Beberapa tahun lalu, saya punya
murid di level Intermediate. Namanya Bayu. Bayu ini kayaknya suka sekali
menggambar. Setiap kali les, saat di kelas, bahkan saat saya menjelaskan
pelajaran, dia selalu asyik dengan buku sketsanya. Saya pernah melihat hasil
karyanya. Wow..!Luar biasa. Saya melihat sepertinya dia berbakat jadi animator
atau semacam itu.
Jujur saja. Awalnya saya sempat
berpikir kalau si Bayu ini tipe audio yang lebih banyak mengandalkan telinga
ketimbang mata untuk menyerap pelajaran. Sebabnya, tak sekalipun dia
memperhatikan saya saat mengajar. Dia hanya berkutat dengan buku sketsanya,
menggambar apapun yang ia mau. Tapi, saat saya mencoba bertanya, sekedar
mengetes apakah dia mendengarkan penjelasan saya atau tidak, jawabannya
ternyata mengecewakan. Tandanya, dia memang tak memperhatikan saya.
Dia juga jarang berinteraksi dengan
teman-temannya di kelas kecuali kalau saya minta bekerja kelompok atau dengan
partner. Yang dia minati cuma menggambar. Selain itu, dia juga sering absen
tanpa alasan yang jelas. Di akhir term, jumlah absennya ada 8. Padahal syarat
untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat absennya tidak boleh lebih dari 6.
Saya lalu coba bertanya kenapa dia
kursus bahasa Inggris. Jawabannya, “Disuruh Om saya, Miss. “ Dia bercerita
kalau setelah lulus dia ingin melanjutkan ke sekolah seni di Yogyakarta. Seolah
ingin menegaskan kalau dia memang tidak berminat belajar bahasa dan hanya
disuruh pamannya saja.
Melihat sikapnya itu, saya punya feeling kalau dia nggak bakal melanjutkan les-nya. Benar saja, di
term berikutnya dia tidak ada. Padahal saya sudah berbaik hati
memperbolehkannya ikut ujian dengan syarat mengumpulkan tugas.
Saya sering menemukan murid-murid
seperti Bayu. Mereka nampak “malas” mengikuti pelajaran tertentu tapi akan excited ketika menekuni hal yang mereka
sukai. Sebagai guru, kadang terselip rasa sebal dengan sikap malas-malasan
mereka itu.
Tapi jika saya mau berempati,
sepertinya apa yang mereka lakukan adalah hal yang wajar. Kata Ayah Edi dalam
sebuah bukunya, sebenarnya tidak ada anak yang malas. Perlu digali lebih jauh
kenapa anak itu malas. Kalau ternyata dia malas karena dipaksa mempelajari hal
yang tak ia minati, pantaslah dia bersikap begitu.
Sama dengan seorang ibu yang nggak
suka masak tapi disuruh ikutan kursus masak atau seorang ayah yang nggak suka
otomotif tapi disuruh ngotak-ngatik mobil. Pasti bakal tersiksa banget rasanya.
Masalahnya, sistem pendidikan kita
memang mengharuskan siswa menguasai semua pelajaran tanpa kecuali. Ada nilai
KKM sebagai batas “kelulusan” siswa dalam satu pelajaran yang kalau tidak
terpenuhi dia akan dianggap “belum tuntas” alias “belum lulus”. Nilai KKM ini
menurut saya lumayan tinggi. Untuk kurikulum 2013 misalnya, nilai KKM-nya
rata-rata 75. Lumayan tinggi dan sulit dicapai. Apalagi oleh siswa dengan
kemampuan minim, pas-pasan atau memang tak suka pelajaran tertentu.
Saya bayangkan, kalau saya yang tak
suka Matematika harus mendapat nilai rata-rata minimal 75 untuk mata pelajaran
itu, pastilah bukan hal mudah bagi saya. Jangan untuk dapat nilai segitu,
belajarnya aja bikin males...
Tapi inilah yang terjadi. Sistem pendidikan di negara ini memang tidak
mengarahkan murid untuk menekuni hal yang mereka minati saja. Mereka harus
menjadi anak-anak super yang mau tak mau juga harus jago di semua bidang dengan
dapat nilai bagus.
Maka-nya, melihat murid-murid saya
yang malas-malasan saat belajar saya mencoba untuk berpikir positif dan mencari
tahu kenapa mereka malas. Jika mereka malas karena memang tidak suka pelajaran
tertentu, saya tetap menyemangati,
“Dear, kamu memang nggak harus
menjadi expert di pelajaran ini. Tapi setidaknya kamu tetap bersungguh-sungguh.
Insya Allah kamu tetap dapat pahalanya meskipun mungkin nggak dapet nilainya...”
Sambil berharap kalau di masa datang
sistem pendidikan kita bisa lebih baik lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar