![]() |
source: katadata.com |
Semua terjadi begitu cepat. Hari
itu, Sabtu 14 Maret 2020, saya masih bepergian dengan kereta untuk mengawas
ujian TOEFL. Anak saya masih ke sekolah untuk latihan persiapan lomba Pramuka
esok harinya. Namun situasi memang sudah nampak tak biasa. Di stasiun, saya
melihat sudah mulai banyak orang memakai masker. Saya pun begitu, memakai
masker walaupun masih buka tutup.
Malamnya, televisi menyiarkan kabar
tentang salah satu Menteri yang terkena covid 19. Grup WA para orang tua murid
yang anak-anaknya hendak ikut lomba esok harinya mulai ramai dengan ungkapan
kekhawatiran. Mempertanyakan bagaimana keamanan anak-anak selama lomba
nantinya, siapa saja yang akan mendampingi dan seterusnya. Puncaknya, jelang
malam ada beberapa orang tua yang menyatakan anaknya mengundurkan diri dari
lomba karena mempertimbangkan resiko.
Akhirnya, jelang tengah malam
sekolah memutuskan untuk mengundurkan diri. Keputusan ini disesali beberapa
orang tua yang masih ingin lomba terus berlanjut. Orang tua lain, termasuk
saya, kebingungan menyampaikan pada anak-anak yang sudah tertidur pulas tentang pembatalan
ini. Terbayang betapa kecewanya mereka saat di pagi hari bangun, lalu tak jadi
pergi karena batal. Padahal, mereka semua sudah sangat bersemangat dan tak
sabar sampai-sampai semua perlengkapan termasuk sepatu sudah disiapkan benar
untuk besok hari. Saya ingat, anak saya belum tidur karena tak sabar ikut lomba
esok harinya. Dia menangis saat tahu sekolah tak jadi ikut lomba yang sudah lama
ia tunggu-tunggu.
Dilanda Bosan
Setelah itu, mulailah hari-hari
panjang di dalam rumah. Minggu-minggu pertama, anak-anak sangat antusias setiap
kali mengikuti meeting online, merasa
kangennya sedikit terobati. Sekolah juga masih gagap menghadapi situasi
mendadak ini. Belum ada variasi pembelajaran. Orang tua juga masih beradaptasi.
Banyak yang gagap teknologi, tak familiar dengan aplikasi-aplikasi yang dipakai
anak untuk belajar online. Grup ramai
dengan curhat dan pertanyaan orang tua yang kesulitan menggunakan aplikasi-aplikasi
itu.
Setelah 3 minggu, rasa bosan mulai
melanda. Rasanya cukup tersiksa harus tinggal di rumah padahal biasanya bisa
beraktivitas bebas di luar rumah. Waktu itu, belum ada kajian-kajian atau pelatihan
online jadi memang betul-betul hanya
sibuk dengan aktivitas rumah saja. Saya keluar rumah hanya seminggu sekali
untuk belanja stok makanan. Tukang jualan yang biasanya lewat ke kompleks rumah
juga dilarang. Benar-benar dibatasi. Anak saya lebih banyak disibukkan dengan
tugas-tugas sekolah. Sebagai pengobat kangen, guru kelasnya sering mengadakan challenge yang akan di-upload di status WA nya. Misalnya
tantangan mengulek sambal atau memarut kelapa.
Paling terasa sepinya saat bulan puasa. Kalau biasanya kami bisa taraweh dan ngabuburit , kini tidak lagi. Sedih rasanya melihat mesjid gelap dan sepi. Kami pun hanya beribadah di rumah. Tidak ada lagi acara buka bersama. Bahkan saya sama sekali tidak ke rumah mertua atau rumah adik selama awal pandemi walaupun kami masih tinggal di kota yang sama. Kami lebih banyak berkomunikasi lewat video call atau WA. Tapi saat itu sudah mulai banyak kajian via aplikasi meeting online atau di channel YouTube. Lumayan jadi aktivitas baru untuk saya yang tak lagi bisa bepergian untuk menuntut ilmu.
Oh ya, selama bulan puasa, acara TV
yang selalu saya tonton dengan anak adalah Tukang
Ojek Pengkolan yang syutingnya tak lagi di luar ruangan tapi di studio.
Walaupun bukan penggemar berat, tapi itu lah tontonan yang bisa kami tonton
jelang magrib dan setelah magrib. Nggak ada lagi tontonan yang lumayan soalnya.
Hikmah Awal Pandemi
Pasti selalu ada hikmah dari setiap
kejadian. Walaupun merasa bosan, tapi saya merasa jadi lebih dekat dengan keluarga terutama
dengan anak. Kalau biasanya kami sibuk dengan aktivitas sendiri-sendiri, selama
awal pandemi kami jadi banyak beraktivitas bersama. Saya jadi sering ngobrol
banyak dengan anak termasuk soal nostalgia masa saya kecil dan sekolah. Malah
kayaknya stok cerita saya sudah mulai habis saking seringnya saya bercerita
haha..
Selama Ramadhan, saya pun merasa
lebih khusyu. Biasanya ada hari- hari saat kami sibuk dengan acara buka bersama
dan sebagainya. Rasanya waktu buka bersama malah tak banyak. Saat pandemi itu,
setiap hari kami bisa buka bersama di rumah walaupun lebih sering saya berdua
anak saja.Begitu pun amaliyah harian, bisa lebih ter-upgrade karena tak banyak keluar rumah.
Walaupun sedih tak bisa pulang
kampung saat Lebaran, tapi kejadian ini membuat saya makin menyadari
betapa berharganya waktu bersama
keluarga itu. Saat Allah mengambil keleluasaan bepergian untuk bertemu dan
beraktivitas, baru lah terasa nampaknya saya kurang menghargai kebersamaan itu
karena menganggap hal itu biasa saja.
Tak terasa, 8 bulan sudah kita
mengalami pandemi. Aktivitas sudah mulai berangsur normal dan kita mulai
terbiasa dengan aktivitas dalam rumah. Tentu saja, kami kangen sekali dengan
aktivitas kami yang dulu. Anak saya malah sudah sering bilang ingin kembali ke
sekolah. Entahlah.. Melihat kondisi saat ini, saya sampai berpikir jangan-
jangan sekolah pun baru buka awal tahun ajaran baru tahun depan. Itu artinya,
anak saya tak lagi bisa kembali ke sekolah karena sudah keburu lulus! Duh..
sedih juga membayangkannya. Semoga tidak terjadi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar