Meskipun
sama-sama merayakan lebaran, ternyata tradisi merayakan hari raya dapat
berbeda-beda di setiap daerah. Sebenarnya ini hanya masalah kebiasaan. Tapi karena
sudah rutin dilaksanakn, kebiasaan itu dianggap “wajib” dan dianggap tidak afdhol jika tak dilakukan.
Di keluarga
saya, saat hari raya biasanya kami akan berkeliling dulu untuk menyalami
tetangga sekitar rumah. Setelah itu kami akan berkumpul di satu rumah. Biasanya
di rumah orang yang paling dituakan. Kebetulan, rumah kakek saya selalu
dijadikan tempat berkumpul. Meskipun kakek bukan yang paling tua, rumah kakek terhitung yang paling besar dan
mudah dijangkau oleh saudara-sudara yang lain hingga tempat tinggal kakeklah
yang dipilih sebagai tempat ngumpul.
Karenanya,
di hari lebaran semua anggota keluarga, sanak famili dan handai taulan akan
datang ke rumah kakek untuk bersilaturahmi. Saya pun tak perlu capek-capek
mengunjungi saudara satu persatu karena bisa dipastikan kami akan bertemu di
rumah kakek pada hari pertama atau kedua lebaran. Paling-paling kami tinggal
mengunjungi saudara yang tak sempat kami temui saat itu. Biasanya kami hanya
punya waktu 2 sampai 3 hari di rumah karena setelah itu saya akan diajak orang
tua mudik ke Sumedang tempat tinggal nenek saya dari pihak ibu.
Setelah
menikah, gambaran saya tentang lebaran sebenarnya tak jauh berbeda. Dalam
bayangan saya, lebaran bersama keluarga suami yang asli Betawi pastilah tak
jauh dari berkeliling untuk salaman dan berkumpul di satu rumah seperti halnya
kebiasaan di keluarga saya.
Namun semuanya tak seperti yang saya bayangkan.
Lebaran pertama bersama suami malah membuat saya shock. Bagaimana tidak. Sejak pagi hingga malam saya diajak
berkunjung ke rumah saudara. Bahkan kalaupun siang harinya kami sudah bertemu
di satu rumah, malam hari atau esok harinya kami harus gantian mengunjungi
kerabat itu.
Terbayang kan, jika ada 5 encing
(sebutan untuk adik ibu atau bapak) dan 5 encang
(sebutan untuk kakak ibu atau bapak) maka saya harus kembali mengunjungi ke
–sepuluh encang dan encing itu meskipun kami sudah bertemu
sebelumnya. Padahal yang disebut kerabat itu tak sedikit jumlahnya.
Sebenarnya,
bisa saja kami tak balik mengunjungi. Tapi idealnya, kunjungan itu harus
berbalas. Biasanya, saudara yang tidak sempat dikunjungi pun akan merasa kurang
senang. Mungkin itu sebabnya, lebaran ala keluarga Betawi di tempat tinggal
suami saya bisa berlangsung sebulan penuh karena tradisi saling balas kunjungan
itu.
Awalnya, saya pun sempat mutung karena kecapekan dan kaget. Apalagi, karena besoknya saya akan
mudik ke rumah orang tua, ibu mertua "memaksa" kami untuk mengunjungi hampir
semua kerabat yang dianggap penting dari jam 9 pagi sampai jam setengah sepuluh
malam!. Beda sekali dengan tradisi Lebaran di keluarga saya yang sore saja
sudah selesai.
Saya pikir kebiasaan saling balas kunjungan itu agak tak efektif
dan terlalu memakan waktu. Untuk mayoritas masyarakat Betawi di tempat suami,
mungkin tak masalah melakukan kebiasaan itu. Rata-rata mereka-terutama generasi
tua-bekerja tak terikat. Misalnya, punya toko atau menggarap kebun. Tapi untuk
mereka yang bekerja di perusahaan, kebiasaan ini nampaknya akan sulit dilakukan
karena keterbatasan waktu. Apalagi jika harus mudik juga.
Tapi saya tak bisa
banyak protes. Itulah kebiasaan yang harus saya hormati. Setidaknya, sekarang
saya sudah lebih siap mental saat Lebaran tiba dan tak mutung lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar