Mayoritas
orang Indonesia memang pintar berbasa-basi dan mengakrabkan diri bahkan pada
orang yang baru dikenal sekalipun. Sebagian kita bisa dengan mudahnya membuka
pembicaraan dan mengobrol ngalor-ngidul dengan orang baru. Apalagi dengan
saudara atau sanak famili. Lihat saja
arisan atau halal bihalal pasca Lebaran. Semua orang nampak akrab dan
hangat.
Bisa jadi, sikap ramah dan welcome
yang ditunjukkan itu dapat membuat orang merasa diakui, dihargai dan diterima .
Tapi menurut saya, kadang sikap ramah dan suka berbasa-basi itu kadang malah
jadi menyebalkan kalau tak boleh dibilang menganggu. Terutama jika pertanyaan
yang diajukan tak hanya sekedar soal kabar. Saat masih lajang dulu misalnya,
saya seringkali ditanya soal “kapan nikah?”. Ok lah mungkin itu bentuk
perhatian. Masalahnya, saya mau jawab apa?. Bukankah jodoh itu Allah yang
menentukan? Kalaupun saya sudah punya calon, apakah ada jaminan kalau kami akan
sampai ke pelaminan?. Mendapat pertanyaan seperti itu, biasanya saya hanya
jawab dengan , “Insya Allah doain aja..” atau cukup dengan senyum saja, beres.
Meskipun agak sebal, saya bisa menghadapi situasi itu dengan cuek. Tepatnya berusaha untuk tak ambil pusing. Toh banyak orang termasuk teman-teman saya yang merasa terganggu tapi tak bisa secuek saya menghadapi situasi itu. Akhirnya mereka pun memilih tak ikut acara keluarga untuk menghindari pertanyaan soal pernikahan. Kalaupun terpaksa ikut, mereka akan berusaha untuk tak membuka obrolan. Takut ditanya-tanya..!
Meskipun agak sebal, saya bisa menghadapi situasi itu dengan cuek. Tepatnya berusaha untuk tak ambil pusing. Toh banyak orang termasuk teman-teman saya yang merasa terganggu tapi tak bisa secuek saya menghadapi situasi itu. Akhirnya mereka pun memilih tak ikut acara keluarga untuk menghindari pertanyaan soal pernikahan. Kalaupun terpaksa ikut, mereka akan berusaha untuk tak membuka obrolan. Takut ditanya-tanya..!
Setelah menikah, saya merasa sedikit
“lega”. Tadinya, saya pikir saya tak bakal ditanya-tanya lagi tentang soal “kapan nikah?”. Kan sudah?.
Eh..ternyata tidak juga. Setelah masa lajang terlewati, pertanyaan selanjutnya
adalah “kapan punya anak?”. Kebetulan setelah menikah saya tak langsung hamil.
Sebenarnya, orang tua dan mertua tak terlalu banyak tanya. Tapi tak begitu
dengan yang lain. Lagi-lagi saya tak tahu harus menjawab apa. Ya..soal anak kan
memang ditentukan oleh Allah juga. Saya dan suami sudah berusaha, saya pun tak
menggunakan alat kontrasepsi apa pun. Kalau belum jadi juga, apa saya bisa
memaksa?.
Yang
saya sebal, kadang tanpa menunggu penjelasan, orang yang bertanya sudah bikin kesimpulan
sendiri, “emang ditunda dulu ya?”. Alhamdulillah saya bisa menghadapi “ujian”
pertanyaan itu dengan muka lempeng. Tapi
tak urung saya pun jadi berpikir. Tak semua orang bisa bersikap sama
seperti saya. Bisa jadi malah kesal atau malah jadi khawatir. Jangan-jangan memang ada apa-apanya sampai saya belum “isi” juga?.
Saya teringat saudara saya yang sampai ngotot ingin memeriksakan diri ke dokter
karena sudah 7 bulan menikah belum kunjung hamil. Padahal baru 7 bulan
lho..Belum setahun. Menurut teori, kita baru boleh “curiga” kalau ada masalah jika sudah setahun menikah
tapi belum memiliki keturunan juga. Padahal tak memakai kontrasepsi. Penyebab kengototan itu, apa lagi kalau bukan karena
pertanyaan orang-orang yang “peduli”.
Sekarang, saya sudah punya satu anak.
Apakah saya tak ditanya-tanya lagi?.
Tidak juga. Pertanyaan yang sering saya terima sekarang adalah,“kapan nambah?”. “Masa anak udah besar masih
satu aja?”. “Mumpung masih muda, nambah lagi dong..”. Saya jadi membayangkan. Bagaimana jika
misalnya, kita melontarkan pertanyaan serupa pada orang lain. Padahal, orang
yang ditanya itu bukannya tak mau punya anak lagi. Misalnya, dia atau
pasangannya mengidap sakit tertentu yang menyebabkannya tak lagi bisa punya
keturunan atau sulit punya momongan lagi. Apakah dia harus menjelaskan ke
setiap orang sebab dia belum punya anak padahal mengingatnya saja mungkin sudah
membuatnya enggan?
Saya pun belajar satu hal. Kadang, kita merasa apa yang kita
tanyakan dalam sebuah obrolan adalah bentuk kepedulian dan keakraban. Tapi,
alangkah baiknya jika kita memilah dulu pertanyaan apa yang akan kita
lontarkan. Apalagi jika orang yang kita ajak bicara belum terlalu akrab dengan
kita.
Saya ingat budaya barat yang bahasanya
saya pelajari. Saat saya belajar bahasa Jerman dan Bahasa Inggris, dosen dan
pengajar saya mewanti-wanti untuk tidak menanyakan soal “berapa jumlah anak Anda?”
pada orang yang kita ajak bicara. Itu dianggap tidak sopan. Pertanyaan itu baru
bisa diajukan saat kita sudah sangat akrab. Itupun bukan wajib ditanyakan, lho. Boleh ditanyakan. Artinya jika tak
perlu, tak usah dilontarkan.
Lalu, apa jawaban saya saat ditanya “kapan nambah
anak?”. Cukup jawab dengan “Insya Allah.” Atau dengan tersenyum saja. Meskipun
sebenarnya, tak dijawab pun tak apa-apa. Saya yakin deh, setelah saya punya dua
anak bukan berarti tak bakal ada lagi pertanyaan buat saya. Bisa jadi
pertanyaannya menjadi: “Anaknya dua doang?Ngirit banget?. Nambah dong..”..Bahkan setelah anak dewasa, pertanyaan nya pun masih
ada saja:” Kapan anaknya nikah?”..Kapan selesainya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar