Awalnya,
Hanum (Acha Septriasa) membayangkan kalau hari-harinya di Vienna-Austria-dalam
rangka menemani sang suami yang kuliah S3 akan amat menyenangkan. Setidaknya
itulah yang ia rasakan di 3 bulan pertama. Selama itu pula, ia menikmati setiap
sudut kota Vienna yang indah dan artistik untuk mengisi waktu, sementara
suaminya Rangga Almahendra (Abimana Aryasatya) sibuk di kampus.
hot.detik.com |
Namun
tinggal di sebuah negara Eropa ternyata tak selalu indah. Sebagai pendatang
ditambah identitas sebagai muslim, bukan hal mudah bagi pasangan ini untuk
menjalani hari di negara tersebut. Rangga misalnya digambarkan kesulitan
mencari makanan halal. Bersama Muhammad Khan (Alex Abbad) seorang Pakistan yang
juga muslim, Rangga pun terpaksa harus shalat di sebuah ruangan kampus dimana
penganut agama minoritas lain di kampus itu juga beribadah di sana.
Sementara
Hanum mulai mengalami bosan dan kesepian. Tinggal jauh dari orang tua dan kerabat
membuatnya tak punya tempat berbagi dan bercerita. Ia pun harus menghadapi
sikap tetangga apartemennya yang doyan
protes dan tak ramah pada pendatang sepertinya.
Namun
pertemuan Hanum dengan Fatma Pasha (Raline Shah) seorang wanita berjilbab
keturunan Turki yang sempat dilihatnya di sebuah toko mengubah hari dan hidupnya
kemudian. Fatma, yang ternyata juga menjadi peserta kursus singkat bahasa
Jerman seperti dirinya, mampu membuka mata Hanum tentang Islam dan
kemuslimahannya. Bersama Fatma dan Ayesa-putri Fatma- Hanum melakukan
perjalanan ke berbagai tempat di Vienna. Berkat Fatma pula, Hanum dapat bertemu
Profesor Marion (Dewi Sandra) seorang mualaf asal Prancis yang menemaninya
menyusuri Paris dan menemukan sisi lain yang tak pernah terbayangkan dari kota
itu.
Film
yang diangkat dari kisah nyata Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ini benar-benar memanjakan mata penonton dengan
keindahan dua kota di Eropa-Vienna dan Paris. Film ini pun mampu merekam
sudut-sudut menarik dan indah dari kedua kota itu hingga membuat mereka yang
belum mengunjunginya akan berdecak kagum.
Sayangnya,
keindahan visual tak cukup membuat film
ini terasa “nendang”. Jika di 15
menit pertama penonton tersihir dengan keindahan itu, di 15 menit berikutnya
bisa jadi kita akan mulai merasa bosan. Kisah keseharian Hanum yang berkisar
tentang kehidupan di apartemen, jalan-jalan dan kegiatannya berpetualang
bersama Fatma, terasa datar dan biasa saja. Padahal, fakta yang diungkapkan
Fatma tentang tempat-tempat di Vienna yang menunjukkan keagungan Islam bisa jadi merupakan hal baru bagi penonton. Namun
hampir tak ada suspense berarti yang
membuat film ini terasa dinamis.
Untungnya,
ada Stefan (Nino Fernandez)-teman Rangga di kampus yang mampu membuat film
terasa “segar”. Stefan yang nonmuslim digambarkan sebagai mahasiswa yang
terlihat cuek namun selalu ingin
tahu. Ia misalnya keheranan saat melihat kerepotan Rangga mencari makanan
halal-padahal daging babi menurutnya amat lezat. Saat melihat Rangga berpuasa
dan bilang kalau puasa untuk mendapatkan pahala, Stefan pun sok-sokan
ikut berpuasa. Kekocakan muncul saat Stefan sebenarnya sudah lemas tapi
pura-pura kuat karena gengsi mengakuinya pada Rangga.
Toh
kata-kata Stefan seringkali terasa menyentil. Stefan misalnya mempertanyakan
kenapa Rangga selalu ngotot melakukan ini itu atas nama ketaatan pada agamanya,
“Jika kamu sudah berpuasa, beribadah dan
sebagainya tapi ternyata Tuhan nggak ada, kamu mau gimana?”. Sebuah
pertanyaan yang sempat membuat Rangga tertegun barang sejenak. Atau saat
Ayesa-gadis kecil itu mempertanyakan, mengapa Hanum tidak berjilbab padahal ia
seorang muslimah. Pertanyaan ini pun sempat membuat Hanum kelabakan karena ia
pun tak tahu jawabannya.
Dialog-dialog seperti itulah yang dapat
menjadi pesan penting dalam film ini. Bisa
jadi, selama ini kita merasa, menjadi muslim bukanlah hal istimewa. Ritual
hanyalah sebatas pelaksanaan kewajiban namun kita gagal merasakan ruhnya.
Mungkin justru saat kita menjadi minoritas lah kita dapat merasakan betapa
berharganya kemusliman kita dan betapa mahalnya kesempatan melakukan ibadah
perekat kita dengan Sang Khalik.
Sementara
saudara kita di luar negeri sana bisa jadi mengalami berbagai hambatan untuk
mempertahankan keyakinan mereka. Rangga misalnya, harus “mengemis” pada
profesornya agar ia dapat mengikuti ujian setelah melaksanakan shalat Jumat.
Ayesa harus mengalami ejekan karena jilbab yang dipakainya di sekolah, ataupun
Fatma yang kerap ditolak bekerja lagi-lagi karena jilbabnya.
By
the way, sebagai penonton saya mencoba berpikir positif. Jika sekarang film ini
terasa monoton, saya berharap kejutan itu memang sengaja disimpan di sekuel
keduanya. Mungkin di sekuel film ini nanti akan ada cerita menarik lain yang
mampu menciptakan kedinamisan hingga keindahan Eropa yang ditampilkan di film
ini terasa makin “nendang” dan
bermakna...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar