Gambar:www.republika.co.id |
X-Senior
GM PT.XL Axiata Tbk, Y-Direktur PT.Lintas Niaga...Saya membaca deretan finalis
dan pemenang lomba wanita karier inspiratif yang diadakan sebuah majalah wanita
itu dengan mata berbinar, setengah terbelalak. Saya terkagum-kagum dengan para
wanita yang sukses melesatkan kariernya hingga posisi puncak itu. Usia mereka
mayoritas tak lebih dari 40 tahun. Tapi di usia semuda itu, mereka mampu meraih
jabatan tinggi di perusahaan tempat mereka bekerja.
Langsung
terbayang rupiah yang didapat mereka dengan posisi itu. Mungkin nominalnya sama
dengan kumpulan gaji saya selama lebih dari setahun ha..ha.. Saya pikir, mereka
pun tak perlu terlalu khawatir kalau gaji mereka tak bakal sampai bulan depan. Belum
lagi tunjangan dan berbagai fasilitas yang mereka dapat dan tak saya dapat dari
pekerjaan saya sebagai guru part time.
Sempat
terlintas rasa “iri” dalam diri saya, bahkan saya sempat sedikit
berandai-andai. Agak sombong saya berpikir. Saya yakin saya punya potensi yang sama
baiknya dengan mereka. Saya nggak
bodo-bodo amat saat kuliah, saya aktif di organisasi, public speaking saya
lumayan..Tapi, kenapa saya ada di posisi yang amat bersebrangan jaraknya?. Saya
“hanya” menjadi guru part time plus ibu rumah tangga saja dengan
penghasilan rata-rata. Padahal, banyak orang bilang saya punya potensi. Kalau
digali lebih dalam lagi bukan tak mungkin saat ini saya sedang berada di titik
karier yang menjanjikan, bukan hanya sebagai guru tanpa karier begini.
Saya lalu
menyesali kenapa dulu saya tak mencoba melamar kerja di perusahaan saja. Bukan membatasi
mimpi jadi wartawan-yang ternyata nggak
kesampaian- atau malah coba-coba melamar jadi guru-yang ternyata justru malah
lolos. Ya..jika saya ngotot, siapa tahu saya diterima di perusahaan bonafid dan
saya punya karier bagus.
Perasaan
itu sempat mengendap dalam hati saya selama beberapa hari dan sedikit
mengganggu pikiran juga. Tapi, saat saya mengamati sekeliling, astagfirullah..saya segera tersadar. Kenapa
saya jadi tak bersyukur begini?. Allah sudah memberi saya rezeki lewat
pekerjaan part time saya itu. Meskipun tak berlebihan, setiap bulan toh saya punya penghasilan tetap yang
bisa diandalkan. Tak seperti sebagian besar tetangga dan saudara sekitar rumah
saya yang berpenghasilan tak tentu. Ada yang “cuma” jadi tukang jahit dengan
penghasilan tak besar dan musiman saja. Ada yang jadi tukang bangunan yang
harus pergi pagi pulang petang dengan penghasilan 70 ribu sehari. Kadang
sebulan tak ada job yang artinya tak
ada pemasukan.
Saya pun lalu
mencoba merunut apa saja keuntungan dari bekerja part time. Pertama, saya
punya lebih banyak waktu di rumah. Saya mulai mengajar siang hari, artinya saya
punya waktu banyak di pagi hari untuk bersama anak saya. Kedua, pekerjaan saya
memungkinkan saya untuk memilih jadwal. Saya bisa menentukan kapan saya ingin
libur kapan saya mau mengajar. Dimana lagi saya bisa menemukan pekerjaan
sefleksibel itu? Ketiga, dengan jadwal kerja yang relatif pendek-sekitar 4
sampai 6 jam sehari, gaji yang saya terima termasuk lumayan. Walaupun tak
banyak, saya masih bisa menabung dari gaji saya itu.
Gambar:malang.oxl.co.id |
Lagipula,
bukankah penghasilan besar juga menuntut pengorbanan yang lebih besar? Saya
sering membaca di sebuah majalah wanita bagaimana jungkir baliknya para ibu itu
membagi waktu antara bekerja dan keluarga. Pergi pagi-kadang saat anak masih
terlelap- dan pulang saat hari mulai gelap. Otomatis waktu dengan anak dan
suami menjadi amat terbatas. Bahkan waktu untuk diri sendiri pun nyaris tak
ada. Ada yang bahkan waktu akhir pekannya pun harus diisi dengan pekerjaan,
entah untuk bertemu klien, rapat, atau acara ke luar kota.
Sedangkan
saya, alhamdulillah tak harus pergi pagi pulang malam. Hanya sesekali saja saya
pulang larut, itupun saya mulai kerja siang hari bukan pagi hari. Weekend bisa saya habiskan untuk
menemani anak bermain, jalan-jalan bareng suami dan anak, atau melakukan
aktivitas sosial. Saya pun jadi punya lebih banyak waktu untuk memperbaiki
ibadah harian dan melakukan hobi. Hal-hal tadi belum tentu bisa saya lakukan
kalau saya tetap ngotot ingin jadi
wanita karier berjabatan tinggi.
Akhirnya
semua adalah pilihan. Saya selalu salut dengan para ibu yang bisa sukses di
pekerjaan namun tetap bisa meluangkan waktu untuk keluarganya. Saya pun salut
pada para ibu rumah tangga “saja” yang begitu tekun mengurus rumah tangganya
nyaris tanpa istirahat. Intinya, syukuri apa yang telah Allah berikan. Jangan
pernah membandingkan apalagi iri dengan rezeki dan raihan orang lain karena
belum tentu kita bisa lebih bahagia saat berada di posisi itu.
Selintas,
saya teringat cicilan utang saya yang belum lunas..Ah..sudahlah..Para bos
wanita itu mungkin juga punya hutang seperti saya ha..ha..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar