hikayat memang telah berakhir,
“Orang lebih suka menonton
televisi.” Katanya.
Padahal dulu, hikayat biasa dibacakan di mushala-mushala,
di pesta kenduri hingga saat kelahiran dan kematian. Rumah-rumah pun biasa
menyimpan hikayat sebagai warisan turun temurun. Ia memang sebuah warisan
budaya tak terhingga. Tak hanya berupa puji-pujian, hikayat pun dapat berisi
nasehat bahkan kritik terhadap pemerintahan saat hikayat itu dibuat.
Hikayat
juga merupakan catatan sejarah karena banyak diantaranya yang menceritakan
keadaan Aceh di masa lalu seperti soal kondisi masyarakat Aceh yang mengalami dekadensi
moral.Karenanya, hikayat menurut TA Sakti lagi, dapat memberikan manfaat bagi
pembacanya. Ada kearifan yang bisa diperoleh disana.
Tak heran jika Bapak ini
amat galau melihat ketidakpedulian masyarakat Aceh saat ini terhadap hikayat,
“Padahal, masyarakat Aceh akan kehilangan besar jika hikayat benar-benar hilang.”
Kata TA Sakti seperti yang diceritakannya kepada KOMPAS, Minggu 7 April 2013.
Kegalauan
yang sama juga saya rasakan saat suatu hari saya membaca sebuah majalah
berbahasa Sunda yang dibeli Mama. Jujur saya sempat kaget sekaligus bersyukur
karena MANGLE-majalah itu- ternyata masih hidup. Meskipun sungguh membaca
isinya membuat saya prihatin lagi karena terlihat sekali betapa majalah ini
begitu terengah-engah menghidupi dirinya.
Sayembara Teka Teki Silang misalnya
“hanya” berhadiah Rp.10.000 rupiah per orang untuk 3 orang pemenang. Bahkan
mungkin ongkos untuk mengirim jawabannya ke kantor pos pun bisa lebih dari itu.
Jikapun ada hadiah untuk Sayembara Lomba Mengarang Cerita Sunda yang berhadiah
lumayan besar, itupun “sumbangan” dari perorangan.
Saya tak tahu berapa honor
yang diterima para penulis untuk setiap tulisannya yang dimuat di majalah itu
atau gaji yang diterima redaksi. Atau malah mungkin tak dibayar sama sekali?
Mama saya bilang, nampaknya MANGLE bisa tetap hidup karena masih adanya
orang-orang yang mencintai bahasa dan sastra Sunda. Ibaratnya, merekalah yang
menjadi penyemangat redaksi MANGLE untuk terus menerbitkan majalah yang hanya
berharga 10.000 rupiah ini.
Sedih..jika mengingat betapa harga satu porsi bakso
pun bisa lebih mahal dari harga satu eksemplar majalah ini. Bahkan, untuk
mendapatkan MANGLE pun saya harus pergi ke agen. Tak semua lapak koran
menjualnya.
Melihat ini, rasanya tak salah jika saya segalau TA Sakti. Saya khawatir
jika ini terus berlangsung lama-lama MANGLE akan mati dan tak terbit lagi. Padahal,
MANGLE bisa dibilang menjadi salah satu pelestari bahasa Sunda. Saya ingat,
betapa dulu saya mendapat materi dan kosakata bahasa Sunda lewat majalah ini
karena di sekolah saya mempelajari bahasa Sunda.
Kini saat bahasa Sunda sudah
jarang digunakan, saya makin tak yakin kalau majalah MANGLE dibaca anak-anak
muda. Jangan-jangan, pembacanya malah hanya generasi Mama atau paling muda
generasi saya..?. Lalu, apakah bahasa Sunda akan ikut punah seperti nasib
ratusan bahasa daerah lain yang telah hilang karena tak lagi dipelajari dan
dipakai masyarakatnya?
Saya pun galau lagi..Segalau Bapak TA Sakti yang
tertatih sendiri menjaga hikayat Aceh...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar