Petinggi
sebuah partai Islam dicokok KPK. Konon karena ia menerima suap satu milyar.
Serentak dunia maya gonjang-ganjing. Setelah beritanya dimuat di sebuah situs online, berbagai komentar pun
bermunculan. Rata-rata bernada sinis dan memojokkan. Ada yang menuduh partainya
sebagai partai munafik, partai sok alim, sampai kata-kata bernada hinaan pada
si petinggi.
Saya tak
ingin membahas siapa salah siapa benar atau bercerita tentang keberpihakan
saya. Yang saya “takjubi” adalah komentar-komentar itu. Saya tak tahu bagaimana
rupa si pemberi komentar-karena memang tak berfoto- dan apa latar belakang
pendidikannya. Tapi jika dilihat pilihan kata-katanya, saya jadi berpikir “kok
bisa?”. Kok bisa, kata-kata yang terucap dan terketik begitu kasarnya. Kok bisa kepikiran mengeluarkan
kalimat-kalimat itu?. Kalaupun si petinggi partai ini memang bersalah, pantaskah
kita menghina, menghujat atau mencaci maki?. Rasa marah dan kecewa bukan alasan
kita boleh menghardik. Saya merasa seperti membaca komentar dari para preman
pasar saja. Membacanya sungguh tak mengenakkan hingga saya memutuskan untuk
tidak meneruskan membaca komentar-komentar itu.
Saya pikir, kebebasan di dunia maya bukanlah alasan kata-kata kita menjadi tak terarah. Banyak sudah contoh mereka yang diperkarakan karena tak menjaga lidahnya, entah di televisi , lebih banyak lagi di ranah online. Mungkin karena di dunia maya orang bisa sembarang memasukkan identitas, palsu sekalipun tak masalah, hingga mereka merasa lebih bisa bebas berbicara. Orang mungkin tak bakal tahu siapa kita. Tapi, bukankah ada yang Maha Tahu Segalanya?
Saya pikir, kebebasan di dunia maya bukanlah alasan kata-kata kita menjadi tak terarah. Banyak sudah contoh mereka yang diperkarakan karena tak menjaga lidahnya, entah di televisi , lebih banyak lagi di ranah online. Mungkin karena di dunia maya orang bisa sembarang memasukkan identitas, palsu sekalipun tak masalah, hingga mereka merasa lebih bisa bebas berbicara. Orang mungkin tak bakal tahu siapa kita. Tapi, bukankah ada yang Maha Tahu Segalanya?
Pantaslah
kalau Islam sampai mengatur bagaimana umatnya harus bertutur dalam berbagai
keadaan. Mendengar petir mengucap ‘audzubillahiminasyaithonirajiim-aku
berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk, melihat sesuatu yang
indah mengucap subhanallah-Maha Suci Allah-, mendapat musibah atau terkejut
mengucap Masya Allah. Allah..Allah..Allah selalu yang disertakan dalam setiap
ucapan, dalam setiap keadaan. Setiap ucapan-ucapan baik itu bahkan dinilai
sebagai pahala.
Saya pun
teringat kata-kata KH Abdullah Gymnastiar: “Ucapan adalah cerminan hati.
Lihatlah teko. Apa yang keluar sesuai dengan isi di dalamnya. Isinya kopi yang
keluar kopi. Isinya teh, keluar teh. Isinya air bening, keluar air bening
pula.”
Menjaga
lidah memang tak mudah. Sekali terucap, sulit dihapus efeknya. Tapi mejaga
ucapan bukanlah hal niscaya. Biasakan diri membasahi lisan dengan mengingat-Nya
dan melakukan hal-hal positif agar lidah tak terdorong mengucap kata-kata tak
bermanfaat.
Sungguh
saya bukan manusia yang sudah bebas dari kata-kata buruk. Saya pun masih terus
belajar untuk mengendalikan dan menjaga ucapan saya. Biasanya. Dorongan untuk
berkata tak baik muncul saat hati dikuasai amarah. Karenanya, saat marah saya
memilih menenangkan diri. Menarik nafas dan berdiam atau berwudhu. Saya tak
ingin menyesal di kemudian hari karena kata-kata kotor dan menyakitkan yang
saya ucapkan sendiri.
Karena
itu, ketika berita tentang si petinggi itu muncul serempak di situs online,
saya hanya mengucap: Masya Allah..Masya Allah..
Itu lebih
baik ketimbang menghujat dan mencaci maki. Karena kata-kata menunjukkan siapa
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar